Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Menapaki Sejarah Penyebaran Islam di Nusantara: Kunjungan ke Patani, Thailand Selatan (Bagian Tiga)

Oleh: Ridwan Arif, M.Ud, Ph.D, Tk. Bandaro 

Penelitian Sistem pendidikan Pondok (pesantren) di Pattani

Misi saya untuk meneliti sistem pendidikan di lembaga pendidikan Islam tradisional (pondok) di Pattani hampir saja kandas. Pada awalnya ada rasa sedikit pesimis. Hampir saja perjalanan ke kota ini hampa, tak membuahkan hasil apa-apa. Ini karena sahabat yang sedianya saya harapkan untuk menemani ke pondok tidak bersedia. 

“Saya bukan orang asli Pattani. Kalau saya datang ke pondok, orang akan mengenal dialek Melayu saya yang lain dari dialek Pattani. Saya asal Hat Yai bukan dari Pattani. Nanti orang curiga saya ini askar (tentara) atau intelijen,” begitu alasan sang sahabat. 

Menurutnya, panasnya suasana Pattani menyebabkan kecurigaan yang tinggi masyarakat lokal terhadap orang luar wilayah. Selain sukarnya transportasi umum di kota Pattani. Tidak ada angkutan kota (angkot), taksi dan bus kota. Transportasi umum hanya Tuk-tuk, sejenis mobil kecil seperti “cigak baruak” di pedesaan Sumatera Barat. Situasi yang panas di Pattani juga membuat saya mengurungkan niat untuk bepergian sendirian, walaupun daftar nama-nama pondok di Pattani, lengkap dengan alamatnya, sudah saya kantongi.

Setelah tinggal dua hari di Pattani, pagi itu (Jumat, 25 Januari 2019), saya memutuskan untuk berangkat ke Kelantan, tempat tujuan penelitian selanjutnya. Berkat bantuan resepsionis hotel, saya dipesankan kendaraan motor (semacam ojek) untuk mengantar ke terminal bus menuju perbatasan Thailand-Malaysia. Tidak lama setelah memulai perjalanan, saya berkenalan dengan Pak Cik ojek tersebut. Dalam percakapan dengan Pak Cik ojek saya menjelaskan maksud kedatangan saya ke Pattani. Dia memberitahu saya bahwa ada pondok yang lokasinya tidak jauh dari sini dan dia bisa mengantar saya ke sana. Akhirnya misi saya tercapai juga. 

“Kalau begitu antar saya sekarang ke pondok tersebut,” ujar saya yang sedang diliputi rasa gembira. Pak Cik ojek tersebut mengantarkan saya ke sebuah pondok yang letaknya tidak jauh dari batas kota. Pondok tersebut ialah “Al-Ma’had al-Idris” yang lebih masyhur dengan “Pondok Tok Yung”. Di pondok ini saya langsung bertemu dan disambut dengan ramah oleh pimpinan pondok, Baba Haji Abdul Karim. 

Baba Abdul Karim menceritakan, pondok ini didirikan oleh bapak mertuanya, Tuan Guru Baba Haji Wan Idris Bin Haji Wan Ali pada tahun 1390 M. Menurutnya, Baba Wan Idris melanjutkan pelajarannya ke Makkah setelah mendapatkan pendidikan agama di beberapa pondok di Pattani selama 12 tahun. 

Di antara guru Baba Wan Idris di Makkah ialah Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, ulama besar kaliber internasional yang digelari Musnid al-Dunya dan putra dari Syekh Isa (berasal dari Kayu Tanam, Kab. Padang Pariaman, Sumatera Barat) dan; Syekh Abdul Qadir al-Mandili, seorang ulama besar yang berasal dari Tapanuli Selatan. 

Pada masa hidupnya Baba Wan Idris, pondok ini termasuk salah satu pondok terbesar di Pattani dengan jumlah santri lk 1.000 orang. Para santri bukan hanya datang dari kawasan selatan Thailand, tetapi juga dari Bangkok, Chiang Mai, Kamboja, Myanmar, Malaysia, Brunei dan Indonesia. 

Saat ini kita masih bisa menyaksikan saksi sejarah kejayaan pondok ini yaitu ratusan pondok-pondok kecil tempat kediaman santri yang masih berdiri. Kemasyhuran pondok ini bukan saja karena dipimpin oleh ulama besar (Baba Wan Idris) yang terkenal di zamannya, tetapi juga karena banyaknya alumni pondok ini yang menjadi ulama besar, pemimpin pondok dan memegang jabatan agama di pemerintahan. Syaikul Islam Kerajaan Thailand saat ini (sejenis ketua umum MUI pusat di Indonesia), Ustadz Haji Muhammad Yusuf adalah salah seorang alumni pondok ini. 

Sejak sembilan tahun yang lalu pendidikan di pondok ini dibagi menjadi dua bagian: bagian pelajaran ilmu-ilmu keislaman dengan menggunakan kitab kuning (Arab dan Arab Melayu) dan bagian tahfidz. Bagian tahfidz dipimpin oleh Ustadz Abdul Qadir, salah seorang putra Baba Wan Idris. Bagian ilmu-ilmu keislaman (pengajian kitab) menggunakan dua sistem yaitu sistem tradisional (halaqah) dan sistem madrasah (sistem kelas). Sistem madrasah sudah diperkenalkan sejak paruh kedua kepemimpinan Baba Wan Idris, walau mata pelajarannya seratus persen ilmu-ilmu keislaman. 

Mudir madrasah ialah Ustadz Abdul Rahman, abang dari Ustadz Abdul Qadir. Sedangkan Ustadz Ismail, adik dari Ustadz Abdul Qadir, sebagai wakil kepala madrasah. Sang menantu Baba Wan Idris yaitu Baba Abdul Karim adalah pimpinan tertinggi pondok dengan panggilan Tuan Guru atau Baba. Saat ini jumlah santri pondok bagian tahfidz saat lk 150 orang laki-laki dan perempuan. Jumlah santri pengajian ilmu-ilmu keislaman (pengajian kitab) juga berkisar di angka yang sama. 

Selain itu pondok ini juga memiliki santri dewasa baik pasangan suami istri maupun orang-orang yang sudah memasuki usia tua (duda dan janda). Mereka tinggal di rumah-rumah yang berada dalam kompleks pondok. Di pondok ini, baik kelas ruang belajar maupun asrama, di pisah antara santri laki-laki dan perempuan. (Bersambung)

*Dosen Tetap Prodi Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina, Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies