Dr. Ridwan Arif Tuanku Bandaro menyerahkan buku Umdat Al-Muhtajin ke Tuanku Armen Gusra. (ist) |
PADANG PARIAMAN, Sigi24.com -- Setelah saya baca buku Umdatul Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin, karya Syekh Abdurrauf yang baru ditahqiq oleh Dr. Ridwan Arif Tuanku Bandaro, baru saya tahu betapa Syattariyah itu kaya akan amal ibadah.
Ternyata jalan menuju Allah SWT lewat tariqat ini, tidak semudah yang disangkakan banyak orang.
Adalah di tahun 1990 an. Saya yang sedang jadi santri pergi ke Padang dengan sejumlah kawan. Tepatnya ke Batang Kabung, Padang.
Menggunakan waktu libur, Kamis dan Jumat. Kamis malam itu kami beberapa kawan, mengaji dengan Buya Imam Maulana Khatib Manaf.
Sebelum mengaji, kami di baiat terlebih dahulu. Baitnya surang-surang. Tak memegang kain putih, seperti baiat yang sering saya ikuti di kampung, sebelum dengan Buya Imam itu.
Baiat dengan cara telapak tangan kita ditekan oleh telapak tangan beliau, sambil menuruti kata-kata yang beliau sampaikan.
Dan ternyata, baiat seperti itu, adalah Syattariyah murni dari Abdurrauf rupanya, seperti yang ditulisnya dalam Umdat Al-Muhtajin ini.
Dulu itu, banyak orang yang menyebutkan kalau Syattariyah banyak soal teori, sementara Naqsabandiyah banyak prakteknya.
Setelah kita pelajari buku Ridwan Arif ini, ternyata kata sebagian orang dulu itu tak terbukti.
Syattariyah punya banyak amalan, banyak ibadah, berkekalan dalam amalan - amalan sunnah.
Lewat tahqiq ini, barangkali Ridwan Arif ingin kajian dan amalan tariqat Syattariyah ini kembali murni, dan berjalan sesuai alurnya dari Abdurrauf itu sendiri.
Bukunya tebal. Mencapai 226 halaman, tambah lampiran karya asli Umdatul Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin itu, dalam bentuk tulisan tangan.
Terbit di Malaysia, sepertinya membaca buku ini serasa mengaji langsung dengan Abdurrauf. Luar biasa goresan pena dosen tetap Universitas Paramadina, Jakarta ini.
Ridwan Arif menuliskan, kandungan Umdat Al-Muhtajin karya Abdurrauf ini memuat tujuh pasal.
Pertama akidah, zikir, keutamaan la ilaha illallah, manfaat yang diperoleh oleh orang yang tenggelam dalam kalimat la ilaha illallah, uraian tentang prinsip-prinsip talqin syekh kepada para murid dalam mengucapkan kalimat la ilaha illallah, penjelasan tentang wirid-wirid dan amalan sunnah, dan yang ketujuh akhlak.
Tujuh jalan itulah, seseorang menuju Allah SWT bisa sempurna. Dan ketujuhnya tak sekedar teori, tetapi juga hasil dari amalan Abdurrauf itu sendiri.
Satu persatu dikupas, lengkap dengan argumentasi yang kuat dari Quran dan hadist nabi.
Dan kajian demikian itu dinamakan Syattariyah. Bersanad yang jelas pertaliannya sampai ke Nabi Muhammad Saw.
Umdatul Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufradin merupakan karya Abdurrauf yang ditujukan kepada orang yang ingin menapak jalan sufi. Seseorang yang ingin menapaki jalan sufi harus mengenal Allah dan Rasulnya dengan benar, mengikuti pembaiatan dan talqin, serta melakukan zikir dan amalan-amalan lain yang harus dilakukan sehari-hari.
Abdurrauf juga terkenal sebagai ulama ahli fiqh. Yakni kajian hukum Islam. Dia juga pengarang termasyhur, saking banyaknya karya tulis dari berbagai kajian yang dilahirkan oleh ulama yang wafat 1105 H/1693 M ini.
Dalam kajian Dr. Ridwan Arif Tuanku Bandaro dalam Umdat Al-Muhtajin itu dijelaskan, bahwa Abdurrauf dalam soal persuratan dan tasawwuf, adalah yang pertama.
Tokoh sufi terkemuka di Melayu - Indonesia pada abad ke -16 dan ke-17. Bahkan, dalam soal tulis dan karya tulis ini, Abdurrauf belum ada tandingan tokoh sesudah dia.
Sehingga digelari dengan Teungku Syiah Kuala. Dia dilahirkan di Singkil, sebuah daerah dalam Kesultanan Aceh, diperkirakan 1024 H/1615 M.
Pergeseran yang terjadi belakangan ini, dimana surau-surau yang mewiridkan kajian semakin berkurang, kehadiran buku Ridwan Arif ini amat sangat dibutuhkan.
Wirid, zikir, tasbih, tahmid secara bersama-sama sehabis sembahyang, sudah kian jauh. Masjid dan surau sering sehabis shalat berjamaah, saling diam.
Zikir surang-surang, mendoa pun juga demikian. Syattariyah menganjurkan wirid secara bersama. Bahkan, yang untuk surang-surang adalagi amalan tersendiri, seperti membaca surat Al Ikhlas 10 kali setiap selesai shalat.
Khusus ini, menurut Abdurrauf, punya fadhilah tersendiri bagi yang membacanya. Di samping pahala, adalah adanya ampunan dosa selama 50 tahun.
Begitu juga fadhillah membaca surat Yasin. Abdurrahman menjelaskan dalam karyanya itu dengan alasan dan argumen yang kuat.
Bagaimana kita bisa menyebutkan, kalau Syattariyah itu besar di Sumbar dan Padang Pariaman? Sementara, kegiatan tasbih, tahmid dan tahlil secara bersama saja setiap shalat berjamaah, kian tak terdengar di surau-surau.
Kita hanya bisa menyalahkan, ketika masjid dan surau basisnya Syattariyah satu persatu mulai dikuasai oleh orang yang berpaham lain.
Nah, tentu hal demikian patut kita diskusikan lagi. Diskusi dan halaqah, membahas keberadaan Syattariyah itu sendiri di rumahnya, Sumatera Barat dan Padang Pariaman.
Ridwan Arif telah melakukan itu. Karyanya patut diamalkan, dengan cara aksi kembali menghidupkan Syattariyah itu di rumahnya sendiri.
Pewarta: damanhuri