Oleh: Dr. Muhammad Husni
Hiruk pikuk Pilkada makin kian terasa hingga menjelang hari pencoblosan tiba. Berbagai macam cara dilakukan oleh para kontestan atau pasangan calon (Paslon) untuk meyakinkan dan menarik simpati masyarakat agar dapat mendongkrak jumlah suaranya dan terpilih.
Setiap paslon melakukan kampanye, banyak cara dan siasat yang ditempuh dalam berkampanye. Di antaranya adalah meminta dukungan kepada orang-orang yang dianggap memiliki pengaruh yang besar dan menjadi preferensi politik masyarakat.
Di antara preferensi politik masyarakat adalah ulama atau tokoh agama baik seorang da’i, ustadz, buya, kiyai, ataupun muballigh yang menjadi rujukan dan panutan umat. Karena disamping memiliki jemaah atau pengikut yang banyak, mereka menjadi patokan dan rujukan bagi umat dalam menentukan pilihannya atau mereka memilih berdasarkan kata ulama atau pilihan dan rekomendasi ulama.
Oleh sebab itu, setiap Paslon berupaya untuk meminta dan mendapatkan dukungan dari kalangan ulama, untuk mengampanyekan dan mengendorse dirinya. Elektabilitas seseorang dapat meningkat ketika diendorse atau dikampanyekan oleh ulama. Ketika ulama mendukung dan mengajak untuk memilih Paslon tertentu maka para jamaah, pengikutnya atau masyarakat umum akan mengikutinya dan memilih menurut pilihan ulama tersebut.
Dukungan ulama dinilai sangat efektif untuk meningkatkan electoral Paslon. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), Denny JA menyatakan bahwa dari 1200 responden sebanyak 51% mengaku sangat terpengaruh oleh ulama dalam keputusan elektoral calon-calon tertentu.
Disamping sebagai preferensi politik, restu ulama juga dinilai dapat mendatangkan berkah sehingga seseorang merasa perlu untuk sowan dari satu ulama ke ulama lainnya, dari pesantren ke pesantren lainnya, guna meminta restu, dan sudah pasti memohon doa supaya terpilih atau mendapat kemenangan.
Keterlibatan ulama belakangan ini dalam beberapa Pilkada dengan memberikan dukungan dan mengampanyekan Paslon tertentu mencuat dan mengemuka ketika Anies Baswedan menghadapi Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 silam.
Isu agama sangat sentral ketika itu dan para ulama ikut turun berkampanye agar dapat mengalahkan Ahok yang notabenenya adalah non-muslim. Akhirnya Pilkada itu dapat dimenangkan oleh Anies dan berhasil duduk sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 tak lepas dari peran ulama.
Semenjak itu, para ulama mengambil peran penting dalam berbagai Pilkada termasuk Pilpres 2019 yang ketika itu Ustadz Abdul Somad (UAS) secara terang-terangan memberikan dukungannya kepada Prabowo Subianto meskipun akhirnya kalah. Ulama telah menjadi preferensi politik bagi umat dalam artian bahwa umat akan memilih berdasarkan pilihan dan rekomendasi ulama.
Hal ini kemudian terus berlanjut dalam berbagai Pilkada dengan meminta dukungan kepada ulama sehingga banyak ulama yang ikut dan terlibat dalam politik praktis terkait dukung mendukung Paslon tertentu dalam pilkada.
Kemudian tidak dipungkiri juga munculnya kesadaran sebagian ulama untuk tidak memisahkan antara agama dan politik sehingga tak jarang ulama secara langsung atau dalam berbagai kegiatan dakwahnya mengajak dan menyatakan dukungannya pada Paslon tertentu untuk diikuti oleh masyarakat.
Dasar pemikirannya adalah karena agama butuh pada kekuasaan agar agama dapat terlaksana dengan baik maka ulama mesti mengampanyekan orang yang dinilai tepat untuk dipilih menjadi pemimpin. Mengkampanyekan sesuatu yang baik merupakan bagian dari dakwah mengajak kepada kebaikan dan menghindarkan atau meminimalisir terjadinya yang tidak baik.
Namun keterlibatan aktif ulama dalam kampanye menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Kelompok atau pihak yang menentang memiliki pandangan bahwa sebaiknya ulama tidak usah ikut campur dalam dukung mendukung Paslon tertentu karena semua Paslon merupakan orang-orang terbaik sehingga biarkan saja mereka berkompetisi dengan sehat dan rakyat menentukan pilihannya sendiri.
Keterlibatan ulama dalam berkampanye justru dapat merusak dan mendatangkan perpecahan di tengah umat. Agama jangan dibawa-bawa dan diseret-seret ke dalam ranah politik praktis atau untuk kepentingan politik, dakwah harus terbebas dari unsur politik praktis dan kampanye sehingga ulama tidak usah ikut campur dalam urusan politik dan dukung mendukung Paslon.
Bahkan ada juga yang berpandangan bahwa politik urusan dunia sedangkan agama urusan ukhrawi yang tidak boleh dicampuradukkan. Terkait hal ini, Menteri Agama Republik Indonesia era Jokowi Yaqut Cholil Qoumas pernah melarang penceramah seluruh agama agar tidak memprovokasi dan berkampanye politik praktis.
Hal itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2023 tentang Pedoman Ceramah Keagamaan. “(Materi ceramah keagamaan) Tidak memprovokasi masyarakat untuk melakukan tindakan intoleransi, diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif dan tidak bermuatan kampanye politik praktis,”.
Fenomena seperti ini juga pernah heboh pada beberapa waktu yang lalu saat Pilpres 2024 ketika Presiden Jokowi ikut cawe-cawe dengan memihak kepada Paslon tertentu. Lantas apakah ulama boleh ikut cawe-cawe dengan berkampanye atau mengampanyekan Paslon tertentu atau mestikah ia bersikap netral dan tidak memihak pada Paslon tertentu.
Dalam aturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye dijelaskan bahwa kampanye adalah kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan citra diri peserta Pemilu.
Adapun yang dilarang dalam kampanye berdasarkan pasal 281, 282 dan 283 UU No. 7 Tahun 2017 adalah tentang netralitas dan larangan berpihak pada Paslon tertentu yang dilakukan oleh pejabat negara. Kemudian juga diatur larangan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan sebagai ajang kampanye.
Mengacu kepada aturan tersebut maka siapa saja boleh berkampanye termasuk ulama selama tidak melanggar ketentuan perundang undangan. Ulama bukanlah termasuk dalam kategori pejabat negara yang tidak boleh berpihak pada Paslon tertentu dan tidak harus bersikap netral serta boleh berpihak dan menyatakan dukungannya ke pihak mana pun. Secara undang-undang ulama berhak dan tidak ada larangan untuk berkampanye.
Jadi bila merujuk kepada aturan perundang-undangan maka tidak ada alasan untuk menolak dan melarang para ulama, ustadz, da’i, buya, dan muballig untuk berkampanye dan terlibat dalam politik praktis. Meskipun dijamin dan diperbolehkan atau tidak dilarang oleh undang-undang, namun fenomena ini tetap menuai pro dan kontra sehingga ada yang setuju dan ada yang menolak terkait keterlibatan ulama dalam kampanye dan dukung-mendukung Paslon tertentu.
Lantas bagaimana dalam tinjauan Islam apakah ada dalam Islam aturan tentang kampanye, apakah ulama dilarang berkampanye dan mestikah ia bersikap netral?. Mengangkat pemimpin memang merupakan bagian dari ajaran Islam namun Islam tidak menjelaskan tuntunan tentang bagaimana proses yang harus ditempuh dalam pemilihan dan pengangkatan seorang pemimpin. Yang terpenting dalam Islam adalah bagaimana tugas kepemimpinan itu dapat dilaksanakan dengan baik ketika seseorang telah ditetapkan menjadi pemimpin sehingga Islam mengajarkan tentang prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pemilihan pemimpin dalam Islam dapat dilakukan berdasarkan hasil kesepakatan baik melalui pemilihan ataupun penunjukan dan pewarisan.
Dalam negara demokrasi pemimpin dipilih melalui pemilihan langsung sesuai dengan kesepakatan merupakan implementasi dari firman Allah swt : “…Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah…” (Q.S Asy-Syura : 4 ; 38). Rasulullah saw juga pernah bersabda bahwa; “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian…”
Dengan demikian tidak ada larangan bagi ulama untuk berkampanye karena kampanye merupakan perkara yang tidak diatur dalam Islam. Dalam kaedah umum dinyatakan bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Namun persoalannya ini bukan sekedar tentang boleh atau tidak boleh tapi juga mesti memperhatikan dampak-dampak yang akan ditimbulkannya, jika berdampak positif (maslahah) tentu tidak menjadi persoalan, namun ketika menimbulkan dampak negatif (mudharat) tentu perlu ditinjau ulang.
Ada sejumlah persoalan yang dapat saja muncul ketika ulama ikut berperan aktif dalam berkampanye untuk mendukung paslon tertentu seperti dapat menimbulkan keterbelahan dan gesekan-gesekan ditengah umat yang seharusnya mereka adalah perekat umat, penjaga persatuan bangsa. Karena ulama adalah milik umat bukan milik kelompok tertentu sementara keberpihakan ulama dapat memicu pertikaian dan perpecahan umat.
Keberpihakan ulama juga dapat menimbulkan persepsi seolah-olah Paslon yang didukung oleh ulama adalah calon yang tepat dan terbaik, sebaliknya Paslon yang bukan pilihan ulama dianggap paslon yang tidak tepat, padahal pilihan ulama dapat saja salah, keliru dan tidak tepat. Keberpihakan ulama juga harus diperhatikan apakah memang hasil dari sebuah proses ijtihad yang sudah mengkaji berbagai hal sehingga memilih untuk berpihak dan mengkampanyekan Paslon tertentu atau hanya didasari oleh hubungan dan subjektifitas pertemanan atau atas dasar rekomendasi dari teman.
Terjunnya ulama kedalam dunia politik praktis melalui mendukung dan mengkampanyekan Paslon tertentu tidak boleh meninggalkan ilmu keulamaan dalam menentukan siapa Paslon yang afdhal untuk diusung apalagi yang bersaing adalah sesama muslim. Kemudian dampak lainnya adalah kelompok yang tidak didukung oleh ulama dapat saja menjadi gerah dengan kelompok yang didukung oleh ulama, akhirnya umat terbelah akibat cawe-cawe ulama dalam Pilkada tersebut. Karena pada akhirnya ketika Paslon pilihan ulama tersebut terpilih tapi ternyata tidak baik atau tidak seperti yang diharapkan kinerjanya maka di sini citra ulama akan dipertaruhkan, ulama yang akan dipersalahkan dan ulama yang akan menjadi tumpahan kekesalan masyarakat di kemudian hari.
Kemudian tugas utama ulama adalah mengingatkan, memberikan nasehat dan menjaga moral umat, lantas bagaimana mungkin kelak ulama dapat memberikan nasehat jika yang menang dan terpilih adalah Paslon yang bukan rekomendasi dan pilihannya. Sebagai seorang ulama selama semua paslon berpotensi membawa kebaikan dan kemaslahatan agama dan bangsa dan tidak ada yang terlalu dicemaskan, sebaiknya ulama cukup memberikan nasehat, pencerahan pada umat melalui politik keummatan tanpa melibatkan diri dalam kampanye dengan mendukung dan memihak pada Paslon tertentu.
Politik keumatan itu dilakukan dengan memberikan pencerahan pada umat tentang bagaimana sifat-sifat dan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang dapat membawa kemaslahatan umat bukan dengan cara menunjuk siapa yang akan dipilih, tapi biarlah umat memilih dengan pilihannya dan juga bertanggung jawab kelak atas pilihannya tersebut.
Demikian idealnya sikap seorang ulama, namun hal ini tidak bersifat mutlak tapi situasional karena boleh jadi pada daerah tertentu atau kondisi tertentu diperlukan ulama untuk mengambil peran dan terlibat aktif dalam berkampanye dengan memperhatikan kemaslahatan ummat. (sumber Minangkabau News.com)
*Dosen Institut Seni Indonesia Padangpanjang