Prof Duski Samad Tuanku Mudo |
Hari ini Ahad, 10 Maret 2024 bertepatan dengan 29 Sya’ban 1445 Hijriah Kementerian Agama melalui Kantor Wilayahnya di seluruh Provinsi melakukan rukyatul hilal Ramadhan 1445 H dan setelah ada laporan dilakukan sidang isbat (penetapan) awal Ramadhan 1445H.
Sebelum sidang isbat disampaikan persentasi oleh ahli astronomi dan kajian oleh Badan Hisab Rukyat Nasional. Sidang istbat diikuti oleh wakil ormas Islam, wakil MUI, wakil rakyat (DPR) dan ilmuwan yang membidangi ilmu astronomi, antariksa, BKMG dan ahli lain yang berkaitan dengan bidangnya.
Umat Islam Indonesia memerlukan ketetapan Pemerintah c.q Kementerian Agama RI dalam memulai puasa Ramadhan, idul fitri, idul adha dan kalender lainnya, sebab tidak seluruhnya, bahkan mayoritas umat Islam Indonesia meyakini bahwa memulai puasa dan mengakhirinya mesti dengan rukyatul hilal. Sebahagian umat Islam memulai puasa dan idul fitri dengan hitungan kalender atau hisab hakiki.
Realitas ini adalah fakta sosial keagamaan yang sudah berlangsung sejak awal masuk ke Indonesia dan akan terus berjalan karena masing-masing di dukung oleh ulama dan organisasi.
HUKUM RUKYATUL HILAL NASIONAL
Kementerian Agama RI melalui Badan Hisab dan Rukyat menetapkan puasa Ramadhan, Idul Fitri dan kalender hijriah, apa hukumnya? Rukyat dalam wilayah Indonesia yang berbeda waktu (mathali') apakah wajib diikuti oleh semua umat Islam dalam waktu yang berbeda itu? Apa akibat hukumnya bagi umat Islam yang tidak mentaati penetapan ulil amri (pemerintah), baik puasa atau Idul Fitri?
PERTAMA: PEMERINTAH RI ADALAH ULIL AMRI UMAT ISLAM
Pembahasan tentang kedudukan Pemerintah RI sebagai ulil amri sudah kuat dan menjadi dasar dalam penetapan hukum-hukum positif Islam.
Perintah untuk mematuhi dan mengikuti keputusan ulil amri berada dalam satu ayat pada surat al Nisa' ayat 59. Makna pokoknya adalah tersedianya kekuatan hukum dan etik yang mewajibkan umat Islam mentaati dan mengikuti ketentuan pemerintah, walaupun ada lagi perintah hadist bahwa taat pada ulil amri selama mereka tidak melakukan atau menyuruh maksiat.
Ulil Amri dalam tafsir klasik diartikan sebagai ulama yang ahli dalam ilmu Islam, dan mufassir kontemporer menambah dengan ilmuwan yang ahli dan berwenang dalam ilmunya masing-masing, sering disebut dengan cendikiawan atau ulul albab. Ulama klasik yang menulis kitab ketatanegaraan Islam, ahkamus sulthaniyah, Imam Al Mawardi, menjelaskan bahwa dalam urusan kenegaraan pemerintah menjadi wajib adanya bagi meneguhkan agama dan menjadi penentuan kesejahteraan umat.
Istilah "ulil amri" merujuk pada pemimpin atau otoritas yang diakui dan dihormati oleh umat Islam dalam hal menjalankan urusan kehidupan umat dan negara sesuai dengan ajaran Islam.
Pemerintah Indonesia sebagai lembaga negara tidak secara otomatis dapat disebut sebagai "ulil amri" oleh umat Islam, karena pemerintah harus memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh agama Islam dan diakui oleh umat Islam secara luas. Pengakuan tersebut tergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing individu atau kelompok dalam masyarakat.
Secara umum, umat Islam Indonesia sudah menerima Pemerintah Indonesia sebagai ulil amri. Islam tidak menentukan bentuk dan sistim ketatanegaraan, tetapi menetapkan kriteria pemimpin negara, di antaranya adil, cerdas sesuai kriteria kenabian, shiddiq, amanah, futhonah dan tabligh, sehat jasmani dan ruhani, berani, seperti karakter Suku Quraisy.
Perdebatan tentang kedudukan Pemerintah Indonesia sebagai ulil amri, tetap masih ada, namun penerimaannya sudah kuat dan diterima oleh organisasi dan kelompok umat Islam.
Pembahasan lebih lanjut silakan diteruskan, namun dalam faktanya Pemerintah RI sebagai ulil amri umat Islam, sudah diterima umumnya umat.
KEDUA: KEPUTUSAN RUKYAT NASIONAL MENGIKAT
Satu di antara pengamalan ajaran Islam yang selalu menjadi berita di Indonesia jelang puasa Ramadhan, idul fitri dan idul adha adalah penetapan metodenya. Organisasi dan kelompok masyarakat ada yang mengunakan metode hisab murni, dan ada pula yang rukyat murni, sedangkan Pemerintah melalui Kementerian Agama RI menggabungkan hisab dan rukyat di bawah kendali.
BADAN HISAB DAN RUKYAT RI.
Apa perbedaan antara hisab dan rukyatul hilal dalam menetapkan idul fitri itu?
Jawabannya, hisab dan rukyatul hilal adalah dua metode yang digunakan dalam menetapkan awal bulan Syawal, yang menandai Idul Fitri, begitu juga awal Ramadhan dan bulan qamariyah lainnya.
Hisab adalah metode penentuan awal bulan berdasarkan perhitungan matematis menggunakan rumus astronomi.
Metode ini melibatkan perhitungan posisi matahari, bulan, dan bumi. Dalam hisab, perhitungan dilakukan untuk memprediksi kemunculan hilal secara matematis. Metode ini tidak bergantung pada pengamatan langsung hilal.
Rukyatul hilal adalah metode penentuan awal bulan berdasarkan pengamatan langsung hilal. Metode ini melibatkan pengamatan langsung oleh saksi-saksi yang melihat hilal di langit setelah matahari terbenam. Jika hilal terlihat, maka itu menandakan awal bulan Syawal dan Idul Fitri.
Perbedaan utama antara hisab dan rukyatul hilal adalah metode yang digunakan, kelemahan metode hisab ada beberapa perbedaan metode. Hisab menggunakan perhitungan matematis, sedangkan rukyatul hilal menggunakan pengamatan langsung. Beberapa komunitas atau negara mungkin menggunakan salah satu metode ini atau kombinasi keduanya.
Dasar kajian hisab dan rukyat di antaranya adalah surat Yunus ayat 5, dan hadist shumu lirukyatihi ...Ilmu hisab kelebihannya empiris artinya dapat diuji secara ilmiah kebenarannya, kelemahannya metode banyak sekali, maka hasil bisa bermacam, ditambah pula dasar mengunakan hisab tidak tegas (ekplisit) dalam hadist, walaupun dapat dipahami (implisit) itu ada dengan kata faakmalu.
Dalam perkembangan keilmuannya ada umat Islam hanya semata mengunakan hisab saja, disebut imkanul wujud, dan ada pula yang mengunakan rukyat saja (imkanur rukyat), kelemahan rukyat saja, Indonesia negara lembab, awan, gunung tempat tempat memudahkan ada awan, maka melihat tanpa teknologi sulit, Pemerintah melalui Kementerian Agama membentuk Badan Hisab dan Rukyat. Hadist Abu Daud No 2338, menjelaskan bahwa ketika Nabi di Madinah penentuan kapan rukyat ditentukan oleh Amir. Nabi tidak campur tangan dalam menetapkan ramadhan atau rukyatul hilal orang Mekah.
Berdasarkan kenyataannya bahwa hisab saja ada unsur keraguan, begitu juga rukyat saja ada keraguan, sedangkan ibadah itu mesti dilakukan dengan keyakinan. Untuk memastikan keyakinan hati umat, menggabungkan hisab dan rukyat dapat meyakinkan diri dan sekaligus menyatukan umat. Artinya sudah kuat dalilnya untuk berpegang pada keputusan ulil amri mengamalkan hadist shumuu lirukyatihi..., ditambah lagi keputusan yang diambil BHR dapat dikatakan ijtihad ijtimai (keputusan bersama) bukan ijtihad fardi.
Masih ada pendapat yang menyampaikan bahwa hukum menerima rukyatul hilal negeri yang berbeda waktunya tidaklah sah, karena ikhtilaf mathali’ (berbeda mathali’). Tidak diterimanya rukyat yang ditetapkan Kementerian Agama RI bukan tidak berdasar, dalam al maushu’ah al fiqhiyah pada kitab fiqih 2 halaman 36 menuliskan bahwa ulama empat mazhab, ada tiga mazhab yakni Hanafi, Maliki dan Hambali, beramal dengan adanya kesatuan mathalik, begitu jumhur ulama Syafi’yah, mereka mengamalkan atau menerima rukyat dalam satu mathaliq dan menolak ikhitlaf mataliq. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa batas mathla’ (cakupan waktunya) seluas 20 marhalah, yang dikonversi seluas 82 kilo meter.
Beda hanya dengan pendapat ulama kontemporer yang menerima rukyatul hilal (pengamatan bulan) dari negeri yang memiliki perbedaan waktu adalah diperbolehkan. Hal ini karena penetapan awal bulan berdasarkan pengamatan bulan dan kondisi langit di suatu wilayah tertentu. Jika ada perbedaan waktu antara dua negara, maka mungkin saja bulan terlihat di satu negara sebelum terlihat di negara lain.
Umat Islam dianjurkan untuk mengikuti otoritas Pemerintah atau lembaga yang bertanggung jawab dalam menentukan awal bulan, seperti lembaga rukyatul hilal atau badan astronomi setempat. Jika lembaga tersebut telah mengumumkan awal bulan berdasarkan pengamatan bulan di wilayah mereka, umat Islam di wilayah tersebut wajib dan tentu diharapkan mengikuti pengumuman tersebut.
Walaupun ada yang berpendapat, jika seseorang memiliki informasi yang sahih dan meyakinkan tentang pengamatan bulan di negara lain yang berbeda waktu, maka dia dapat mengikuti pengumuman tersebut. Penting untuk mencari informasi yang akurat dan mengikuti otoritas yang diakui dalam menentukan awal bulan.
Diskusi di tingkat umat, ulama lokal dan umat masih kuat tidak menerima perbedaan mathali’, namun sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi akan terjadi perubahan alam pikiran dan pendapat di tingkat umat. Metode hisab dan rukyat yang sudah digabung dalam Badan Hisab dan Rukyat itu yang dilakukan ulama dan pakar ahli, dan mumpuni dalam ilmu agama, ilmu falaq, ilmu astronomi dan didukung dengan fasilitas tekhnologi canggih adalah pilihan tepat, dalam menyelesaikan ikhtilaf.
Pembahasan lebih dalam bolehkah diikuti perubahan pendapat ulama mazhab? Tuanku peserta halaqah sependapat bahwa perubahan pendapat dalam dan luar mazhab itu sah saja, Imam Syafi’i melahirkan dua pendapat qaulul qadim(pendapat dulu) dan qaulul jadid (pendapat terbaru), tentu dengan syarat dengan dalil yang kuat. Pola pikiran seperti ini meniscayakan ada perubahan pendapat (mazhab) mengindikasikan adanya keluwesan dan kedalaman ilmu para ulama muda saat ini. Perlu diperluas dan dikembangkan pemahaman yang integratif dan kolaboratif dengan ilmuwan dan keberbedaan mazhab dan pendapat ulama masa lalu, dan yang sedang terjadi.
KETIGA: WAJIB HUKUMNYA MENGIKUTI KEPUTUSAN ULIL AMRI
Pertanyaan tentang apakah wajib mengikuti keputusan ulil amri, Pemerintah tentang puasa, idul fitri dan idul adha dijawab dengan menegaskan lembaga apa yang memiliki otoritas dalam keagamaan bagi umat Islam Indonesia?
Jawabannya di Indonesia, lembaga yang memiliki otoritas dalam keagamaan bagi umat Islam adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI adalah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1975 dan memiliki tugas untuk memberikan fatwa, nasihat, dan panduan dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. MUI juga berperan dalam mengawasi dan mengatur kegiatan keagamaan di Indonesia, serta menjaga keutuhan dan kesatuan umat Islam. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan pandangan dan tindakan umat Islam di Indonesia.
Keputusan Kementerian Agama RI tentang penetapan hilal ditetapkan bersama MUI, organisasi sosial keagamaan, ilmuwan dan ahli teknologi astronomi, maka hukum mengikuti keputusannya adalah wajib bagi seluruh umat Islam yang berada di Indonesia. Dalam logika hukum dapat pula dijelaskan bahwa beribadah harus dengan yakin, untuk kuatnya yakin mesti ada ilmunya, sedangkan untuk menjadi orang berilmu itu perlu waktu dan berproses.
Dalam menjalani proses menjadi berilmu yang kuat maka setiap orang wajib mengikuti Keputusan Menteri Agama tentang awal Ramadhan, idul fitri dan idul adha. Begitu juga halnya dengan fatwa MUI lainnya wajib ditaati umat Islam yang belum berilmu kuat tentang masalah yang tidak diketahuinya, maka konsekwensinya berdosa orang tidak mentaati rukyatul hilal nasional yang sudah mendapat pengakuan Majelis Ulama Indonesia, sebagai pemegang otoritas fatwa agama Islam.
Pada akhir diskusi disampaikan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Masalah hisab, rukyat dan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul adha adalah berkaitan dengan ijtihad, bukan tauqifi (yang wajib diterima apa adanya). Fiqih itu pada dasarnya kontemporer, karena ia hadir untuk menjawab Islam shalih likulli zaman wa makan (Islam itu dapat memberikan bimbingan dalam setiap masa dan tempat), maka perbedaan adalah keniscayaan yang mesti dihargai.
2. Penetapan puasa, idul fitri dan Idul adha yang dilakukan oleh Kementerian Agama melalui Badan Hisab dan Rukyat (BHR) adalah pilihan tepat. Karena penetapan melalui hisab memiliki kelemahan pada bermacam perbedaan dalam metode hisab, sedangkan memilih rukyat saja juga punya kelemahan bahwa wilayah Indonesia memilik potensi alam sangat mudah terganggunya rukyat. Keputusan yang ditetapkan Pemerintah adalah mengikat umat Islam Indonesia.
3. Mathali’ Indonesia pada dasarnya hanya satu, karena jarak tempuhnya hanya dalam hitungannya menit, oleh itu maka umat Islam wajib menerima rukyat nasional, terakhir Indonesia sudah menetapkan mathali’ melalui MABINS (negara Malaysia, Brunai Darussalam, Indonesia dan Singapore).
Berpedoman pada prinsip dasar dalam beribadah harus dengan penuh keyakinan, untuk kuat dan maksimalnya yakin itu maka diperlukan ilmu, sedangkan untuk menjadikan orang berilmu secara keseluruhan perlu proses. Keterbatasan ilmu umat maka wajib hukum menerima rukyat nasional yang sudah mendapat pengakuan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Semoga kajian Halaqah Tuanku Nasional ini mencerahkan umat. Series ke XV: Risalah Tuanku Nasional: Jum'at: 02 Februari 2024M/21 Rajab 1445H. DS.03022024. (***)
*Ketua Wilayah Dewan Masjid Indonesia Provinsi Sumatera Barat