Jemaah Majlis Zikir dan Sholawat Al-Wasilah di makam Tuanku Bagindo Lubuak, komplek Surau Pekuburan. (ad) |
Padang Pariaman, Sigi24.com--Muhammad Umar Tuanku Bagindo (1875-1955) dan Surau Pekuburan, tak dapat dipisahkan.
Keduanya saling berkembang dengan amat sangat berkait satu sama lainnya. Ketika disebut Tuanku Bagindo Lubuak Pua, orang langsung mendatangi Surau Pekuburan.
Di surau itu nama besar Tuanku Bagindo Lubuak Pua membangun dunia spritual. Dunia pengajian yang menembus ruang dan waktu.
Pengajian dimana tujuan makhluk diciptakan Tuhan adalah untuk mengabdi. Ya, pengajian mendudukkan paham, dan paham itulah yang membimbing diri agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan.
Tuanku Bagindo Lubuak Pua sebagai tokoh sentral di surau itu, di zaman yang masih bergolak.
Apa saja yang akan dibuat masyarakat, Tuanku Bagindo selalu didatangi. Tempat bertanya dan mengadu dalam banyak hal.
Pun mau mengangkat seorang labai di sebuah surau, masyarakat mendatangi sambil membawa sanak kemenakan yang akan jadi labai, untuk diberikan petunjuk dan pengajian, agar tidak salah langkah nantinya.
Labai adalah seorang ulama yang punya kedudukan tersendiri di tengah kaum dan masyarakat.
Kalau di masjid, itu dinamakan "Labai Nagari", sedang di surau kaum, itu labai biasa, yang aktivitasnya selalu berpedoman pada Labai Nagari.
Beda dengan tuanku. Meskipun tuanku ini ulama yang punya pengajian, kedalaman ilmu akibat pergulatan dalam menuntut ilmu yang panjang, tapi di masyarakat, tuanku tidak punya kewenangan dalam sebuah surau korong dan kaum.
Meskipun demikian, spritual Tuanku Bagindo Lubuak Pua mampu menata kedua ulama; tuanku dan labai tersebut.
Tidak boleh ada benturan antara labai dan tuanku. Keduanya harus saling mengisi, berbagi dan tentunya tonggak penting di tengah masyarakat.
Makanya, ketika Tuanku Bagindo Lubuak Pua jadi panutan dan suluah bendang di tengah masyarakat, penting baginya membangun masjid dan surau yang sedang terbengkalai.
Tercatat, surau dan masjid yang pernah dihuni dan ikut dibangun oleh Tuanku Bagindo Lubuak Pua adalah Surau Gadang Ampalu, Masjid Lubuak Bareh, Masjid Sungai Ibua, Masjid Sungai Durian, Masjid Bisati, Masjid Pincuran Sonsang.
Di samping masjid itu harus rancak, penting pula artinya untuk hidup dan semarak. Kegiatan ibadah dan wirid pengajian adalah sprit utama disebut masjid itu makmur.
Meskipun Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum tegak di Surau Pekuburan itu, namanya tidak hilang. Perannya sebagai kekuatan agama bagi masyarakat, tetap berjalan pasca Tuanku Bagindo Lubuak Pua wafat.
Surau Pekuburan itu sepertinya sengaja dibangun tiga sekaligus bergandengan. Yang tengah surau utama, barangkali khusus untuk ibadah.
Tempat shalat berjemaah tiap waktu. Sedang di bagian kirinya surau juga, tapi untuk tempat istirahat malam bagi peserta "sembahyang empat puluh hari". Sementara, di bagian kanan, itulah surau kedudukan Labai Nagari.
Peran ini dari dulu, dulu ketika zamannya Tuanku Bagindo Lubuak Pua, terus berlanjut hingga saat ini.
Hanya bangunan surau yang berganti, sesuai situasi dan kondisi, serta daya tahan bangunan tersebut.
Kehidupan Surau Pekuburan tak pernah sepi dari santri yang dulunya lazim disebut anak siak atau orang pakiah, hingga saat ini masih diteruskan.
Kekhalifahan Tuanku Bagindo Lubuak Pua saat ini dijalankan oleh Buya H. Ahmad Yusuf Tuanku Sidi.
Sekaligus dia yang mendirikan Madrasatul 'Ulum pada 1991 lalu. Pola pengembangan pesantren ini sepertinya tidak jauh beda dari apa dilakukan Tuanku Bagindo Lubuak Pua dulu.
Pola membangun pendidikan surau, melahirkan kader ulama yang mumpuni, tafaqquh fiddin, mengabdikan ilmunya di tengah masyarakat.
Syariat, tariqat, hakikat dan makrifat, setidaknya menjadi puncak dari keilmuan, sebagai pondasi kuat bagi calon tuanku di kemudian hari.
Senin, 8 Januari 2023, Majlis Zikir dan Sholawat Al-Wasilah menggelar ritual ziarah, sekaligus napak tilas terhadap tariqat Syattariyah yang menjadi jalan amalan jemaah ini dalam keseharian.
Napak tilas langsung ke sumber yang di atas, Syekh Abdurrauf di Aceh. Dari Aceh inilah Syekh Burhanuddin membawa ijazah langsung dari Syekh Abdurrauf, untuk dikembangkan di Minangkabau.
Napak tilas dimulai dari Tuanku Bagindo Lubuak Pua. Sprit surau, masjid, tuanku dan labai yang lahir dari trah Surau Pekuburan ini, setidaknya menjadi dasar untuk berkembang.
Setelah tahlil dan doa, dari Tuanku Bagindo Lubuak Pua, rombongan yang dipimpin Amrizal Tuanku Sutan, Buya Bustanul Arifin Khatib Bandaro, Nursyamsu alias Bujang ini terus ke Ulakan, malam Syekh Burhanuddin, sebelum ke Barus tentunya. (ad/red)