Zainul Abidin Tuanku Bagindo yang hadir bersarung dalam seminar nasional. (ist) |
Pariaman, Sigi24.com--Meskipun seminar nasional, halal bihalal, dan pembukaan halaqah tuanku itu sukses, setidaknya kian menarik untuk mengkaji "tuanku" itu sendiri.
Ide dan rencana seminar nasional yang diadakan, Sabtu 20 April 2024 di aula STIT Syekh Burhanuddin Pariaman ini, hanya dari tegukan segelas teh talue di Los Lambuang Kurai Taji, seminggu sebelumnya.
Ya, teh talue penghangat diskusi usai puasa para "tuanku cendikiawan" istilah Prof Duski Samad Tuanku Mudo. Diskusi panjang yang berkesimpulan penting untuk sebuah pertemuan.
Dan jadilah seminar itu. Pun yang hangat diskusi, Prof Duski Samad Tuanku Mudo, Dr. Muhammad Nur Tuanku Bagindo, Dr. Zalkhairi Tuanku Bagindo bersedia jadi "guru tuonya" dalam seminar itu.
Grup media sosial WA yang anggotanya mencapai 700 orang lebih, dianggap sebuah komunitas yang besar.
Hadirnya grup WA ini pun dari ide dan rencana yang sangat sederhana dari seorang Prof Duski Samad Tuanku Mudo.
Ketua Senat UIN Imam Bonjol dan alumni MTI Batang Kabung Padang ini bersua dengan Kepala Kemenag Padang Pariaman Syafrizal Tuanku Sidi Sati dan saya di sebuah kedai kopi di Batang Anai.
Tak lama bersua berempat dengan Wakil Rektor UNU Sumbar Firdaus, hadirlah grup WA ini.
Kencang dan melaju terus jumlah anggotanya, sekencang para tuanku membuat postingan di dalamnya.
Amat sangat kencang. Tak dibuka HP ini agak sejam, sudah tercatat seribuan postingan di dalamnya.
Tentu para anggota banyak yang dimasukkan, dan banyak pula yang masuk sendiri lewat link internet yang disediakan.
Menjelang setahun usia grup ini, setidaknya kami ingin bertatap muka, berdiskusi secara offline.
Bertemu tentu tak mengaji membaca matan. Itu dianggap selesai semasa jadi "paqiah" dulunya, dan kini bertemu memperluas intisari dari kitab kuning itu sendiri.
Meskipun ada sebagian yang keluar dari grup, tetap saja yang masuk semakin banyak jumlahnya dari yang keluar.
Setidaknya, seminar nasional itu wujud dari ingin bersua dan bersilaturahmi bersama, seluruh tuanku dari berbagai mazhab. Sebutlah mazhab Ampalu Tinggi, Pakandangan, Tapakis, Lubuk Pandan, Batang Kabung, Sungai Sariak, Ringan-Ringan dan lainnya.
Di tambah pula, dunia maya kita dihebohkan oleh kritikan terhadap tuanku, ziarah kubur ulama, khutbah Jumat yang lazim di Padang Pariaman oleh sejumlah penceramah, dan orang yang mengaku tuanku pula.
Di grup WA silaturahmi tuanku nasional ini pun beragam tanggapan terhadap hal demikian. Bahkan ada yang mengulasnya dengan kata-kata yang kurang pada tempatnya.
Nah, seminar nasional sengaja mengusung tema : rekognisi kepemimpinan tuanku, kompetensi, tradisi dan aktualisasinya.
Narasumber, Prof Duski Samad Tuanku Mudo, pengasuh atau guru tuo di grup WA, Dr. Muhammad Nur Tuanku Bagindo dan Dr. Zalkhairi Tuanku Bagindo.
Kegiatan terselenggara atas kerjasama WA group silaturahmi tuanku nasional dengan STIT Syekh Burhanuddin.
Sayang, para tuanku tak banyak yang hadir. Sama dengan "wirid mingguang" lewat virtual yang digelar grup ini sejak awal berdiri komunitas tuanku ini.
Ketua STIT Syekh Burhanuddin Dr. Neni Triana berbisik ke saya saat protokol memulai acara.
"Kok tak banyak para tuanku yang hadir, ketua," bisik Neni Triana ke saya yang kebetulan tampil melaporkan kegiatan sebagai ketua panitia.
Aula sebesar itu, hanya penuh oleh deretan mahasiswa dan mahasiswi STIT. Ada para tuanku, hanya sebagian kecil di barisan depan.
Mahyuddin Salif Tuanku Sutan agaknya hadir dengan tradisi tuankunya.
Pimpinan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Batang Kabung ini tampil pakai sarung, dan sebuah serban yang disandangkan di bahunya.
Sama dengan Zainul Abidin Tuanku Bagindo, alumni Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan yang juga sering menanggapi berbagai wacana yang muncul di grup WA, juga hadir dengan pakaian kebesaran tuanku.
Sarungnya terlihat kokoh dan gagah ketika sehelai serban melilit di bidang bahunya.
Setidaknya, kita atas nama silaturahmi tuanku nasional yang akan memformalkan sebuah kepengurusan organisasi sosial kemasyarakatan tuanku ini, bangga dan apresiasi sekali kepada Mahyuddin Salif Tuanku Sutan dan Zainul Abidin Tuanku Bagindo.
Teruslah bersarung kemana pun dan dimana pun. Setidaknya, ini cerminan, betapa tradisi dan aktualisasi dari lambang ke-tuanku-an tak boleh hilang begitu saja di tengah gempuran nilai-nilai saat ini oleh dunia digitalisasi.
Dua kepala daerah, Walikota Pariaman dan Bupati Padang Pariaman hadir dan ikut memberikan sambutan dalam kegiatan itu.
Dan memang, dalam daftar hadir yang diedarkan di grup sebelum kegiatan, tak pula banyak yang mengisinya.
Tak cukup 50 orang dari 700 lebih terdaftar di grup WA. Namun, kita tetap berprasangka baik. Sebab, sekarang masih dalam suasana lebaran Idul Fitri.
Tuanku sebagai suluah bendang di tengah masyarakat juga banyak yang sibuk dan mengisi acara, sehingga tak bisa datang.
Apalagi, undangan diedarkan di grup WA. Meskipun mereka membaca dan melihatnya, karena tuanku melekat di dirinya, pikirannya jadi panjang dan jauh sekali.
Halaqah kita gelar sebulan sekali, dan Sabtu ini sebagai pembuka untuk halaqah berikutnya.
Kita gelar tetap secara offline dan pertemuan terbuka, di pesantren dan surau tapi.
Bulan depan, minggu ketiga Mei diadakan di MTI Batang Kabung. Mengangkat tema soal ziarah makam ulama, dengan segala problem dan kritikan, serta formulasinya. (ad/red)