Membaca ulasan Prof. Duski Samad, dalam narasi Mencemaskan Pitih Suara, di media Sigi24.com beberapa hari menjelang Pilkada, menurut hemat penulis bak tamparan bagi kondisi kekinian politik negeri ini.
Dikatakan ini adalah tindakan politik yang salah, bisa dibenarkan namun diagung-agungkan dalam pola tingkah pelaku politik. Hemat kami, hal ini bak kata pepatah setali tiga uang, atau sudah lebih banyak atahnya dari beras, sehingga sulit dipisahkan untuk mendapatkan beras yang bersih dan layak makan dan menyehatkan.
Perjalanan Pilpres, Pileg dan macam pil lainnya, di negeri yang tak bertuan ini narasi Prof Duski tadi, adalah satu fakta liar yang tidak dapat disembunyikan, dan mungkin separo kita mengiyakan, membenarkan keadaan ini. Miris, bukan lagi kata yang tepat tapi bernuansa pada kata bejatnya perilaku politik dalam menelan pil-pil yang tidak menyehatkan ini.
Diharapkan dapat membangun karakter untuk bisa menyehatkan negeri ini, karena perlakuan dalam melakukan pilihan dan penetapan calon menjadi pilihan bukan lagi dilakukan dengan penilaian kualitas calon, tapi dirusak oleh kata politik pitih, dan sejenisnya, menjadi sangat memalukan, miris dan tidak beretika.
Ketika pilihan dijatuhkan, bukan lagi berasal dari hati nurani demi perobahan tapi memilih demi sebuah eforia, kebanggaan pemilih yang memilih karena diberi sesuatu titipan. Bangga karena merasa terhormat dibeli suara batinnya.
Secara hukum, Pilkada atau pil lainnya, diciptakan untuk membawa satu bentuk pembaharuan atas pemimpin yang akan dipilih oleh rakyat dengan hati nuraninya, demi sebuah pembaharuan menuju kebaikan.
Namun sejarah membuktikan dalam era tahun terakhir ini, Pilkada, Pilpres dan Pileg bukan lagi ajang kompetisi terhormat, yang didasari oleh kebrilianan calon, pendidikan, ilmu dan kapasitas calon, tetapi lebih mengarah kepada memilih calon yang mampu memberi nilai sesaat saja realitas dan terasa buat mereka.
Inilah sebenarnya yang harus menjadi pikiran pemimpin yang baik. Mereka hendaknya menjadikan pola tingkah dan sikap politik jual suara telah menjadikan demokrasi rusak, dan seharusnya membuat satu indikator penilaian bahwa sikap yang mereka lakukan telah menempatkan negara dan rakyatnya sedang tidak baik-baik saja.
Sahabat kami, rakyat jelata mari kita kembali kepada harkat harga diri kita yang sebenarnya. Mari kita pahami bahwa tindakan dan sikap politik beli suara ini telah menyebabkan kita anak negeri ini terpuruk dan menderita lahir dan batin. Sadar tidak sadar, kita rakyat yang menjadi korban pertama dari sikap kita sendiri yang yang menerima titipan uang/bantuan/beras ataupun sembako ini.
Nanti menjelang satu tahun kepemimpinan, tim pelaku adu domba ini akan membuat penilai keberhasilan yang memerintah saat itu dengan kata-kata yang lebih menyesatkan, sehingga kita rakyat akan terbelah lagi dan teradu domba.
Masyarakat ku yang baik, besok adalah hari kita akan memilih terhadap Gubernur, Walikota dan Bupati, akhirlah stempel uang/pitih sesaat ini dibenamkan di punggung kita.
Demi 5 tahun kedepan dan kebaikan anak, cucu dan keponakan kita di masa depan maka jadikanlah ketenangan jiwa dan mistigqorahmu dalam menentukan pilihan hati. Nilai uang yang diberikan timses itu tidak lebih hanya sebatang rokok dan bukan suluh untuk penerang malam mu dan matahari di saat siang mu.
Pilihlah calon mu dengan kerendahan jiwa mu demi adanya harapan perobahan pada negeri ini, bukan perobahan hidup bagi para timses, waktumu hanya besok untuk 5 tahun mendatang.
Semalam kami juga diskusikan nasib hari Rabu besok itu dan pantauan pada tim syetan yang akan merusak negeri ini. Dan mereka yang masuk dalam radar diskusi kami mereka adalah orang yang takut jabatannya akan berakhir jika ayam mereka kalah. Akankah kita akan mengatakan Kepala Daerah yang kita gadang akan membawa kesejahteraan bagi 5 tahun mendatang itu seumpama ayam yang akan bertarung ? Jiak iya maka kita pemilih ini apa ?
Selamat terpilih calon kepala daerah dengan ketulusan hati pemilih, bukan karena suara pitih.