Artinya….Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). (QS. Ali Imran (3):140). Ayat ini dapat dijadikan cara memandang (pandangan teologis) terhadap adanya perubahan kekuasaan dari satu kelompok kepada kelompok lain. Informasi hitungan cepat dan media sosial yang beredar luas, setidaknya ada 9 (sembilan) petahana atau kepala daerah pada kabupaten dan kota di Sumatera Barat yang sedang menjabat kalah hitungan suara dari penantang dengan segala cerita dan dinamika yang menyertainya.
Tulisan Tuanku “Ta Makan” Politik ini hadir dalam percakapan informal di lapau saat ikut memeriahkan hari H pesta demokrasi, Rabu, 27 November 2024 dengan dua makna yang dituju. Pertama dalam pengertian positif bahwa ulama di Padang Pariaman lebih populer dengan sebutan Tuanku telah berkonstribusi dan dalam batas tertentu ikut larut dalam dinamika politik lokal Pilkada. Ada yang berada di kubu petahana dan tidak sedikit pula yang bergerak dalam barisan penantang, atau calon yang belum berkuasa.
Keterlibatan ulama dan Tuanku dalam politik lokal Pilkada serentak 2024 di Sumatera Barat memang berbeda dari Pileg, Pilpres dan Pilkada sebelumnya. Indikasinya berita viral penolakan UAS di Kota Payakumbuh yang diduga ada motif dukungan terhadap Paslon tertentu, photo UAS di belakang baliho Paslon di Kota Padang, dukungan video UAS terhadap Paslon tertentu di Kota Bukittinggi, pengerahan massa kampanye berbungkus tabligh akbar dan mobilisasi dukungan Tuanku kepada kedua paslon melalui pertemuan langsung adalah realitas semaraknya pesta Pilkada, dan fakta empiris aktifnya mesin politik ulama. Kita patut membaca alhamdulillah semua itu dapat berjalan aman dan tentu akan tetap dipelihara hasilnya sesuai pilihan rakyat.
Patut dipertimbangkan dan dilakukan kajian ulang tentang hasil penelitian sepuluh tahun lalu yang menyimpulkan bahwa peran ulama dan Tuanku dalam pemilihan tidak signifikan, nyatanya di Sumatera Barat, satu di antara dinamika yang cukup menguras energi adalah kehebohan yang dukungan ulama dan Tuanku terhadap Paslon. Walau yang mendapat dukungan ulama ada yang kalah, khususnya ulama yang mendukung dari luar komunitas walau keterkenalannya tinggi. Beda halnya dengan paslon yang didukung ulama lokal atau Tuanku justru menang dengan bangga paslon justru menyampaikan terima kasih khusus, misalnya yang di muat di medsos oleh Tuanku yang menjadi tim sukses ucapan terima kasih dari bapak bupati Jhon Kenedy Azis dan bapak wakil bupati Rahmat Hidayat kepada seluruh buya-buya guru-guru, alim ulama, tuanku yang telah menyatakan sikap dan dukungan untuk memenangkan kepada JKA Rahmat Alhamdulillah telah membuahkan hasil kemenangan untuk kita semua terima kasih.
Mencermati postingan di group Tuanku, Ulama dan Mubaligh terasa sekali bahwa Pilkada 2024 ini terasa hangat, dinamis dan melibatkan tokoh agama lebih dalam, tidak sebatas memberikan dukungan saja, tetapi masuk ke ruang tim sukses, pengusung dan membawakan narasi keunggulan dari Paslon yang dijagokannya. Dalam beberapa pandangan ilmuan politik layak dipertimbangkan dukungan tokoh agama dalam politik pemilihan langsung seperti Pilkada yang levelnya lokal.
Dukungan tokoh agama terhadap calon kepala daerah memiliki dampak signifikan, terutama di Indonesia yang masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Namun, efektivitasnya bisa bervariasi tergantung pada sejumlah faktor di antaranya basis massa tokoh agama. Jika tokoh agama memiliki pengaruh besar di komunitasnya atau basis massa yang loyal, dukungannya bisa sangat membantu meningkatkan elektabilitas calon.
Kredibilitas tokoh agama, pengaruh tokoh agama efektif jika mereka memiliki reputasi baik dan dianggap independen secara politik. Jika tokoh tersebut terlihat partisan atau memiliki agenda tertentu, dampaknya bisa berkurang. Relevansi agama di daerah tersebut. Di daerah yang mayoritas penduduknya religius, dukungan tokoh agama lebih efektif dibandingkan daerah yang masyarakatnya lebih sekuler atau plural. Misalnya, di wilayah pedesaan atau kantong-kantong religius, pengaruh ini lebih terasa.
Konteks sosial dan politik, dukungan tokoh agama bisa sangat berpengaruh ketika isu-isu agama dominan dalam diskursus politik lokal. Strategi kampanye yang terintegrasi, dukungan tokoh agama yang didukung dengan strategi kampanye lain seperti program kerja, visi-misi, dan pendekatan personal kepada masyarakat adalah kunci efektifnya dukungan tokoh agama, dukungan melampaui simbolis.
Dalam masyarakat Sumatera Barat yang religious maka dukungan tokoh agama, ulama dan Tuanku sangat relevan dan efektif, walau memang bukan satu-satunya faktor penentu keterpilihan. Dalam banyak kasus, calon kepala daerah yang menggabungkan dukungan tokoh agama dengan program konkret, komunikasi yang baik, dan strategi kampanye modern akan memiliki peluang lebih besar untuk menang.
TUANKU BA POLITIK JANGAN KORBAN POLITIK
Diskusi yang mendapat kritik dari masyarakat arus bawah bahwa adalah residu atau dampak negative yang dihasilkan oleh ulama atau Tuanku terlibat jauh dalam politik praktis adalah Tuanku menjadi sektarian, dan berpotensi abai dengan tugas suci yang diembannya. Dalam kearifan lokal, kata termakan politik ada makna yang harus diwaspadai, yakninya Tuanku menjadi korban politik. Istilah termakan politik dapat juga diartikan Tuanku sudah terbawa arus politik yang berdampak pada terabaikannya fungsinya sebagai sosok yang menjadi penengah, pendamai dan dapat diterima semua pihak, suluah bendang dalam nagari, duduk ba camin kitab, tagak rintang ba fatwa.
Patut diingat kiranya ulama dan Tuanku yang selesai ikut aktif dalam kontestasi Pilkada kembali menghidupkan surau masing-masing dan sekaligus mengawal cita-cita surau yang dijanjikan atau disepakati dengan paslon yang didukung. Melibatkan Tuanku dalam pengambilan keputusan strategis, khususnya bidang agama dan kemasyarakatan adalah hutang moral yang melekat pada paslon yang didukung.
Keberadaan ulama dan Tuanku dalam masyarakat yang tiada hentinya, diharapkan disadari oleh Tuanku itu sendiri dan oleh pemimpin formal (pemerintah daerah) dan tokoh masyarakat, pimpinan Partai Politik. Kesadaran kolektif hakikat dan makna ulama dan Tuanku akan dapat menjadi katup pengaman dari realitas yang sering terjadi adanya polarisasi pasca pemilihan kepala daerah. Intinya masyarakat dan umat akan rugi besar jika ulama dan Tuanku menjadi korban politik.
Ketika ulama dan Tuanku menjadi korban politik, baik sebagai individu maupun kelompok, dapat membawa sejumlah bahaya yang serius.. Kerugian sosial, stigmatisasi dan polaritas dapat saja terjadi. Korban politik sering kali dicap buruk oleh kelompok tertentu, menyebabkan polarisasi sosial. Contohnya, individu atau kelompok yang menjadi kambing hitam dalam konflik politik dapat kehilangan dukungan masyarakat. Diskriminasi mungkin menghadapi diskriminasi dalam pekerjaan, pendidikan, atau akses terhadap layanan publik akibat afiliasi politik mereka yang disalahgunakan oleh lawan politik.
Kerugian psikologis dari korban politik adalah trauma politik. Tekanan politik seperti intimidasi, fitnah, atau ancaman kekerasan dapat menyebabkan trauma mental. Kehilangan reputasi berupa tuduhan palsu atau fitnah politik sering merusak nama baik korban secara permanen, meskipun tuduhan tersebut tidak terbukti.
Kerugian ekonomi berupa pemutusan akses ekonomi. Korban politik bisa kehilangan pekerjaan, peluang bisnis, atau akses terhadap proyek pemerintah jika kebijakan politik digunakan untuk menghambat mereka. Biaya hukum, jika harus menghadapi kasus hukum yang dimotivasi oleh politik, korban seringkali menghabiskan banyak uang untuk membela diri.
Kehilangan kebebasan. beberapa kasus, korban politik ditahan tanpa proses hukum yang adil, seringkali dengan tuduhan yang dibuat-buat. Pembatasan hak untuk berpendapat, berkumpul, atau memilih bisa direnggut oleh kekuatan politik yang lebih dominan.
Kerugian kolektif dari ulama atau Tuanku yang menjadi korban politik adalah merusak kepercayaan publik. Ketika banyak individu atau kelompok menjadi korban politik, kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi, hukum, dan institusi negara dapat terkikis. Begitu juga dapat menimbulkan perpecahan sosial. Politisasi berlebihan yang menyebabkan korban politik dapat memecah masyarakat berdasarkan afiliasi politik, agama, atau etnis.
Bahaya menjadi korban politik adalah kombinasi dari kerugian personal, sosial, dan institusional yang dapat berdampak jangka panjang. Untuk mencegah hal ini, diperlukan sistem hukum yang kuat, demokrasi yang sehat, dan masyarakat yang melek politik sehingga politisasi yang destruktif dapat diminimalisir.
Catatan penting dari artikel Tuanku Ta Makan Politik ini adalah meminta kepada Tuanku yang ikut aktif, terlibat dalam dan nyata-nyata berada dalam barisan Paslon baik petahana maupun pendatang, untuk dengan arif bijaksana kembali ke khittah dan visi besar ulama pewaris nabi yang rahmatan lil alamin. Kepada Paslon yang menang dan tim suksesnya diharapkan dapat memposisikan Ulama dan Tuanku secara baik sesuai fungsinya. Untuk semua masyarakat tentu dapat memaklumi, Ulama dan Tuanku juga manusia biasa, kesalahan dan kealpaannya harap dimaafkan dan jangan pula gara-gara nila setitik rusak pula susu sebelanga. Semua pihak diminta sabar menunggu hasil final dari KPU, masyarakat sudah sejak lama paham “biduak lalu, kiambang ba tauik” Selamat dan semoga sukses pemimpin yang diberi amanah rakyat, amin. DS.28112024.
*Pembina Majelis Silaturrahmi Tuanku Nasional