Jemaah Majlis Zikir dan Sholawat Al-Wasilah Padang Pariaman foto bersama sebelum masuk komplek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. (ist) |
Banda Aceh, Sigi24.com--Perjalanan ziarah Majlis Zikir dan Sholawat Al-Wasilah Padang Pariaman ke Banda Aceh, tentu tak sekedar berharap berkah guru, menyambung kaji tarekat lewat silsilah Syekh Abdurrauf as-Singkili ke Syekh Burhanuddin Ulakan.
Lebih dari itu. Perjalanan dari 8-15 Januari 2024 yang diawali dari makan Tuanku Bagindo Lubuak Pua dan Syekh Burhanuddin Ulakan ini, juga membawa pulang banyak pelajaran yang berharga. Pelajaran penting untuk hidup dan kehidupan yang terus berjalan dengan irama yang berubah-ubah.
Apalagi tempat yang dikunjungi oleh jemaah yang dipimpin Amrizal Tuanku Sutan, Buya Bustanul Arifin Khatib Bandaro, Nursyamsu alias Bujang, dan Buyung Elok Tuanku Kuniang ini mengunjungi makam ulama hebat.
Punya ketinggian adab dan ilmu, punya karya besar dan banyak yang sampai hari ini masih mempunyai jejak yang tersambung.
Puluhan karya tulis Abdurrauf dari berbagai disiplin ilmu dan keilmuan, yang harus kita pelajari dan warisi agar kita utuh sebagai generasi pelanjut dari ulama jaringan Timur Tengah ini.
Syekh Abdurrauf terkenal sebagai ulama dunia yang hebat. Lahir di Singkil, hebat karena berguru ke banyak tokoh ulama dunia.
Ada puluhan ulama dunia di Timur Tengah dan Haramain yang didatangi Abdurrauf dalam menuntut ilmu, di samping ke ayahnya sendiri dan sejumlah ulama di Aceh.
Terakhir, Abdurrauf diberi ijazah oleh Ahmad Al-Qushasi di Madinah. Tetapi, oleh banyak orang, hanya Ahmad Al-Qushasi ini saja yang dikenal.
Memang Abdurrauf menuntut ilmu dengan Ahmad Al-Qushasi ini sampai syekh itu meninggal dunia. Dari syekh ini, Abdurrauf mewarisi Shatariyah dan Qadiriyah.
Dua malam jemaah ini di Banda Aceh, komplek makam Syekh Abdurrauf as-Singkili yang dikenal dengan sebutan Syiah Kuala di Gampong Deyah Raya, Banda Aceh.
Melakukan ziarah secara bersama dan sendiri-sendiri, sesuai keinginan jemaah untuk bertawasshul di makam ulama yang hidup di abad 17 itu.
Abdurrauf adalah ulama multi talenta. Ahli tafsir karena berguru ke ulama yang ahli di bidang itu pula. Jago hadist, fiqh dan lainnya, sesuai petualangan panjangnya di Timur Tengah dulunya.
Abdurrauf juga terkenal sebagai ulama tangguh, mengkolaborasikan syariat dengan tasawuf.
Dulu, di Aceh dan di nusantara ini orang lebih senang dengan tasawuf, tetapi abai dalam syariat ini. Kaji tasawufnya hebat, tercengang orang lain mendengar seorang yang hebat kajian tariqat itu.
Ada kesan, ketika sudah bertariqat, lengah soal syariat tak apa-apa. Tentu sebuah paham agama yang sesat serta menyesatkan.
Sepulang dari Timur Tengah, keadaan ini yang diperbaiki oleh Abdurrauf. Bagi Abdurrauf, tasawuf harus untuk memperkuat syariat itu sendiri.
Abdurrauf termasuk ulama jaringan Timur Tengah yang berhasil melakukan rekonsiliasi soal tasawuf dalam syariat di nusantara ini.
Ini yang paling penting dipelajari dari seorang Abdurrauf. Para pemimpin jemaah Majlis Zikir dan Sholawat Al-Wasilah Padang Pariaman mencoba memberikan yang terbaik dalam ritual ziarah jemaah yang difasilitasinya.
Majlis Zikir dan Sholawat Al-Wasilah hadir di Aceh Singkil dan Kuala, Banda Aceh sebagai tempat Syekh Abdurrauf hadir dan memberikan yang terbaik untuk umat.
Abdurrauf lahir di Singkil, tetapi makam dia dan keluarganya di Gampong Deyah Raya, Banda Aceh. Antara kedua ini, jemaah tidak perlu ikut dalam perdebatan yang tidak perlu.
Yang penting, sprit Abdurrauf yang berhasil merekonsiliasi syariat dan tasawuf, dilakukan oleh jemaah di dua tempat ini; Singkil dan Kuala.
Sepanjang perjalanan, rutinitas ibadah dilakukan secara berjamaah. Dengan memanfaatkan ibadah orang musafir. Ini tentunya bagian dari memperkuat syariat terhadap kajian tasawuf yang didapatkan tiap pekan di masing-masing surau tempat tinggalnya jemaah.
Abdurrauf sendiri mencatat, lebih dari 50 orang ulama yang ditemui dan didatanginya, dari petualangannya dengan berbagai kajian dan keilmuan di Timur Tengah hingga berakhir di Madinah.
Ya, ulama sebanyak itu, di samping dijadikannya sebagai mursyid, juga banyak yang dijadikan sebagai teman dan kawan diskusi, komunikasi serta perdebatan dalam mengaji.
Dari ini, kita selaku orang jauh hidup di belakang Abdurrauf, setidak-tidaknya bisa mengambil pelajaran, betapa penting menuntut ilmu ke banyak guru.
Betapa penting berkomunikasi dengan banyak guru dan ulama, tentu bukan untuk membandingkan antara yang satu dengan ulama lainnya.
Tetapi saling untuk melengkapi. Kemudian semangat silaturahmi. Hubungan yang baik, komunikasi yang bagus jemaah dengan ulama, akan mampu menjadikan kita semua insan kamil, yang terus mencari dan mencari keridhaan Allah SWT dalam hidup dan kehidupan ini.
Pentingnya kolaborasi Shatariyah dengan Naqsyabandiyah
Tasawuf yang menapaki dengan Shatariyah, terkenal dengan banyak teori. Punya kajian metode, tapi miskin dengan praktek.
Di zaman Abdurrauf pulang dari Timur Tengah, Aceh masih larut dalam tasawuf abai dengan syariat ini. Kolaborasi syariat dengan tasawuf inilah yang menjadi tugas utama Abdurrauf dalam berkiprah di tengah masyarakat.
Tasawuf harus dijadikan penguat syariat, bukan untuk melemahkan. Untuk kolaborasi ini, Abdurrauf sudah punya konsep dan praktek, yakni Shatariyah dan Qadiriyah.
Memaknai ini, jemaah Majlis Zikir dan Sholawat Al-Wasilah dari Aceh Singkil menuju Syiah Kuala, singgah di Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Tepatnya di komplek Dayah Darussalam, makamnya Abuya Muda Waly Al-Khalidy. Seorang ulama yang satu-satunya penyebar tasawuf dengan kajian Naqsabandiyah Al-Khalidy.
Sejarah
Kajian sejarah menjadi perluasan dalam ibadah. Jangan jadikan sejarah itu sebagai aqidah.
Tentu kunjungan jemaah bersama tuankunya ke makam Papan Tinggi di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara adalah bagian dari menghargai sejarah.
Ya, sejarah peradaban Islam itu sendiri yang kaya akan budaya dan tradisi bermanfaat. Di situ tersebut makam Syekh Mahmud bin Abdurrahman bin Mu'adz bin Jabal.
Makamnya sudah ada sejak 44 hijriah, dan diyakini sebagai makam salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang datang ke Barus di zaman sahabat Abu Bakar.
Misinya ke Barus menyebarkan Islam, juga sekalian berdagang. Maka Barus ditetapkan di kemudian hari sebagai titik nol kilometer peradaban Islam di nusantara. (ad/red)