Buya adalah panggilan terhadap ulama yang umum dikenal luas di nusantara, walau aslinya istilah Buya bermula dari ranah Minangkabau.
Dalam memory kolektif masyarakat Sumatera Barat, konsep Buya sama dengan ulama. Mestinya tidak semua Buya yang masuk kategori ulama. Bagi publik orang sekedar rajin shalat, fasih jadi imam, pandai khutbah dan ceramah agama mereka sudah dipanggil Buya. Akibatnya sebutan Buya menjadi obral, dan tidak memperhatikan lagi kompetensi dan kepribadiannya sebagai ulama.
Pemakaian istilah Buya di Piaman laweh identik dengan Tuanku. Konsep Buya dan Tuanku yang tak selektif, dan tidak jelas silsilah keilmuaannya sering terjadi memakaikan sebutan Buya pada sosok yang belum pantas menyandang kompetensi diri ulama. Penelitian Sadri Chaniago justru menemukan bahwa Buya yang bergelar Tuanku tidak cukup kuat pengaruh dalam meraut suara pemilih.
Buya dan ulama dua entitas yang harusnya dipisahkan. Buya tokoh agama yang dilekatkan masyarakat tepatnya dapat dikatakan ulama kultural. Sedangkan ulama itu memiliki kompetensi dan kepribadian tersendiri.
ULAMA DALAM KONSTESTASI POLITIK PRAKTIS
Pengaruh ulama dalam kontestasi politik praktis sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada konteks, budaya, dan sistem politik yang berlaku.
Pengaruh positif ulama dalam politik praktis, termasuk dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA).
Pengawal moral dan etika: Ulama dapat menjadi suara moral dan etika dalam politik, mengingatkan para pemimpin dan masyarakat tentang nilai-nilai agama dan keadilan. Mereka dapat mendorong perilaku yang jujur, adil, dan bertanggung jawab.
Pendidikan Politik: Ulama dapat memainkan peran penting dalam mendidik masyarakat tentang hak dan kewajiban politik, serta pentingnya partisipasi dalam proses demokrasi.
Mediasi dan Dialog: Ulama dapat menjadi mediator dalam konflik politik, membantu membangun dialog dan mencari solusi damai.
Pembangun Masyarakat: Ulama dapat berperan dalam membangun masyarakat yang damai, toleran, dan harmonis, dengan mempromosikan nilai-nilai persatuan dan toleransi.
Pendorong Reformasi: Ulama dapat menjadi penggerak reformasi sosial dan politik, dengan mengkritik ketidakadilan dan mendorong perubahan menuju sistem yang lebih adil dan bermartabat.
Bersamaan itu terlibatnya ulama dalam politik membawa pengaruh negatif.
Politisasi Agama. Ulama dapat terjebak dalam politik praktis dan menggunakan agama untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Hal ini dapat menyebabkan polarisasi dan konflik antar kelompok.
Manipulasi Agama. Ulama dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengendalikan masyarakat dan mencapai tujuan politik mereka.
Kekerasan dan Ekstremisme. Dalam beberapa kasus, ulama dapat mendukung kekerasan dan ekstremisme atas nama agama, yang dapat mengancam keamanan dan stabilitas.
Penolakan terhadap Demokrasi. Beberapa ulama mungkin menolak sistem demokrasi dan menganggapnya bertentangan dengan nilai-nilai agama. Hal ini dapat menghambat proses demokratisasi.
Namun ada pula pengaruh yang tidak seimbang. Ulama dapat memiliki pengaruh yang tidak seimbang dalam masyarakat, yang dapat menghambat partisipasi politik dan suara-suara lain.
Jadi pengaruh ulama dalam kontestasi politik dapat menjadi positif atau negatif, tergantung pada bagaimana mereka menjalankan peran mereka.
Penting bagi ulama untuk tetap berpegang pada nilai-nilai agama dan etika, serta untuk menghindari manipulasi dan kekerasan. Masyarakat juga perlu kritis terhadap pengaruh ulama dan memastikan bahwa mereka tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Penting untuk diingat bahwa:
Tidak semua ulama memiliki pengaruh yang sama dalam politik. Pengaruh ulama dapat bervariasi tergantung pada konteks dan budaya. Penting untuk memahami peran ulama dalam masyarakat dan bagaimana mereka dapat berkontribusi pada proses politik.
RESISTENSI ULAMA IKUT POLITIK PRAKTIS
Resistensi ulama terhadap politik praktis adalah topik yang kompleks dan memiliki banyak perspektif. Berikut beberapa alasan mengapa beberapa ulama mungkin menolak keterlibatan dalam politik praktis:
1. Fokus pada Dakwah dan Ibadah. Prioritas Utama: Banyak ulama berpendapat bahwa tugas utama mereka adalah menyebarkan ajaran Islam, mendidik umat, dan membimbing mereka dalam menjalankan ibadah. Mereka percaya bahwa politik praktis dapat mengalihkan fokus mereka dari tugas-tugas ini.
2. Konflik Kepentingan. Keterlibatan dalam politik praktis dapat menimbulkan konflik kepentingan, terutama jika ulama harus mengambil posisi yang kontroversial atau berpihak pada kelompok tertentu.
3. Ketakutan Terhadap Korupsi dan Kemunafikan.
Ulama mungkin khawatir bahwa politik praktis dapat mengarah pada korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pengabaian nilai-nilai Islam.
Kemunafikan. Mereka mungkin takut bahwa keterlibatan dalam politik praktis dapat menyebabkan kemunafikan, di mana mereka mungkin harus berkompromi dengan prinsip-prinsip mereka untuk mendapatkan keuntungan politik.
4. Ketidakpercayaan Terhadap Sistem Politik. Sistem Politik yang Rusak. Beberapa ulama mungkin tidak percaya pada sistem politik yang ada, menganggapnya tidak adil, tidak demokratis, atau tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
5. Ketidakmampuan untuk Berubah. Mereka mungkin merasa bahwa keterlibatan mereka dalam politik praktis tidak akan membawa perubahan yang berarti.
6. Pertimbangan Moral dan Etika.
Kekerasan dan Konflik. Ulama mungkin menolak politik praktis karena mereka tidak ingin terlibat dalam kekerasan atau konflik yang mungkin terjadi dalam arena politik.Kehilangan Kepercayaan. Mereka mungkin khawatir bahwa keterlibatan dalam politik praktis dapat menyebabkan mereka kehilangan kepercayaan dari umat.
7. Perbedaan Interpretasi Ajaran Islam.Interpretasi yang Berbeda. Ada perbedaan interpretasi tentang peran ulama dalam politik praktis di antara para ulama sendiri. Beberapa ulama percaya bahwa ulama harus aktif dalam politik untuk membela Islam, sementara yang lain percaya bahwa ulama harus tetap netral.
Tidak semua ulama memiliki pandangan yang sama tentang politik praktis. Ada banyak ulama yang aktif dalam politik dan percaya bahwa mereka dapat menggunakan pengaruh mereka untuk membawa perubahan positif.
Resistensi terhadap politik praktis tidak selalu berarti bahwa ulama tidak peduli dengan masalah sosial atau politik. Mereka mungkin memilih untuk menggunakan cara lain untuk mempengaruhi perubahan, seperti melalui dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial.
Pada akhirnya, keputusan untuk terlibat atau tidak terlibat dalam politik praktis adalah keputusan pribadi yang harus diambil oleh setiap ulama berdasarkan keyakinan dan nilai-nilai mereka.
Pesannya jika ulama ikut dalam politik praktis lebih tinggi mudaratnya dari manfaatnya. Kecuali Buya sebagai ulama kultural dan ulama praktis diminta untuk teguh menjalankan politik keadaban, moral keagamaan dan integritas diri sebagai tokoh umat.
Semoga Buya, Tuanku, Ustad dan mubaligh yang telah menceburkan diri dalam politik praktis kiranya istiqamah dengan adat dan adab yang mulia. DS. 17092024