Dokumentasi penulis bersama Buya Jalalen Tuanku Sidi. (ist) |
PADANG PARIAMAN, Sigi24.com -- Pagi itu, matahari mulai meninggi di ufuk timur. Udara segar menyelimuti Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, tempat berdirinya Pondok Pesantren Madinatul 'Ilmi yang menjadi pusat pengabdian ilmu agama.
Tepat pukul 09.40 WIB, Sabtu, 16 November 2024, Titip Elyas Tuanku Sulaiman bersama Damanhuri Tuanku Mudo tiba di pesantren yang terletak di Buluah Kasok, Nagari Sungai Sariak ini. Mereka datang dengan tujuan mulia, yaitu mewawancarai Buya Tuanku Sidi Jalalen untuk menggali kisah masa lalu tentang perjuangan almarhum Buya H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi, salah satu ulama yang dihormati di daerah ini.
Mencari Buya Tuanku Sidi Jalalen di Pesantren
Ketika tiba, suasana pesantren terasa tenang. Para santri sibuk dengan aktivitas masing-masing, sebagian terlihat mengaji di bawah pohon rindang, sementara yang lain membersihkan halaman pesantren.
Titip Elyas Tuanku Sulaiman dan Damanhuri Tuanku Mudo bertanya kepada salah seorang santri yang akrab disapa "Pakiah," gelar yang lazim diberikan kepada anak-anak yang sedang menuntut ilmu agama.
“Maaf, Pakiah, apakah Buya Tuanku Sidi Jalalen ada di pesantren?” tanya Titip Elyas Tuanku Sulaiman dengan ramah.
Pakiah itu tersenyum, lalu menjawab, “Buya sedang tidak di sini, Tuanku. Beliau berada di rumah pribadinya, sekitar satu setengah kilometer dari sini.”
Mendengar itu, Titip Elyas Tuanku Sulaiman dan Damanhuri Tuanku Mudo tak membuang waktu. Mereka segera menuju rumah pribadi Buya Tuanku Sidi Jalalen, sebuah perjalanan singkat yang melintasi jalanan kecil berliku, dihiasi pemandangan hamparan sawah dan pepohonan kelapa.
Pertemuan di Rumah Buya Tuanku Sidi Jalalen
Ketika tiba di rumah Buya, mereka disambut oleh Ummi, istri Buya Tuanku Sidi Jalalen. Dengan lembut, Ummi menjelaskan bahwa Buya sedang sakit dan tengah beristirahat di kamarnya. Namun, setelah mendengar bahwa ada tamu yang ingin bertemu, Ummi masuk ke kamar untuk memberitahukan kedatangan mereka.
Beberapa saat kemudian, Buya keluar dari kamar dengan langkah pelan. Wajahnya tampak teduh meski terlihat sedikit lemah. Di teras rumah yang sederhana namun asri, Buya mempersilakan Titip Elyas Tuanku Sulaiman dan Damanhuri Tuanku Mudo duduk di kursi kayu.
“Apa maksud kedatangan kalian ke sini?” tanya Buya dengan suara lembut.
Damanhuri Tuanku Mudo menjelaskan, “Kami ingin mendengar cerita Buya tentang masa-masa bersama almarhum Buya H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi. Kami berencana menulis biografi tentang perjuangan beliau.”
Buya tersenyum tipis, lalu mulai berbicara.
Kenangan tentang Buya H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi
“Saat bersama beliau dulu, jarang sekali kami berbincang tentang masalah agama di tingkat kecamatan,” ujar Buya sambil mengenang. “Buya H. Ahmad Yusuf lebih banyak berkiprah di lingkungannya sendiri, di korong Sakato Lubuak Pua, Nagari Balah Aia Utara. Beliau lebih sering memimpin jamaah untuk ziarah ke makam-makam ulama di Sumatera Barat.”
Buya menjelaskan bahwa almarhum jarang terlibat dalam diskusi mengenai kitab kuning atau permasalahan umat di VII Koto. Namun, ada satu hal yang selalu dikenang Buya tentang almarhum: dedikasinya untuk melanjutkan perjuangan Syaikh Muhammad Umar, atau yang dikenal sebagai Syiah Mek Uma, pendiri awal Pondok Pesantren Lubuak Pua.
“Pesantren itu sempat terbengkalai pada tahun 70-an hingga 90-an. Tapi, saat Buya H. Ahmad Yusuf pulang dari Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan, ia melanjutkan perjuangan Syiah Mek Uma. Kalau nanti kalian membuat biografi, tak lengkap rasanya tanpa menyebut jasa besar Syiah Mek Uma,” jelas Buya.
Membahas Warisan Keulamaan
Percakapan terus berlanjut, penuh dengan cerita masa lalu dan nilai-nilai keulamaan yang diwariskan. Buya berbicara tentang pentingnya melestarikan warisan para pendahulu, bukan hanya dari sisi fisik, seperti membangun kembali pesantren, tetapi juga dari sisi spiritual, seperti menanamkan nilai keikhlasan dan pengabdian kepada umat.
“Saya harap, buku yang kalian tulis nanti bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda. Jangan hanya menulis kisah perjuangan, tapi juga nilai-nilai yang bisa diambil dari perjalanan hidup beliau,” kata Buya dengan penuh harap.
Penutup Pertemuan
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 10.45 WIB. Setelah panjang lebar bercerita, Titip Elyas dan Damanhuri berpamitan. Sebelum pergi, Damanhuri menyerahkan sebuah buku biografi tentang Buya H. Aminuddin Tuanku Shaliah Lubuak Pandan sebagai hadiah untuk Buya Tuanku Sidi Jalalen.
“Terima kasih, hadiah ini sangat berharga,” ujar Buya sambil menerima buku tersebut.
Mereka kemudian berfoto bersama di teras rumah sebagai kenang-kenangan. Dalam foto itu, senyum teduh Buya Tuanku Sidi Jalalen terlihat, meskipun kondisi kesehatannya tidak terlalu baik.
Setelah itu, Titip Elyas Tuanku Sulaiman dan Damanhuri Tuanku Mudo berpamitan, melangkah keluar dengan hati yang penuh syukur atas ilmu dan cerita yang telah mereka peroleh.
Refleksi Perjalanan
Di perjalanan pulang, Titip Elyas Tuanku Sulaiman dan Damanhuri Tuanku Mudo berbincang tentang betapa pentingnya menjaga hubungan silaturahmi dan menggali sejarah perjuangan para ulama. Mereka sadar bahwa tulisan mereka nanti bukan sekadar biografi, tetapi juga sebuah warisan yang akan menginspirasi generasi mendatang.
“Semoga perjalanan kita hari ini menjadi awal dari langkah besar dalam mengenang jasa para ulama,” ujar Titip Elyas Tuanku Sulaiman dengan penuh semangat.
Damanhuri Tuanku Mudo mengangguk setuju. “Benar, Tuanku. Kita harus memastikan bahwa kisah ini tidak hanya berhenti di sini, tapi terus hidup dalam hati dan pikiran umat.”
Perjalanan itu tidak hanya menjadi sebuah kunjungan biasa, tetapi juga sebuah misi untuk melestarikan nilai-nilai keulamaan yang akan terus abadi sepanjang masa.
Dibuat Oleh: titip elyas