Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Polemik Persyaratan Administrasi Bakal Calon Kepala Daerah, Dikupas KPU Sumbar dan FSB di Payakumbuh

Foto bersama usai pembahasan polemik pencalonan kepala daerah di Payakumbuh, yang diadakan KPU Sumbar dan FSB. (ist)

PAYAKUMBUH, Sigi24.com – Persyaratan administrasi bakal calon kepala daerah dalam penyelenggaraan pemilihan (Pilkada) serentak 2024, menjadi topik hangat dalam diskusi publik yang digelar KPU Sumbar bekerjasama dengan Forum Seni Budaya (FSB) Paliko di Caffee Coffee City Kota Payakumbuh, Kamis (22/8) malam.

Hadir sebagai pembicara dalam acara sosialisasi pendidikan politik tersebut, Komisioner KPU Sumatera Barat, Jons Manedi. 

Diskusi publik tentang PKPU RI Nomor 8 Tahun 2024 bertema "Kupas Tuntas Persyaratan Bakal Calon Kepala Daerah" yang dihadiri ratusan mahasiswa itu tampak hangat dipandu oleh host, Desi Susanti.

Selain Jons Manedi, juga ikut menjadi keynot speaker, dosen ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum UM Sumbar, Fauzi Iswari, tokoh Luak Limopuluah yang juga akademisi, Budi Febriandi, hingga dosen pengajar STIH Payakumbuh yang juga advokad, Setia Budi.

Jons Manedi dalam pemaparannya, lebih banyak menjelaskan tentang dasar hukum dalam penerimaan persyaratan administrasi yang akan dilakukan oleh KPU, selaku penyelenggara teknis. Terutama dalam penyelenggaraan tahapan pencalonan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, butapi dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota tahun 2024.

“Dalam tahapan pencalonan ini, KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota sesuai jadwal akan melakukan penerimaan berkas administrasi calon, baik itu pasangan calon gubernur, bupati dan walikota. Yang menjadi pedoman teknisnya saat ini, adalah Peraturan KPU nomor 8 tahun 2024 tentang Pencalonan,” sebut Jons Manedi.

Sementara, dia menambahkan, dalam dinamika hukum dan politik yang terjadi di tingkat pusat baru-baru ini, dimana terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/2024 dan 70/2024 yang merubah ambang batas (treshold) serta batas usia pasangan calon gubernur, bupati dan walikota, maka KPU akan melakukan revisi terhadap PKPU Nomor 8/2024.

Di lain sisi, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI juga berwacana akan merevisi Undang-Undang Pilkada sehingga menimbulkan polemik secara hukum. Menyikapi hal tersebut, Jons menyebut KPU RI akan melakukan kajian hukum secara komprehensif, menindaklanjuti putusan MK serta UU Pilkada terbaru, sebagai rujukan dalam merevisi PKPU 8/2024 tentang Pencalonan.

“Tentunya nanti KPU akan menindaklanjuti secara berkepastian hukum baik putusan MK, termasuk hasil akhir dari RUU Pilkada yang sedang dibuat oleh DPR, secara konstitusional. Segala prasyarat bacalon lainnya secara adminstrasi KPU akan meyesuaikan dengan dasar hukum yang ada,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Jons juga merinci palbagai persyaratan secara administratif bagi bakal calon yang bakal ikut berkompetisi dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 mendatang, yang secara prinsipnya terbagi menjadi dua bagian yakni persyaratan pencalonan, serta persyaratan calon.

Adapun Fauzi Iswari, Dosen HTN Fakultas Hukum UM Sumbar menyampaikan analisis hukum secara ketatanegaraan terhadap dinamika politik dan hukum yang berkembang saat ini. Dimana, ada dua tragedi hukum dan politik baru-baru ini yakni keluarnya putusan MK nomor 60 dan 70 tahun 2024 atas uji materi yang diajukan oleh dua partai non parlemen.

Mahkamah, kata Fauzi, kemudian mengabulkan sebagian permohonan pemohon, terkait ambang batas syarat calon. Dimana sebelumnya ambang batas didasarkan kepada jumlah perolehan kursi di parlemen, oleh MK diganti kepada porsentasi jumlah perolehan suara sah oleh partai politik.

“Juga terhadap batas usia calon, pada putusan 70 disini juga dipertegas oleh MK bahwa batas usia calon kepala daerah adalah 30 tahun pada calon saat ditetapkan, bukan pada saat terpilih dan dilantik, sebagimana putusan Mahkamah Agung,” terangnya.

Atas putusan itu, Baleg DPR kemudian berupaya menganulir Putusan MK dengan menyusun RUU Pilkada yang baru hanya terhitung satu hari pasca putusan MK ditetapkan. Nah, terkait polemik hari ini, Fauzi menjelaskan, apakah dasar hukum pencalonan akan disandarkan pada putusan MK, atau kebijakan DPR.

“Ketika MK membacakan putusannya, putusan itu bersifat erga omnes yang final dan mengikat. Dalam aspek hukum tata negara, menjadi sebuah kekeliruan apabila DPR mengutamakan putusan MA, ketimbang putusan MK. Karena, secara kewenangan secara hirarkis aturan perundang-undangan, MK tentu memiliki kewenangan yang lebih tinggi,” katanya.

MA, kata Fauzi, hanya berwenang mengadili dan memutuskan kasasi terhadap peraturan di bawah Undang-Undang. Sedangkan kewenangan MK, adalah mengadili dan memutus pengujian materi UU terhadap UUD 1945. Sehingga, langkah yang diambil oleh Baleg DPR, menurutnya, jelas tidak aple to aple.

Hal tersebut tentu saja kemudian, akan dianggap oleh publik sebagai suatu upaya pembangkangan terhadap konstitusi. Jika pembangkangan konstitusi seperti ini dibiarkan begitu saja, akan terjadi banyaknya calon kepala daerah, melawan kotak kosong.

“Kita jangan melihat situasi demokrasi pada hari ini, tapi harus melihat aspek demokrasi di masa mendatang. Menjalankan kekuasaan harus dengan cara-cara yang fair dan dengan cara-cara yang demokratis dan dibenarkan oleh konstitusi,” lugasnya.

Akademisi yang juga tokoh Luak Limopuluah, Budi Febriandi, mengaku menyayangkan proses dinamika politik dan hukum yang dipertontonkan oleh lembaga negara akhir-akhir ini. Ia justeru mempertanyakan, Pilkada dan Pemilu ini kepentingan siapa, apakah kepentingan calon atau kepentingan rakyat.

Kalau masyarakat yang berkepentingan, tentu harus diawasi secara bersama-sama setiap proses tahapannya. Menurut Budi yang pernah menjadi penyelenggara pemilu di Kabupaten Limapuluh Kota, salah satu potensi kerawanan dalam pesta demokrasi Pemilu atau Pilkada, yaitu pada tahapan pencalonan.

“Pada hari ini, terkait persyaratan administrasi bakal calon yang diatur berdasarkan Peraturan KPU nomor 8/2024 sangat longgar termasuk proses verifikasi administrasi dan faktual yang dilakukan. Kita berharap persyaratan administrasi ini diperketat kembali, seperti aturan administrasi pencalonan pada pemilihan atau pemilu terdahulu,” terangnya.

Sehingga nantinya, proses demokrasi akan melahirkan calon pemimpin yang memiliki legalitas sesuai yang diharapkan. KPU dan Bawaslu, ia berharap, juga mesti mampu memberi jaminan ke masyarakat, bahwa calon yang ditetapkan benar-benar terjamin keabsahan terhadap syarat-syarat yang diajukan secara administratif.

“Termasuk harapan kita kepada penyelenggara penyelenggara pemilu, bagaimana setiap suara kita selaku masyarakat benar-benar dijaga sesuai amanat konstitusi,” harap Budi.

Terakhir, dosen pengajar STIH Payakumbuh yang juga praktisi hukum, Setia Budi, lebih banyak menyela terhadap proses dinamika pembentukan produk hukum yang terjadi belakangan ini. Dia mengajak mahasiswa dan masyarakat agar lebih melek dan peduli hukum, karena hukum akan menentukan nasib rakyat dan bangsa Indonesia ke depan. (akg - Minangkabaunews.com)

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies