Kepala BMBPSDM Kemenag RI, Wakil Rektor IV, Penulis dan Kepala BDLK. (ist) |
Tema tulisan di atas diangkat dari Dialog Interaktif Penguatan Moderasi Beragama Mahasiswa Universitas Andalas (Unand) kerjasama Balai Diklat Latihan Kepegawaian Kemenag Sumatera Barat, dengan menghadirkan narasumber Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan SDM Kemenag RI, Rektor Unand dan Ketua FKUB Provinsi Sumatera Barat, Jumat, 29 November 2024.
Mahasiswa sebagai Generasi Z diyakini memiliki kemampuan lebih, namun juga rentan dari efek negatif informasi, termasuk soal moderasi beragama dan toleransi. Generasi Z, sering disebut "Genzi" adalah generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an.
Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan gaya hidup, perilaku, atau pandangan anak muda zaman sekarang yang tumbuh besar dengan teknologi digital seperti internet, media sosial, dan smartphone. Generasi Z dikenal karena keakraban mereka dengan teknologi, kreativitas, dan keterbukaan terhadap perubahan sosial. Namun, stereotip juga sering melekat, seperti dianggap lebih narsis atau kurang tahan terhadap tekanan, meskipun ini tidak berlaku untuk semua individu dalam kelompok ini.
Generasi Z (Gen Z atau "Genzi") memiliki sejumlah karakteristik yang khas, terutama karena mereka tumbuh di era digital. Di antaranya adalah melek teknologi. Mereka adalah digital natives yang akrab dengan internet, media sosial, dan perangkat digital sejak usia dini. Sering mengandalkan teknologi untuk pendidikan, hiburan, dan komunikasi. Berorientasi pada visual, lebih menyukai konten visual seperti video pendek (TikTok, YouTube Shorts) daripada teks panjang. Cenderung memilih platform yang interaktif dan menarik secara visual. Dalam perilaku Genzi adalah kreatif dan mandiri dalam tekhnologi, banyak yang menciptakan konten sendiri, seperti vlog, ilustrasi digital, atau music, tertarik pada peluang kewirausahaan dan freelancing.
Dalam relasi sosial mereka peduli pada isu sosial, aktif mendukung isu seperti lingkungan, kesetaraan gender, dan keadilan sosial, lebih vokal dalam menyuarakan pendapat di media sosial. Berfokus pada keseimbangan hidup, banyak yang mencari fleksibilitas dalam pekerjaan dan gaya hidup dan peduli pada kesehatan mental dan kebahagiaan pribadi. Interaksi yang cepat dan instan cenderung mencari solusi atau informasi secara instan melalui internet. Memiliki rentang perhatian yang relatif pendek karena kebiasaan multitasking.
Genzi dalam cenderung menerima keberagaman dan inklusif, lebih menerima perbedaan budaya, agama, dan orientasi seksual dibandingkan generasi sebelumnya. Pada saat yang sama Genzi juga bersikap kritis dan skeptis, cenderung tidak mudah percaya pada iklan atau propaganda. Mereka mengutamakan transparansi dan autentisitas. Meski begitu, seperti generasi lainnya, karakteristik ini tidak berlaku untuk semua individu, karena faktor lingkungan, budaya, dan keluarga juga memengaruhi kepribadian setiap orang.
Dalam paparan Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Suyitno disampaikan, bahwa moderasi beragama bagi orang Minang bukanlah hal baru. Minang memiliki salah satu tradisi yang menarik, yaitu merantau. Dengan merantau, pasti terbiasa hidup toleran dan beradaptasi.
“Para orang bijak, sesepuh, dan cendekiawan memberikan pedoman kepada orang-orang Minang dengan kalimat, ‘Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Ini sebuah sikap yang menggambarkan pentingnya toleransi beradaptasi menjaga tradisi,”.
Menurut Suyitno, orang-orang yang terbiasa hidup berdampingan dengan orang lain adalah sejatinya orang-orang yang moderat. Moderasi beragama digali dari semua potensi, baik tradisi lokal maupun nilai-nilai universal agama. Tak terkecuali juga mahasiswa, Genzi yang sedang kuliah di Kampus Unand ini.
MODERASI DAN TOLERANSI BERKEADILAN
Pada sesi berikutnya dalam dialog muncul pertanyaan dan pernyataan dari 2 (dua) orang mahasiswa yang intinya bahwa memang moderasi beragama telah kuat hadir dalam tradisi dan budaya masyarakat Minangkabau. Namun akhir-akhirnya moderasi beragama seperti tidak seperti seharusnya, kalau tidak mau dikatakan kurang berkeadilan. Ada dua realitas yang disorot (1) Survey Setara Institut yang menempatkan Padang Kota Intoleransi, dan kritik sepertinya moderasi diarahkan untuk ekstrim kanan (konservatif beragama) bagaimana dengan perilaku dan sikap beragama ekstrim kiri, seperti konversi (pemurtadan), penodaan agama dan prilaku ekstrim lainnya.
Narasumber menjelaskan bahwa moderasi berkeadilan secara konseptual sudah berjalan, namun perlu ditegaskan lagi bahwa cara pandang tentang moderasi beragama yang tidak berat sebelah itu lebih pada prilaku mereka yang belum memahami moderasi secara baik. Moderasi dan toleransi itu, adil, memilih yang terbaik, menghargai, menerima perbedaan, bahkan dapat bekerjasama dengan mereka yang beda iman sekalipun. Moderasi dan toleransi tidak seperti membelah bambu, satu diangkat satu diinjak.
Sikap moderat berkeadilan itu muncul dalam sikap dan penilaian yang tidak hanya menyoroti ekstrim kanan, tetapi juga mengkritisi sikap liberalisasi, konversi dan penistaan agama. Dalam Islam itu disebut dengan sikap dan cara pandang beragama yang sudah sejak awal diajarkan dalam alqur'an adalah wasathiyah, moderat, (QS.2:143). Islam mencegah umat tidak terjatuh pada sikap, baik ekstrim kanan, maupun ekstrim kiri.
Cara menghindari ekstrim kanan dan kiri adalah pahami agama, dapatkan informasi agama dari ahlinya, hindari diri ikut-ikutan dengan kelompok yang tak jelas. Patut diingatkan untuk dapat membedakan taat dengan fanatik itulah moderat. Mentaati Islam adalah kewajiban, sedangkan fanatik adalah mengikuti membabi buta tanpa mengetahui alasan, itu cara beragama yang tidak baik.
Moderasi beragama yang hasil yang diharapkan terbangun toleransi yang bai kantar, interen dan umat beragama dengan pemerintah menjadi perhatian pemerintah dengan diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 58 tahun 2023 tentang penguatan moderasi beragama dimaksudkan untuk memastikan bahwa urusan agama adalah kewajiban negara sebagaimana termaktub dalam pasal 29 undang-undang dasar 1945. Secara nyata dimuat pada point ke 8 dari Asta Program Presiden dan Wakil Presiden penyelarasan kehidupan berbangsa yang harmonis dan peningkatan kualitas toleransi beragama.
Kesadaran pentingnya moderasi dan toleransi bahwa agama dan issue kemanusiaan dalam konteks tantangan global berkembang sedemikian rupa, seperti issue sengketa perbatasan, potensi perang sipil, konflik antar negara yang dipicu agama, ketidakstabilan politik. kejahatan transnasional, prilaku keras kelompok sektarian dan masalah lain yang terpublikasi luas, mudah dibaca, utamanya lagi oleh Genzi.
Moderasi dan toleransi berkeadilan adalah tidak terjebak pada beragama yang dapat disebut ekstrim kanan. Ekstrem kanan dalam konteks agama merujuk pada pandangan, sikap, atau tindakan yang sangat konservatif, dogmatis, dan cenderung intoleran terhadap perbedaan keyakinan atau cara pandang lain dalam agama maupun di luar agama tersebut. Biasanya, kelompok atau individu yang dianggap bagian dari "ekstrem kanan" dalam agama memiliki ciri-ciri seperti:
1. Pandangan Literal: Mereka memahami ajaran agama secara harfiah tanpa mempertimbangkan konteks historis, budaya, atau perkembangan zaman.
2. Eksklusivitas: Keyakinan bahwa hanya mereka yang benar, dan semua yang berbeda dianggap salah, sesat, atau kafir.
3. Intoleransi: Kurangnya penghargaan terhadap perbedaan, baik di dalam agama yang sama (misalnya terhadap mazhab lain) maupun agama lain.
4. Pendekatan Kekerasan atau Paksaan: Dalam beberapa kasus, mereka mendorong penggunaan kekerasan, paksaan, atau ancaman untuk mencapai tujuan agama, seperti memaksakan hukum agama tertentu atau menyerang pihak yang dianggap bertentangan.
5. Politik Agama: Mencampuradukkan agama dengan politik secara ekstrem, misalnya menuntut negara dijalankan sepenuhnya berdasarkan interpretasi agama mereka, tanpa menghormati pluralitas masyarakat.
6. Anti-Modernitas: Sikap menolak modernitas atau perubahan sosial yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama, termasuk kemajuan ilmu pengetahuan, hak asasi manusia, atau kesetaraan gender.
Contoh dalam sejarah atau masyarakat, ekstrim kanan itu pada agama Kristen beberapa kelompok supremasi kulit putih di Barat menggunakan retorika agama untuk membenarkan tindakan rasisme dan kekerasan. Dalam agama Islam ada kelompok yang mengusung ideologi takfiri, seperti ISIS, yang mengkafirkan sesama Muslim dan non-Muslim. Dalam agama Hindu ada ekstremis yang menyerang kelompok minoritas dengan alasan menjaga "kesucian agama".
Namun, perlu diingatkan bahwa istilah ini sering kali bersifat relatif dan bisa digunakan secara politis untuk menyerang lawan ideologis. Tidak semua yang konservatif secara agama dapat dianggap ekstrem kanan, karena esensinya adalah ketidakmauan untuk menerima perbedaan dan kecenderungan menggunakan paksaan.
Sedangkan moderasi dan toleransi berkeadilan adalah mereka yang tidak pula tersandera oleh paham dan pemikiran ekstrim kiri. Ekstrem kiri dalam konteks agama biasanya merujuk pada pandangan atau gerakan yang mencoba mendekonstruksi atau mengubah ajaran agama secara radikal, bahkan hingga menghilangkan otoritas tradisionalnya. Berbeda dengan ekstrem kanan yang cenderung dogmatis dan konservatif, ekstrem kiri sering diasosiasikan dengan sikap terlalu liberal atau revolusioner dalam menafsirkan agama.
Diantara ciri-ciri utama ekstrem kiri dalam agama adalah sebagai berikut:
1. Interpretasi Bebas: Mereka cenderung menafsirkan ajaran agama dengan sangat bebas, sering kali keluar dari tafsir tradisional atau literal, sehingga dianggap menyimpang oleh mayoritas umat.
2. Penolakan terhadap Otoritas Tradisional. Tidak mengakui otoritas ulama, pendeta, atau pemimpin agama, serta institusi keagamaan yang mapan. Mereka menganggap agama seharusnya sepenuhnya bersifat personal dan fleksibel.
3. Sekularisasi Agama: Mengupayakan agar agama sepenuhnya terpisah dari ruang publik atau menghilangkan elemen sakral dalam agama untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai modern, seperti humanisme, hak asasi manusia, atau materialisme.
4. Penolakan Dogma: Menolak aspek-aspek dogmatis dalam agama, seperti kewajiban ritual, hukum agama, atau ajaran-ajaran yang dianggap kuno.
5. Penghapusan Hierarki: Beberapa kelompok ekstrem kiri dalam agama juga mendukung kesetaraan total dalam struktur keagamaan, misalnya menentang otoritas ulama atau pendeta dan mendukung inklusivitas penuh, termasuk terhadap kelompok yang biasanya tidak diterima oleh agama tradisional.
6. Sinkretisme Berlebihan: Memadukan ajaran agama dengan berbagai ideologi lain, seperti komunisme, feminisme radikal, atau ateisme, yang kadang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dasar agama tersebut.
Fakta adanya ekstrim kiri dapat diamati pada beberapa prilaku kelompok dan individu di antaranya promosi Teologi Pembebasan (Liberation Theology): Dalam tradisi Kristen, terutama di Amerika Latin, ada gerakan yang menggabungkan ajaran Kristen dengan ideologi Marxisme untuk memperjuangkan keadilan sosial, yang oleh beberapa pihak dianggap terlalu radikal. Begitu juga gerakan humanisme Islam: Sebagian kelompok atau individu yang ingin menafsirkan Islam sepenuhnya dalam kerangka humanisme modern, menolak syariat, dan fokus pada aspek spiritual saja. Ada pula kelompok Anti-Institusi: Ada kelompok yang mengklaim menjalankan agama tanpa struktur atau aturan yang baku, sering kali dianggap merongrong fondasi agama tradisional.
Apapun keadaanya ekstrim kanan dan kiri adalah realitas yang cukup luas publikasinya di media sosial. Perdebatan dan kritik inti apa cara pandang ekstrim kanan dan kiri itu bentuk kebebasan atau kekacauan? Pendukung pandangan ini biasanya mengklaim mereka memberikan kebebasan dan pembaruan dalam agama, tetapi kritik datang dari mereka yang berpendapat bahwa pandangan ini dapat merusak esensi dan identitas agama itu sendiri. Begitu juga cara ekstrim ini kedua membawa pada telativisme berlebihan, terlalu permisif, hingga batas-batas antara agama dan sekularisme menjadi kabur.
Akhirnya patut disampaikan bahwa moderasi beragama yang dapat dikatakan berkeadilan adalah memastikan agar setiap umat beragama kokoh, taat, loyal dan menjalankan ajaran agama masing, dan dapat menerima perbedaan antar agama dan perbedaan tafsir dalam satu agama. Sedangkan toleransi yang dituju dalam agama adalah menghargai, menerima dan dapat bekerjasama interen dan antar umat beragama. Genzi, dengan aksesnya yang luas pada informasi dan relasi sosial di dunia maya yang massif diminta untuk tetap berpijak pada bumi Indonesia yang dianugerahi majemuk dan hidup menjadi pewaris Indonesia yang sah dengan tetap menghargai warisan berharga pendahulu bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. @ds.30123024#limaumanisgsgfhunand.
*Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Sumatera Barat