Rencana cover buku biografi Ahmad Yusuf Tuanku Sidi. (ist) |
PADANG PARIAMAN, Sigi24.com -- Bagi H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi, semua masalah dan problem mesti ada jalan keluarnya. Jangan mentok apalagi sampai menyuruh santri bersangkutan pulang kampung.
Artinya, seorang pemimpin apalagi pemimpin pondok pesantren penting sekali memiliki sifat komunikatif. Penting musyawarah dan mufakat, sehingga bisa melahirkan keputusan yang seimbang.
Suatu ketika pernah terjadi masalah yang cukup berat terhadap seorang santri di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan.
Sekitar tahun 1994. Saya baru setahun tiba di pondok itu. Datang masalah terhadap Mardian. Seorang santri asal Lohong, Nagari Balah Aie. Masalahnya cukup berat.
Tapi, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, sang guru besar pondok belum tahu dan belum pula diberitahu oleh guru tuo.
Hanya saja pengurus OSIP yang menjalankan peraturan di pondok, sudah tiba pada kesimpulan untuk menyuruh mendiang Mardian ini pulang kampung, dan tidak lagi diperkenankan mengaji di pondok.
Di tengah persoalan itu, H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi tiba. Dia berunding dengan seluruh guru tuo dan pengurus OSIP.
Lama perundingannya siang itu. Sebagai senior alumni yang juga Pimpinan Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua, Ahmad Yusuf ingin persoalan pada santri bersangkutan tidak sampai pada ranah mendeskreditkan.
Dengan berbagai argumentasi yang pas, melihat dan membaca pertimbangan yang matang. Berbalas pantun pun tak bisa dihindari antara Ahmad Yusuf dengan sejumlah guru tuo ini.
Argumentasi yang bersahabat. Ahmad Yusuf memang terkenal pintar berargumen, lihai berkomunikasi, punya jaringan yang luas.
Kalau tak salah, ada dua kali Ahmad Yusuf ini mendatangi Lubuk Pandan, terkait persoalan itu. Datang pertama dia bertemu dengan guru tuo langsung oleh Mardian.
Lalu pertemuan kedua dengan seluruh guru tuo dan pengurus OSIP. Ketua OSIP Ardindas Khatib Sati. Santri asal Gunung Rajo, Tanah Datar yang tengah jadi marapulai kaji saat itu.
Atiak Win, Tuo Afredison, Tuo Nafai', Tuo Lukman, Tuo Bujang, Asrizal Malin Sinaro yang sama marapulai kaji Ardindas dan sejumlah guru tuo lainnya ikut.
Tentu semuanya ingin yang terbaik. Para guru dan tuo yang sudah sepakat dengan kerja yang dijalankan OSIP, ingin peraturan pondok berjalan sesuai irama dan ketentuan yang sudah ditetapkan.
Ahmad Yusuf, selaku tokoh yang minta suaka terhadap santri bersangkutan, pun tetap ingin yang terbaik.
Rasa kekeluargaan yang telah terbina dengan baik, jangan dirusak oleh seorang santri. Dan lagi, persoalan itu diharapkan tidak melebar ke seluruh santri di pondok yang berdiri sejak 1940 itu.
Dengan kasus itu, Ahmad Yusuf telah memberikan pencerahan. Setidaknya keluasan pikiran dan wawasan, menjadikan lahirnya keputusan yang seimbang.
Pencerahan terhadap yuniornya di Lubuk Pandan. Memang saat Ahmad Yusuf meninggalkan Lubuk Pandan, para guru tuo dan pengurus OSIP ini, hanya sebagian kecil yang bersua dengan dia dulunya.
Namun, semuanya saling kenal. Karena ketika datang ke Lubuk Pandan, Ahmad Yusuf selalu membangun komunikasi dengan guru tuo tersebut.
Kami para guru tuo jelas pasti mengenal Ahmad Yusuf. Yang luar biasa itu, Ahmad Yusuf mengenai seluruh guru tuo. Termasuk saya yang baru mulai di Lubuk Pandan, belajar jadi guru tuo, pun dikenalnya. Hafal seluruh nama guru tuo oleh Ahmad Yusuf ini.
Tak semua alumni senior itu mengenal guru tuo secara total itu. Tapi Ahmad Yusuf pengecualian sepertinya. Bisa hafal dan akrab pula.
Komunikasi persahabatan, perkawanan serta satu keluarga besar, Madrasatul 'Ulum, murid dari Syekh Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
Pada Senin 9 September 2024 lalu, Ahmad Yusuf wafat. Wafat di sebuah rumah sakit di Pariaman. Saya tertegun ketika dapat kabar itu.
Saya sedang dalam perjalanan tugas dari Meulaboh, Aceh Barat ke Banda Aceh. Di atas mobil yang cukup melaju kencang, HP saya berdenyut, tertera Marulis Tuanku Mudo yang menelpon.
Saya angkat, tak terdengar suaranya. Maklum, saya tengah melewati jalanan yang kiri kanannya banyak rimba. Berkali-kali pimpinan Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan ini mengontak saya, tetap saja tak nyambung alias tidak terdengar suara dia.
Karena keseringan nelpon, mobil pun tiba di sebuah pasar di Aceh itu, saya telpon balik Marulis Tuanku Mudo.
"Dima tuanku," tanya Marulis Tuanku Mudo dibalik genggaman telpon. "Ambo di Aceh, Buya. H. Ahmad Yusuf lah dahulu".
Innalillahi wa innailaihi rajiun. Komunikasi saya dan Marulis Tuanku Mudo pun dihentikan.
Lalu kawan saya lima orang di atas mobil itu, saling bertanya tentang kabar duka yang barusan saya terima, Senin siang menjelang sore itu.
Saya buka HP, ternyata foto Ahmad Yusuf Tuanku Sidi masih ada di HP saya. Foto terakhir dia barangkali, dikirim oleh Titip Elyas Tuanku Sulaiman, guru tuo di Lubuak Pua.
Foto yang mengisahkan rapat tentang banyak hal di Lubuak Pua. Seminggu jelang Ahmad Yusuf wafat, kira-kira foto itu.
Lewat foto itu pula saya tulis kabar di jejaring media sosial. Sebentar saja, status itu dapat sambutan dan kiriman doa buat pimpinan Madrasatul 'Ulum Lubuak Pua ini.
Laporan: damanhuri