Gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) akibat kondisi ekonomi yang sulit di Indonesia akan menjadi bencana karena hampir ratusan jumlah perusahaan garmen yang terbilang besar di Indonesia terus bertumbangan seperti PT. Sritex (Sri Rejeki Isman Textile) di Solo yang harus mengatasi 50 ribu karyawan diantaranya yang sudah diliburkan dirumahkan. Menyusul kemudian Putusan Mahkamah Agung pada 18 Desember 2024 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri, Semarang yang telah menjatuhkan putusan pailit terhadap PT. Sritex pada 21 Oktober 2024.
Sementara pemerintah yang lebih memposisikan diri hanya melindungi hak-hak pekerja, seperti tidak memiliki alternatif untuk memberi jalan keluar bagi perusahaan agar dapat terus bertahan, sehingga mereka yang bekerja di perusahaan tidak sampai kehilangan pekerjaan.
Kecuali itu, pemerintah pun tidak mampu mencarikan jalan bagi kaum buruh yang terancam PHK dan yang sudah di PHK dari berbagai perusahaan tekstil di Indonesia yang terdampak paling parah akibat kondisi dan situasi ekonomi di Indonesia yang memburuk.
Upaya pemerintah sendiri diakui pihak Kemenaker hanya mampu melindungi sebatas hak-hak pekerja -- bukan mengatasi masalah kehilangan pekerjaan agar para pekerja tetap dapat memiliki nafkah untuk membiayai dirinya bersama keluarga. Artinya, dapat segera dipahami bahwa pemerintah pun tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang baru, khususnya untuk menampung pekerja dari sejumlah pabrik tekstil yang terus berguguran.
Kondisi yang memprihatinkan ini dapat diketahui dari berbagai sumber informasi seperti yang dialami PT. Adetex, Agungtex Group, PT. Alenatex, PT. Argo Pantes Bekasi, PT. Apac Inti Corporation, PT. Asia Pacific Fiber, Kaliwungu, PT. Asia Pacific Fiber, Karawang, PT. Chingluh, PT. Damatex, PT. Dupantex serta sejumlah perusahaan lain yang ikut pula bertumbangan dengan jumlah buruh yang cukup banyak kehilangan pekerjaan, maupun yang dirumahkan, karena perusahaan tidak lagi berjalan, sehingga kaum buruh hanya mampu dibayar 25 persen dari nilai upah yang biasa mereka terima setiap bulan.
Kesan terhadap ketidakberdayaan pemerintah dalam mengatasi masalah buruh di Indonesia ini sama dengan serikat atau organisasi perburuhan yang tidak bisa berbuat dalam hal mendorong maupun memelopori terciptanya lapangan kerja. Dalam kasus PT. Sritex pun peran organisasi buruh untuk melindungi kaum buruh diambil alih oleh pemerintah.
Karena itu, lapangan pekerjaan pelayanan jasa transportasi seperti ojek dan gojek hingga grab card jadi tumpuan bagi mereka yang terkena PHK atau bahkan dijadikan pekerjaan sambilan untuk mereka yang ingin menambah penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga yang semakin berat, terutama di perkotaan.
Lapangan pekerjaan jasa pelayanan antar dan jemput barang maupun orang ini tumbuh begitu saja untuk memenuhi kebutuhan warga masyarakat di perkotaan pada umumnya, akibat tuntutan efisiensi kerja dan berkegiatan lain agar dapat lebih produktif untuk mendapatkan hasil berbagai bentuk pekerjaan yang dilakukan, meski tidak semata-mata demi dan untuk kebutuhan ekonomi saja.
Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk membangun strategi ketahanan dan pertahanan pangan dengan menggerakkan seluruh potensi yang ada -- mulai dari tenaga kerjanya hingga lahan serta sarana pendukung yang ada -- patut dikembangkan secara maksimal untuk ikut mereda tekanan PHK dan angkatan kerja serta pengangguran yang bertambah jumlahnya di Indonesia.
Upaya pemerintah untuk membangun ketahanan dan pertahanan pangan sangat diharap dapat menciptakan segera swasembada pangan hingga terbebas dari ketergantungan impor seperti yang diperkuat oleh para pemburu rente. Maka itu kesempatan terbaik untuk mengalihkan budaya industri pabrikan bisa terus digeser kembali menuju budaya agraris dan maritim yang sudah lama terbengkalai tidak digarap dengan serius oleh pemerintah.
Padahal, potensi Indonesia untuk unggul melalui budaya agraris dan maritim sungguh layak dan patut mendapat perhatian sekaligus dijadikan motori pembangkit serta penggerak bagi pemerintah. Sebab budaya industri pabrikan hanya akan menjadikan manusia Indonesia bermental budak, tidak kreatif dan tidak berhasrat membangun inisiatif yang produktif layak motor penggerak, tapi dominan menjadi sekrup mesin industri belaka yang tergerus nilai-nilai kemuliaannya sebagai manusia.
Karena itu, pilihan pemerintah untuk membangun ketahan dan pertahanan pangan perlu diwujudkan dengan konsentrasi penuh pada pemberdayaan petani, nelayan yang sungguh potensial mulai dari sumber daya alam dan lingkungan hingga sumber daya manusia yang dapat dimaksimalkan guna mengatasi masalah lapangan kerja yang langka serta masalah kemiskinan yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 sejak awal kemerdekaan diproklamasikan hingga usia nyaris seabad yang diharap menjadi era Indonesia emas pada tahun 2045. Sebab keterpurukan industri tekstil di Indonesia yang membuat ketergantungan kaum buruh Indonesia jadi semakin sulit untuk diharapkan menjadi sandaran bagi soko guru bangsa dalam bidang ekonomi maupun kebudayaan. Sebab budaya agraris dan budaya maritim seperti telah menjadi kodrat pilihan terbaik dari untuk manusia Indonesia yang memiliki hamparan laut dan tentangan pantai serta luasnya lahan yang belum maksimal digarap.
Banten, 25 Desember 2024