Judul ulama dalam politik praktis di atas menjadi penting untuk didudukan masalahnya. Sulit menalar dengan pikiran sederhana kehebohan dunia maya yang dipicu perilaku lembaga ulama yang menolak ulama sekelas UAS, yang akan memberi taushiyah dengan alasan dugaan akan berhubungan dengan politik praktis Pilkada 2024.
Perdebatan kehadiran ulama dalam politik praktis terus diperdebatkan banyak ahli dan ulama itu sendiri. Walaupun faktanya di musim pemilihan langsung ini kehadiran ulama dalam pusaran politik sudah tak terelakkan lagi. Hatta, Wakil Presiden RI justru mantan Ketua Majelis Ulama.
Menempatkan ulama berada di luar arena politik praktis, justru itu juga politik. Harus diakui keberadaan ulama dalam kontestasi politik adalah keniscayaan. Adalah aneh, dalil, dan hukum apa yang dipakai seorang ulama bahkan institusi Majelis Ulama untuk melarang UAS datang memberi taushiyah atas dasar dugaan bermotif politik.
Tidak berlebihan bila diilustrasikan mereka yang anti ulama ikut aktif dalam politik praktis laksana orang berbaju jas di tengah kerumunan orang berbaju kemeja di musim panas. Artinya mereka keberatan ulama terlibat aktif dalam politik praktis adalah orang yang tak paham arti, fungsi dan manfaat yang dibawa oleh kontestasi politik atau politik praktis.
Tidak ada argumen ilmiah dan mungkin juga tidak ada dalil agama yang melarang ulama terlibat dalam politik praktis. Boleh jadi melarang ulama terlibat dalam politik praktis mengkebiri hak ulama atau justru membodohi umat.
URGENSI ULAMA DALAM POLITIK
Urgensi ulama terlibat dalam politik praktis adalah memang kompleks dan memiliki banyak perspektif. Beberapa sudut pandang yang bisa dipertimbangkan.
Argumen yang mendukung keterlibatan ulama dalam politik praktis adalah untuk menjalankan nilai-nilai Islam.
Ulama memiliki kewajiban untuk menyebarkan nilai-nilai Islam dan mengawalnya dalam kehidupan bermasyarakat. Politik praktis diyakini sebagai salah satu cara untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik. Sebab politik praktis ujungnya menghadirkan pemegang kekuasaan.
Ulama dalam tugasnya menjadi penengah dan pembimbing. Ulama diharapkan dapat menjadi penengah dan pembimbing dalam masyarakat, termasuk dalam ranah politik. Mereka dapat memberikan nasihat dan panduan moral kepada para pemimpin dan masyarakat.
Ulama juga berkewajiban mencegah penyimpangan. Ulama dapat berperan dalam mencegah penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam politik. Mereka dapat mengawasi dan mengkritik kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Tugas suci yang melekat dengan ulama adalah memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Ulama dapat memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat melalui politik. Mereka dapat mendorong kebijakan yang pro-rakyat dan memperjuangkan hak-hak kaum lemah.
Harus diakui ada pihak yang tak setuju ulama terlibat dalam politik praktis. Argumen yang menentang keterlibatan ulama dalam politik praktis, di antaranya:
Menurunkan kredibilitas
Keterlibatan ulama dalam politik praktis dapat menurunkan kredibilitas mereka di mata masyarakat. Ulama dianggap sebagai pemuka agama yang seharusnya fokus pada urusan spiritual dan moral, bukan politik. Ini cara pandang simplikasi dan bukan tidak mungkin juga ada tujuan politik juga.
Ada yang mengkhawatirkan keterlibatan ulama dalam politik praktis dapat memicu perpecahan dan konflik di masyarakat. Terutama jika ulama memiliki pandangan politik yang berbeda. Ini bentuk kecemasan yang tak beralasan atau bisa jadi tujuan terselubung.
Mencampuradukkan agama dan politik. Keterlibatan ulama dalam politik praktis dapat mencampuradukkan agama dan politik, yang dapat menimbulkan masalah baru. Stigma politik itu kotor, ulama itu bersih, adalah ghazwul fikri untuk menyingkirkan ulama dari gelanggang politik.
Menurunkan kualitas politik
Keterlibatan ulama dalam politik praktis tidak selalu menjamin kualitas politik yang baik. Ulama juga bisa terjebak dalam kepentingan politik dan melupakan nilai-nilai agama. Asumsi dan opini yang sebenarnya tak dapat dipertanggung jawabkan.
Keterlibatan ulama dalam politik praktis adalah isu yang kompleks dan tidak ada jawaban yang pasti, namun perlu diperhatikan manfaat dan mudaratnya.
Penting untuk diingat bahwa ulama memiliki peran penting dalam masyarakat, baik dalam urusan spiritual maupun sosial.
Keterlibatan ulama dalam politik harus dilakukan dengan bijak dan bertanggung jawab. Ulama harus tetap menjaga integritas dan kredibilitas mereka.
ESENSI POLITIK PRAKTIS
Esensi politik praktis adalah proses dan aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik tertentu dalam konteks nyata. Ini melibatkan berbagai aspek, seperti:
(1). Strategi dan Taktik
Merumuskan strategi. Menentukan tujuan politik yang ingin dicapai dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapainya. Mengembangkan taktik. Memilih metode dan cara yang tepat untuk mencapai tujuan, seperti kampanye, lobi, negosiasi, dan demonstrasi.
(2). Mobilisasi dan Organisasi
Membangun jaringan. Mengumpulkan dan mengorganisir pendukung untuk mencapai tujuan politik. Membangun koalisi. Bekerja sama dengan kelompok lain yang memiliki tujuan serupa. Membangun basis massa. Menjangkau dan memobilisasi masyarakat untuk mendukung tujuan politik.
(3). Komunikasi dan Persuasi.
Menyampaikan pesan. Mengkomunikasikan ide dan tujuan politik kepada publik.
Membangun citra. Menciptakan persepsi positif tentang diri sendiri dan tujuan politik. Memengaruhi opini publik. Membujuk masyarakat untuk mendukung tujuan politik.
(4). Negosiasi dan Kompromi.
Bernegosiasi dengan pihak lain. Mencari kesepakatan dan kompromi untuk mencapai tujuan politik. Membangun konsensus. Mencari titik temu dan kesepakatan bersama.
(5). Pengambilan Keputusan.
Membuat keputusan strategis. Memilih tindakan yang paling efektif untuk mencapai tujuan politik. Menanggapi situasi yang berubah. Beradaptasi dengan perubahan kondisi dan situasi politik.
Jadi esensi politik praktis adalah tentang bagaimana ide dan tujuan politik diterjemahkan menjadi tindakan nyata. Ini melibatkan berbagai keterampilan, seperti strategi, komunikasi, negosiasi, dan organisasi.
Penting untuk diingat bahwa politik praktis tidak selalu tentang mencapai tujuan dengan cara yang ideal.Terkadang, kompromi dan negosiasi diperlukan untuk mencapai tujuan politik dalam konteks nyata.
Mencermati esensi politik praktis di atas dalam hubungannya pemilihan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota maka menjadi wajib hukumnya ulama terlibat aktif dalam politik praktis. Yang haram itu adalah politisi yang mengunakan identitas ulama, lalu berpolitik tidak mencerminkan etika ulama. Membungkus politik dengan kemasan agama dan atau "menjual agama" untuk kepetingan politik kekuasaan.
Kita berharap ulama, umat dan rakyat terus mendewasakan diri dalam menghadapi realitas politik. Lebih lagi Pilkada di Sumatera Barat semua tokoh adalah anak nagari terbaik. Ayo mari laksanakan kearifan adat "patarang sajo lampu awak, jaan di padamkan lampu urang" Ulama tetaplah menjadi suluah bendang dalam nagari untuk semua. tks 29102024.
*Pembina Majelis Silaturahmi Tuanku Nasional