Oleh: Prof. Duski Samad Tuanku Mudo
Akhir Juli 2024 ini jagad media mainstream lebih lagi media sosial dipenuhi berita, ulasan, komentar dan postingan yang memiriskan hati dan mencemaskan orang tua siswa, santri dan penggiat pendidikan dengan terjadinya kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan Islam menengah dan di kampus perguruan tinggi Islam yang selama ini menjadi pagar Islam, budaya dan peradaban bangsa.
Dunia terbalik, kerusakan begitu massif dan banyak ungkapan negatif dari netizen, bahkan ada informasi bahwa orang tua santri menarik anaknya yang sudah belajar di pondok pesantren. Mereka yang phobia Islam dan tidak pro pendidikan Islam mengambil kesempatan dari musibah ini dengan mengulas, dan memprovokasi melampaui dari kejadian sebenarnya, yang akibat tak langsungnya meruntuhkan martabat pesantren dan kampus yang memang menjadi target oleh musuh-musuh Islam.
Sangat membuat hati gusar, ketika masyarakat lingkungan tidak memberikan dukungan penyelesaian ketika madrasah terpuruk wibawanya, alasan hanya memboikot yayasan,
namun media menyiarkan memboikot MTI. Madrasah yang jasa besarnya sudah mencerdaskan ribuan anak bangsa dan punya jejak sejarah panjang, menjadi tercoreng kehormatannya, disebabkan perilaku segelintir gurunya, satu kerbau berkubang semua kena lumpurnya, begitu kata pepatah.
Akal sehat dan hati jernih menjadi tumpul mencermati ulah penggiat media, tak terkecuali media mainstream surat kabar dan televisi, yang rendah sekali seleksi berita yang akan dimuat. Bahkan ada yang mengangkat berita, opini dan pendapat yang hanya sebatas katanya, asumsi dan tuduhan yang tak jelas sumber. Kasihan pula narasumber yang hanya bicara berdasarkan informasi medsos yang tak jelas sumbernya.
Pilihan berita tidak lagi didasarkan pada akal sehat dan akibat lanjutan yang akan terjadi. Tidak pula berlebihan, dan dapat diterima hukum sosial bila komunikasi jika sudah beredar di ruang publik, siapapun dapat memahami dan menanggapinya sesuai sudut pandang mereka. Lebih lagi era postrusth yang dihembuskan medsos, melalui jargon kata viral dan framing menjadi konsumsi semua pihak, maka ekses tak terduga pasti terjadi, tugas pihak yang sedang menderita sosial dan kejiwaan untuk memperkuat ketahanan diri dan institusi (resilensi) dengan menjalankan aturan hukum, moral dan sanksi tegas sebagaimana mestinya.
Ruang sosial yang terbuka lebar, kelatahan jari jemari penggiat medsos seringkali lebih cepat dari proses berfikir sehat dan benar, maka postingan, komentar dan share tanpa care telah menjadi racun berbisa yang korbannya dapat mengena siapapun. Faktanya dapat dibaca judul besar postingan di group whatshaap yang bombastis, dan tidak jarang sudah menjatuhkan vonis sebelum dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh institusi dan penegak hukum sesuai aturan hukum.
TIDAK SEKEDAR PENDEKATAN HUKUM
Realitas sosial yang menjungkirbalikan norma, nilai, aturan dan kepatutan adalah tantangan yang tengah masyarakat era digital. Cendikiawan yang bertindak bodoh, penggiat pendidikan Islam yang tak amalkan aturan dan etik Islam, guru agama yang amoral, ahli hukum yang menjadi pelanggar hukum dan sederetan lainnya adalah keadaan yang sulit untuk dijawab, kadang kala sulit di nalar akal cerdas, tak habis pikir mengapa ini terjadi, namun kini itu menjadi nyata.
Kasus amoral yang tengah mendera institusi pendidikan Islam akhir-akhir ini mestinya dapat menjadi bahan renungan, refleksi, koreksi dan sekaligus menyiapkan diri menyusun langkah-langkah mitigasi di masa datang. Kasus amoral, pelecehan seksual dan perilaku menyimpang lainnya adalah masalah yang berdampak luas dan membawa korban yang tidak sedikit.
Penyelesaian kasus sebatas pendekatan hukum positif saja diyakini tidak dapat menyelesaikan masalah ke akar-akarnya dan berpotensi akan terulang kembali bila saatnya terbuka dan ada kelengahan.
Masyarakat pada dasarnya tidak tahu seutuhnya tentang keadaan yang dialami dan terjadi di dunia pendidikan yang tengah berubah drastis. Relasi murid guru, guru dengan pimpinan, pengasuh dengan guru dan pimpinan, sekolah dengan orang tua yang selama ini mengandalkan kepercayaan semata, tentu mesti dikaji ulang dan dievalusi secara komperhensif.
Oleh karena itu penyelesaian kasus dengan pendekatan hukum saja, tidak dapat menyelesaikan masalah yang kaffah. Pemegang otoritas pendidikan di sekolah, madrasah, pesanteren dan kampus tentu harus hati-hati mengambil tindakan karena kasus amoral dan pelecehan sudah memiliki regulasi yang bila salah dalam menyikapinya bisa membawa konsekwensi tidak produktif. Bersabar dan profesional mengikuti alur hukum dan standar operasional prosedur (SOP) adalah cara terbaik, dan segera mengambil tindakan tegas bila semua ketentuan sudah diikuti dan dijalani. Memang, netizen sering nyiyir, ketika tindakan hukum lambat diambil pimpinan institusi. Biarlah dinyiyiran netizen dari pada berhadapan dengan hukum positif.
Patut diingatkan bahwa pendekatan hukum perlu dan sangat perlu, namun dalam dunia pendidikan ada hal lain yang hendaknya menjadi perhatian, yaitu manusia itu sendiri.
Pendekatan hukum yang seringkali di desakan oleh penggiat medsos, bahkan seringkali pimpinan institusi di bully, dituduh lambat, dan kritik lainnya, namun sekali lagi pimpinan lembaga mesti hati-hati dan mengambil tindakan yang dapat memberi effek jera bagi pihak-pihak yang berpotensi menjadi predator atau pemangsa di kemudian hari.
Tidak sekedar pendekatan hukum menjadi penting dapat dilihat dari ekses hukum yang terjadi saat masyarakat lingkungan tidak diikut diperhatikan dan diberi informasi yang jelas duduk perkara atau masalahnya. Baru kali ini berita penderitaan dan musibah yang menimpa madrasah justru masyarakat lingkungannya memboikot yayasan. Apapun kondisi sebelumnya, namun yang pasti ada masalah terselubung yang terpicu oleh kasus memalukan itu.
MENYELAMATKAN MANUSIANYA
Pemegang amanah di lembaga pendidikan dituntut menempatkan masalah pelanggaran norma, etik dan hukum di lingkungan pendidikan, dalam hal ini pimpinan, mahasiswa dosen, guru, pembina asrama dan orang tua, agar memiliki paradigma berfikir dari filsafat manusia. Artinya keadaan apapun yang terjadi prioritas menyelamatkan manusianya adalah keniscayaan prioritas. Menyelamatkan tekanan perasaan, psikologis korban, masa depan korban, kesehatan fisik korban, kekecewaan orang tua, dan teman sebaya yang bisa saja menjadi korban oleh predator lain adalah pertimbangan yang harus diperhatikan dengan seksama.
Sebagai contoh penting menyelamatkan manusianya atau korban dapat dibaca dari postingan netizen dalam satu group whatshaap ... setiap kasus mesti kembali ke aturan, kategori pelanggarannya berat, sedang atau ringan. Sanksi sesuai kategori pelanggaran.
Di samping itu, secara prosedur tegurannya bertahap. Netizen lain berkomentar..semoga sanksi yang diberikan oleh tim dapat menyenangkan hati si korban dan kita-kita yang sangat mencemaskan dampak-dampak yang akan terjadi berikutnya sebagai akibat dari keputusan yang diambil. Diskusi perlunya memperhatikan korban, dan orang terkait dengan korban adalah keharusan yang mesti dipatuhi semua pihak.
Kegusaran, kegelisahan dan kepedulian penggiat pendidikan tentang penyakit sosial yang menjangkiti pesantren dan kampus adalah begitu masih kuatnya kecintaan pada dunia pendidikan Islam di mana Sumatera Barat perintis sejak awal. Seorang penggiat pendidikan menulis di kolom medsos...Sangat kita harapkan tim segera menuntaskan amanah yang diembannya secara obyektif, berdasarkan data-data dan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan dan membuat kesimpulan berdasarkan data-data dan bukti-bukti tersebut untuk menyelematkan dunia pendidikan Islam.
Penting kita ingat dan dipahami, predator ini (kalau istilah ini tepat) telah merusak citra dan nama baik institusi pendidikan Islam. Agaknya tepat, pepatah lama untuk kita renungkan, akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena itu, harapan kita kepada pimpinan, tegakkan hukum secara tegas, kepada yang bersangkutan berikan hukuman yang setimpal berdasarkan aturan dan disiplin yang ada. Mohon kepada pimpinan untuk tidak memberi toleransi apapun terhadap tindakan yang bersangkutan yang telah merusak citra lembaga ini.
KPENDIDIKAN MENENGAH DAN PENDIDIKAN TINGGI
Reset Pendidikan maksudnya menata ulang kembali hubungan dunia pendidikan Islam menengah (sekolah, madrasah dan pondok pesanteren) dengan dunia pendidikan tinggi Islam, (Universitas Islam Negeri (UIN), dan Sekolah Tinggi Agama Islam swasta) adalah menyatukan langkah-langkah bersama dalam melakukan pembinaan terhadap siswa, dan santri yang sedang dalam masa puberitas.
Tiga kampus Perguruan Tinggi Negeri Islam, UIN Imam Bonjol di Padang, UIN Syekh Muhammad Djamil Jambek di Bukittinggi, UIN Mahmud Yunus di Batusangkar serta puluhan Sekolah Tinggi Islam swasta adalah lembaga akademik yang dituntut tidak sibuk dengan dirinya sendiri, hidup di menara gading, begitu tamsilannya. Kampus mesti ikut memberikan dharma baktinya, dalam dharma pengabdian kepada masyarakat, memberikan bimbingan dan pelatihan manajemen dan tata kelola lembaga sesuai tantangan kontemporer.
Dosen dapat memberikan konseling dan bimbingan pada korban, keluarga korban, masyarakat lingkungan dan tentu juga pimpinan lembaga. Mitigasi yang berkelanjutan fenomena penyakit masyarakat dan anak didik usia remaja yang tinggal di asrama, perlu dievaluasi kembali. Pengelolaan asrama santri, relasi santri dengan guru pengasuh, tata tertib dan pengawasan mesti dilalukan super visi berkelanjutan. Tenaga ahli dari kampus sebenarnya tersedia di kampus tiga UIN di Sumatera Barat.
Alokasi dana Perguruan Tinggi Negeri Islam melalui pengabdian masyarakat oleh dosennya dengan mengambil tempat di madrasah, sekolah dan pondok pesanteren tentu akan dapat mencegah kejadian pelecehan dan tindakan tercela. Begitu juga di kampus sendiri terjadi kasus pelecehan oleh dosen terhadap mahasiswa ada hubungkaitnya dengan lemahnya super visi dan mitigasi kampus terhadap relasi kuasa mahasiswa dan dosen.
Akhirnya ingin ditegaskan kampus dan madrasah mesti segera bangkit dan memperbaiki citra institusi dengan menseriusi kinerja pendampingan dan menata ulang tata kelola yang dapat mengantisipasi perubahan sosial. Era digital postruts yang menimbulkan kegalauan intensitas tinggi dapat diatasi dengan memperkokoh tempat berpijak yakninya keyakinan agama, moral dan relasi sosial serta berpegang pada kehidupan nyata. Masyarakat diminta untuk dengan bijak dan hati-hati dalam menyikapi kasus yang menimpa lembaga pendidikan Islam. Jangan hanya karena ada suasana hubungan yang kurang sehat dengan individu, lalu lembaga yang diberi beban. Semoga Pendidikan Islam Sumatera Barat tetap terus bersinar dan kuat menghadapi cobaan ini. Amin, 06082024.
*Guru Besar UIN Imam Bonjol