Konklusi Diskusi
1. Rukyatul hilal untuk menentukan awal puasa Ramadhan dan penetapan satu syawal adalah wajib, karena ia menjadi syarat sahnya puasa. Tuanku dan jamaahnya mengamalkan rukyatul hilal sesuai hadist shummu lirukyatihi, sedangkan hisab hakiki, hisab taqwim adalah ilmu untuk mengetahui hari rukyatul hilal atau 29 Sa'ban setiap tahunnya, bukan untuk menentukan awal puasa.
2. Berkenaan dengan hisab taqwim, khamsiyah dan arbaiyah pada dasarnya ijtihad atau pemikiran ulama masa lalu yang tetap harus dijaga dan dihormati. Mengkaji kevalidan (kesahihan) sumber atau kitab, begitu juga hadis-hadist yang ada dalam kitab Insan 'uyun, oleh Syekh Nuruddin, Syifaul Qulub oleh Tuanku Kuning Zubur dan Mubalighul Islam oleh Khatib Munaf Imam Maulana yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw tentang huruf-huruf tahun dan bulan dalam ilmu taqwim khamsiyah dan arbaiyah adalah tugas mulia Tuanku untuk meyakin diri dan umat dalam beragama, beramal dan sekaligus mencegah dzan (ragu-ragu) dalam ibadah (QS. Yunus, 36).
2. Adanya paham tertutup dengan tidak menerima rukyatul hilal yang sudah mutawatir, (umum diketahui masyarakat) adalah berdosa, karena membuat jamaah kehilangan hari berpuasa di bulan Ramadhan. Adalah tidak tidak pantas meninggalkan atau mengabaikan Tuanku yang berbeda pendapat soal taqwim dan paham furu'iyah, disamping terus memberi pengertian kepada umat tentang yang tauqifi (yang tak boleh berbeda) dengan yang ijtihadi (yang memang boleh berbeda bagi yang berilmu).
Diskusi series ketiga Halaqah Tuanku Nasional dengan tema Hisab Taqwim yang sudah menjadi praktik keagamaan di lingkungan jamaah Syathariyah di Sumatera Barat. Ada 3 (tiga) jenis hisab taqwim yang populer, Taqwim yang memulai hitungan dari hari Kamis, disebut taqwim khamsiyah, banyak di Pondok, Surau dan Tuanku Padang Pariaman, yang memulai berhitung dari Rabu dinamakan arbaiyah, berkembang di Pondok Pesantren MTI Batang Kabung Padang, dan ada pula yang menyebut bilangan lima, kuat di Pauh Kota Padang.
Hisab taqwim yang tiga jenis di atas memulai dan mengakhiri puasa sering kali berbeda dengan hasil sidang isbat yang ditetapkan Pemerintah, Kementerian Agama RI. Berbedanya ulama (Tuanku) Syathariyah dan Naqsabandiyah mengunakan bilang taqwim (khamsiyah, arbaiyah dan bilangan lima) selalu viral dan mendapat pemberitaan luas, karena hasilnya ada yang sama dengan BHR atau terlambat, padahal dasarnya mengunakan rukyat hilal, (hadist).
Pertanyaan yang dibahas adalah mengapa hisab taqwim berbeda dengan hitungan rukyat pemerintah, mengapa?
Jawaban yang berkembang bahwa hisab taqwim itu produk pemikiran (ijtihad), sedangkan Tuanku atau ulama (khususnya) khamsiyah menyebut taqwim itu tauqifi (nash), ini adalah tidak tepat, sebab yang tauqifi itu bagi alussunah yang disepakati puasa dan idul fitri itu rukyatul hilal, bukan hisab dan taqwim. Maka untuk menjelaskannya perlu pengetahun dan ilmu takhrijul hadist, jarah wata'dil, dan ilmu terkait.
Hisab taqwim itu dengan hitungan angka-angka, yang ditetapkan oleh penulis kitab taqwim. Apakah rumus taqwim itu benar-benar dari hadist? Tuanku Hendra mempertanyakan siapa yang dapat menjamin bahwa hadist taqwim itu benar-benar dari Rasul?
Jawaban yang berkembang bahwa Kitab insanul uyun tulisan Syekh Nuruddin, dan juga kitab Syifaul qulub, oleh Tuanku Kuning Zubir, Mubalighul Islam oleh Imam Maulana juga mengutip insan uyun, (tulisan tangan, manuskrip) perlu diselediki kesahihan hadist dan sumber yang didapatkan, namun tidak boleh mengurangi rasa hormat terhadap ulama masa lalu, karena ijtihad itu dua pahalanya, salah sekalipun masih ada satu pahala.
Kritik dari pemakalah dan ditimpali oleh beberarap peserta bahwa Hadis taqwim di awali tidak dengan hadasana.. Matan hadist... Ada yang tidak bahasa Rasul, misalnya aqsamina, bahasa yang digunakan banyak yang tak sesuai qaidah, misalnya fajtamiu.
Kontroversi itu banyak sekali khamsi, fabdau minal khamis. Banyak kontroversi bahasa hadist titik bilangan huruf. Begitu juga kontroversi hadist taqwim thariqy.
Tuanku Hasan Zaini mengingatkan bahwa kajian ini sebaiknya tidak dialamatkan untuk merendahkan guru, ulama dan tuanku kita yang lama. Tugas keulamaan hari ini adalah mencari kesahihan dan dapat memberikan pengertian sesuai konteks zaman.
Prinsip mengangkat masalah untuk menguatkan pendapat yang lalu, tidak baik di diskusikan terima.
Jika untuk kebenaran itu perlu kelapangan hati. Tidak ada hadis yang membolehkan puasa dengan hisab.
Tujuan diskusi ini tidak untuk mempertanyakan, atau mengugat. Tetapi lebih mendapatkan posisi yang tepat, wasthatiyah (moderat) yang disebut kaidah, almuhafadzah al qadimis salih, wal akhzul bil jadidil aslah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengamalkan penemuan baru yang lebih baik).
Pemakalah menjelaskan bahwa kontroversi luas di antaranya, RUKYATUL bil bashar, dengan mata kepala, batas mathla' (waktu), kalau hilal mendahului rukyat, tidak boleh mengubah mufakat, tanpa taqwim putus silsilah, jadi masalah taqwim berkaitan dengan paham Tarekat dan Tasawuf.
Patut juga dicarikan solusi dan edukasi masyarakat tentang kenyataan kata Tuanku Hendra, bila hilai bulan sudah kelihatan sebelum waktu hilal dilihat? Ada pendapat silakan amalan pribadi, sedangkan untuk masyarakat sesuai kesepakatan, akibatnya ada Tuanku yang puasa, sebelum orang melihat bulan, nanti mereka ditinggalkan jamaah?
Jawaban yang diberikan terhadap masalah di atas diberikan oleh Syahril Tuanku Tanjung. Tuanku mesti memeriksa kembali siapa yang memulai taqwim, kapan adanya ilmu taqwim, apa ilmu taqwim sudah teruji? perlu diingatkan bahwa rukyat hilal (melihat bulan) itu adalah wajib, dan ibadah mesti dilakukan dengan yaqin, jangan umat beribadah dugaan/ dzhan, ragu-ragu, seperti dikritik dalam Yunus 36.
Muncul lagi pertanyaan cara terbaik seperti apa yang harus dilakukan untuk menempatkan masalah taqwim khamsiyah dan arbaiyah? Paham keagamaan yang sudah mengakar dan lazim diamalkan ulama dan umat, seringkali dijadikan norma baku (qathi'i), walau secara ilmu sebatas ijtihadi, dapat saja berubah sesuai perkembangan ilmu, solusinya hanya pencerahan ulama (Tuanku), transformasi digital dan dan kedewasaan berfikir akan dengan sendirinya mengubah cara berfikir dan dapat mengeser pola pikir tertutup dan dapat didiskusi ulang.
Ada kecemasan terjadinya polarisasi Tuanku antara Tuanku muda, berpendidikan akademik, yang berfikir progresif, dan maju dengan Tuanku yang masih rigid, keras pada paham furu'iyah, bertahan dengan pendapat lama. Solusinya adalah penguatan ilmu, pengalaman dan wawasan yang terbuka dari ula,a, Tuanku dan masyarakat.
Yang tak kalah pentingnya adalah mengingatkan tokoh adat, politisi dan pemerintah sekalipun untuk menjaga tradisi lama, namun lebih penting lagi mengedepankan kesahihan pendapat, kebaikan kolektif dan mengedukasi masyarakat lebih maksimal.
Pemikiran Dafril Tuanku Bandaro M.Pdi yang mencermati masalah taqwim, beda puasa dan
rukyatul hilal misalnya, pada saatnya akan mengikuti kaidah al alamu al mutaghayar, yang pemicunya adalah transformasi digital. Perubahan itu akan alamiah, empiris dan fakta-fakta ilmiah, khususnya pada masalah ijtihadiyah, cara yang mesti dikembangkan. Artinya hasil penelitian ilmiah dan realitas sosial akan terus berjalan sesuai perkembangan waktu.
Halaqah Jumatan ini terasa dapat menjadi pemicu adanya perbedaan mendalam dan masih terselubung yang mesti diungkap, misalnya taqwim yang dianggap sudah dianggap final, namun kini Tuanku terus menguatkan dan menata diri untuk menjelaskan masalah keagamaan di masyarakat.
Akhirnya diskusi virtual ini diharapkan terus berlanjut untuk mengungkap masalah yang sudah ada dalam masyarakat, selanjutnya dibahas untuk dihargai, dan pengamalannya untuk disesuaikan perkembangan. Semoga Tuanku terus menyiapkan diri memiliki pemahaman inklusif (terbuka) dan menghargai perbedaan pendapat yang memang diizinkan. DS. 04112023.