Ridwan Arif Tuanku Bandaro |
Qabadh dan basath adalah dua kondisi rohani (al-ahwal) yang dialami oleh para penempuh jalan sufi (salik/ murid) dan juga orang-orang yang telah sampai (wushul) kepada Allah (al-arif).
Qabadh adalah rasa kecut hati dihasilkan oleh rasa takut terhadap siksaan Allah (al-khawf) sedangkan basath adalah rasa gembira (sukacita) yang dihasilkan oleh rasa harap (al-raja’) kepada ni’mat-ni’mat Allah di akhirat.
Para aulia Allah ‘arifbillah lebih memilih qabadh berbanding basath. Kenapa mereka lebih memilih qabadh berbanding basath. Alasannya ialah basath disukai oleh hawa nafsu karena itu dalam basath terkandung keuntungan-keuntungan hawa nafsu.
Karena dalam basath terkandung keuntungan hawa nafsu, maka ada potensi seorang murid akan tergelincir dari jalan yang benar ketika ia berada dalam kondisi basath. Sehubungan dengan itu, menurut pengarang, sangat sedikit orang yang bisa istiqamah menjaga adab ketika berada di kondisi basath.
Pengarang mengemukakan bahwa di antara hal-hal yang mungkin timbul ketika hawa nafsu (diri manusia) mendapat keuntungan ialah lupa dan lalai untuk menunaikan hak-hak Allah dan mendaku terhadap diri sendiri seperti menisbahkan ilmu, amal, kemuliaan dan keistimewaan kepada diri sendiri. Dua hal ini tentu bertentangan dengan ‘ubuidyyah (penghambaan) kepada Allah SWT.
Qabadh adalah Ibadah dan basath adalah dua kondisi rohani yang merupakan anugerah Allah swt. Kita tidak bisa memilih antara dua kondisi ini. Namun jika kita diberi pilihan, meneladani para ‘arif aulia Allah, sebaiknya kita memilih qabadh, karena di kondisi basath potensi tergelincirnya seorang murid lebih besar.
Jika Allah anugerahkan kondisi basath maka kita harus ekstra hati-hati, jangan lalai dan lengah agar selamat dari tergelincir dari jalan yang lurus. (***)
Pariaman, 4 Rajab 1445 Hijriyah