Foto bersama Prof. Duski Samad dengan Ali Bakri Tuanku Khalifah dan ulama lainnya di Masjid Raya Syekh Madinah. (ist) |
Tertulis di papan nama Masjid Raya Syekh Madinah Sungai Gimba Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat, begitu jelas di depan jalan beraspal dari Pasar Kampuang Galapuang Ulakan. Perjalanan penulis mengunjungi masjid bersejarah ini menjadi berkesan ketika berdiskusi mendalam dengan tokoh yang ditemui khalifah ke enam dari Tuanku Fatah yang dikenal dengan sebutan Syekh Tibarau, satu angkatan dengan Tuanku Imam Bonjol.
Haji Ali Bakri Tuanku Khalifah menerangkan, bahwa khalifah yang dia sandang saat ini adalah khalifah silsilah tarekat Syekh Burhanuddin Ulakan yang rumpunnya dari Tuanku Fatah lebih populer Tuanku Tibarau.
Ada dua lagi khalifah Syekh Burhanuddin yaitu khalifah yang menyimpan dan memelihara pakaian di Surau Pondok dan yang lain khalifah di Surau Tanjung Medan sebagai khalifah dari jaringan keilmuan surau pertama yang didirikan Syekh Burhanuddin, di atas tanah sahabatnya Idris Tuanku Majolelo.
Ketiga-tiga khalifah Syekh Burhanuddin Ulakan ini aslinya hanya satu, dan kemudian berkembang dengan lingkup kewenangan spiritual masing-masing. Walau masing-masing memiliki fungsi sosial yang berbeda.
Artinya perlu ditegaskan bahwa dari sisi silsilah tarekat mereka semua dari rumpun yang satu, kemudian pada dua generasi belangkangan muncul perbedaan. Saling menyebut diri sebagai khalifah diharapkan dapat bersanding, bukan bertanding dalam tugas fungsi kekhalifahan spiritual.
Bila ada kompetensi atau pertandingan dan saling menyebut paling penting, maka yang rugi adalah umat pengikut dan penganut tarekat Syattariyah yang bersilsilah ke Syekh Burhanuddin Ulakan.
Perlu dijelaskan bahwa khalifah dalam ranah tarekat, khususnya tarekat Syattariyah adalah guru atau mursyid tarekat yang meneruskan silsilah sanad dari guru sebelumnya yang telah wafat (suksesor).
Khalifah bukan dalam artian pewarisan kekuasaan, tidak juga dalam artian keturunan, karena Syekh Burhanuddin Ulakan dalam riwayat disebut tidak punya anak atau keturunan.
Lebih dalam disampaikan bahwa khalifah Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan dapat disebut sebagai pelanjut tradisi keilmuan yang awalnya diletakkan Syekh Burhanuddin memang di Surau Tanjung Medan. Sekarang dijabat oleh Tuanku Kuning Syahril Luthan yang menetap di Jakarta. Dalam kenyataannya penyebutan khalifah untuk di Tanjung Medan baru ada ketika Tuanku Luthan hidup yang selanjutnya diturunkan pada anaknya Syahril Luthan.
Khalifah yang bermarkas di Surau Pondok Ulakan, dimana tempat tersimpan dan sekaligus pemelihara pakaian, benda purbakala dan kepustakaan Syekh Burhanuddin Ulakan adalah juga kenyataan yang mereka sudah menyebutnya pula, saat ini dijabat oleh Heri Firmansyah gelar Tuanku Khalifah. Yang sebelumnya dijabat oleh Khalifah Syekh Bermawi yang juga tertera dalam silsilah tarekat Syattariyah jalur Syekh Burhanuddin Ulakan.
Sedangkan khalifah yang rumpunnya berasal dari silsilah Syekh Tibarau kini dikembangkan Masjid Raya Syekh Madinah adalah khalifah ke 6 dipegang oleh Ali Bakri Tuanku Khalifah.
Penyebutan tiga khalifah di atas yang mendasarkan pada silsilah tarekat, kemudian dikembangkan pada dua generasi sebelumnya, dalam silsilah tarekat itu boleh dan lazim saja.
Kecuali ada masalah ketika maksud Khalifah Syekh Burhanuddin Ulakan itu menurut kaidah adat salingka Nagari Ulakan. Memang dalam kaidah adat Minangkabau, adat salingka nagari hanya berlaku dan diakui oleh pemangku kepentingan adat di Nagari Ulakan itu sendiri.
Agaknya, pengikut dan penganut tarekat Syattariyah tidak akan mempermasalahkannya, dan itu sepenuhnya memang kewenangan pemangku adat dan syarak Nagari Ulakan tempat di mana Syekh Burhanuddin berdakwah dan dimakamkan. Kearifan adat Minangkabau menyebut untuaknyo bapunyo ganggam bapadok, saketek-ketek kapa banangkodo.
MENGUAK TABIR SYEKH MADINAH
Tuanku khalifah Ali Bakri menceritakan lebih dalam tentang satu segmen kisah Syekh Burhanuddin Ulakan, yakni gurunya Syekh Madinah. Syekh Madinah Arif billah dari bermukim Si Gimba, artinya awal katanya Sungai dan Mimbar.
Sungai kecil yang mengalir di belakang Masjid Syekh Madinah dan gimbar itu dari mimbar tempat khutbah pertama Syekh Madinah dalam menyebarkan Islam. Begitu paparan Tuanku Khalifah Ali Bakri pada Selasa 24 September 2024 di Masjid Syekh Madinah Sungai Gimba Ulakan ini dalam mengisahkan bahwa Syekh Madinah ini tidak menetap di Sungai Gimba ini.
Syekh Madinah ini pedagang dari Arab yang datang sekali 6 (enam) bulan. Itulah sebabnya ia meminta Pono (kemudian bergelar Syekh Burhanuddin) belajar ke Syekh Abdurrauf ke Aceh yang saat itu sedang terkenal luas.
Sejarah mencatat Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M-Kuala Aceh, Aceh 1105H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya.
Melihat tahun hidup Syekh Abdurrauf yang sezaman dengan Syekh Madinah maka dapat dikatakan beliau satu di antara ulama pedagang dari jazirah Arab yang mengembara abad ke 11 hijriah atau ke 17 masehi.
Azyumardi Azra (wafat 2023) dalam bukunya Jaringan Ulama Nusantara Abad 17 dan 18 (Penerbit Mizan) mengurai kontribusi ulama nusantara dalam Islamisasi. Di antara tulisan tersebut, murid al-Qusyasyi dari Nusantara adalah Abd al-Rauf al-Sinkili, Muhammad Yusuf al-Maqassari, dan Nur al-Din al-Raniri.
Tiga tokoh itu bertanggung jawab dalam penyebaran gagasan-gagasan pembaruan Islam dan tarekat di Indonesia. Misalnya, al-Sinkili lewat salah satu muridnya dari Jawa Barat yaitu Abd al-Muhyi membantu penyebaran tarekat Syattariyah di Jawa. Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman Minangkabau.
Selain penyebaran tarekat, tokoh-tokoh tersebut juga membawa gagasan pembaruan Islam dari guru-guru mereka di Haramain, yaitu gagasan neo-sufisme.
Dalam neo-sufisme tidak ada pertentangan antara aspek eksoteris (syari'at) dan aspek esoteris (mistis/hakikat). Ulama yang berperan aktif lahirnya neo-sufisme antara alain al-Jili, al-Qusyairi, dan al-Ghazali.
Sedangkan istilah neo-sufisme seperti yang dikatakan oleh Azra dikenalkan oleh Fazlur Rahman. Lewat gerakan neo-sufisme mereka melawan dan membersihkan orang-orang yang mempraktekan tasawuf dengan cara yang salah. Misalnya, tidak menjalankan syari'at dengan sempurna dan tercampur dengan pemikiran spekulatif mistiko-filosofis. Hal ini seperti yang dilakukan oleh al-Raniri di Kesultanan Aceh dalam melawan dan membunuh kelompok wahdat al-wujud yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan muridnya, yaitu Syamsu al-Din al-Sumantrani.
DESAKRALISASI SEJARAH
Mencermati dan mengamati kajian sejarah Islam dan melihat fakta lapangan di masyarakat hendaknya harus ada rasa budaya dan praktik sejarah yang mesti ditempatkan secara wajar dan proporsional. Sejarah rakyat, cerita turun temurun, dan hikayat dari sumber yang lemah otoritasnya adalah realitas yang tentu perlu dikonsolidasikan oleh ilmuwan sejarah dan ulama pengikutnya.
Berkaitan dengan sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan dan sejarah Syekh Madinah yang mengajar di Sungai Gimba Ulakan adalah sejarah, kisah dan kebanggaan dari pengikut Syattariyah yang bersilsilah ke Ulakan yang tentunya dipercaya oleh komunitasnya. Bagi masyarakat di luar komunitas Tarekat Syattariyah dan pemangku adat Nagari Ulakan sejarah ya sejarah yang mengungkap masa lalu untuk di 'itibari dan menjadi inspirasi bagi generasi berikut.
Sejarah yang berkaitan dengan ulama dan keulamaan tidaklah berbeda dengan sejarah lainnya. Sejarah tidak patut dan menjadi tidak baik bila disertai dengan keyakinan, penyucian dan pandangan keimanan yang tak ada sangkutpautnya. Dalam kajian ilmiah itulah yang dimaksud dengan desakrilisasi.
Artinya menanggalkan sakral atau kesucian sejarah atau mengembalikan sejarah sebagai bahan ajar dan inspirasi perjuangan masa depan. Kata sakral memiliki makna suci, kesucian, magis, dan pantang dilanggar, sehingga apabila dilanggar akan mendatangkan bahaya. Makna desakralisasi sejarah maknanya menjadikan sejarah untuk bahan ajar dan inspirasi kemajuan generasi mendatang.
Memposisikan dan mempromosikan desakralisasi sejarah diperlukan untuk mengembalikan paham tarekat Syattariyah dan gagasan besar dakwah kultural yang dilakukan Syekh Burhanuddin, Syekh Abdur Rauf al Sinkili dan ulama nusantara lainnya dapat lebih kuat dan menjadi bahan dasar memuliakan ulama pengembangan Islam masa lalu.
Desakralisasi sejarah keulamaan diharapkan dapat menimbulkan spirit, semangat dan keinginan kuat generasi intelektual dan kaum milenial mengkaji lebih dalam sejarah keulamaan sebagai modal ruhaniyah.
Pengalaman menulis buku sejarah, lebih lagi sejarah dari data lisan, yang potensi perbedaan cukup kuat adalah kesiapan menerima kritikan terhadap narasi perbedaan dari sumber yang berbeda.
Pesannya bahwa menulis sejarah ulama, lebih lagi ulama tarekat, aslinya adalah mulia, namun harus hati-hati dan paham ada resiko sakralisasi sejarah yang akibatnya menimbulkan iklim tidak baik dan sering disalahpahami oleh pengikutnya tak paham bahwa kebenaran sejarah itu tidak final, dan sejarah itu bukan sakral, adanya perbedaan selama didasarkan sumber yang oritatif itu boleh dan biasa saja.
Sebagai penutup dari diskusi tim Majelis Silaturahmi Tuanku Nasional dengan Ali Bakri Tuanku Khalifah, Khatib dan Imam Masjid Syekh Madinah Sungai Gimba Ulakan disepakati akan dilakukan HALAQAH ULAMA TUANKU dengan mengundang ulama Tuanku di Sumatera Barat dengan tema meneguhkan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah dan memperkuat kesatuan ulama Tuanku.
Bahasan pokok yang akan dimuzakarahkan berkaitan dua hal penting, (1). Tentang makna, hakikat dan esensi khalifah Syekh Burhanuddin, (2) Rumusan taushiyah ziarah dan basapa ke makam Syekh Burhanuddin Ulakan. Semoga rencana mulia ini dapat dilakukan oleh Majelis Tuanku Nasional atas dukungan tiga orang khalifah Syekh Burhanuddin Ulakan yang diharapkan menjadi pembina dari Majelis Silaturahmi Tuanku Nasional. @seigimba@24092024.
*Penulis Buku Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau (2003)