Main KIM di TMII Jakarta yang diikuti ribuan orang. (ist) |
Hampir 1.000 orang bertahan main KIM selama 4 jam dengan konsentrasi penuh menatap kertas kecil sambil menyimak pendendang bernyanyi, berpantun dan menyebutkan angka yang keluar dari kaleng yang dipegang dan sering dikocok-kocoknya.
Mereka semua serius menatap 5 baris angka di atas kertas ukuran amplop putih. Satu baris berisi 5 angka, yang diacak dari angka 1 hingga 90. Seorang penyanyi melantunkan lagu sambil menyebutkan angka yang keluar dari kaleng yang dikocoknya. Jika penyanyi menyebutkan satu angka yang cocok dengan angka yang ada di atas kertas peserta, dia melingkari angka tersebut. Bila sudah lima angka atau sebaris angka yang dilingkari, dia akan berteriak dan berdiri dambil berlari ke atas panggung untuk mendapat satu hadiah dari panitia.
Sebanyak 100 hadiah habis dalam 4 jam. Selama 4 jam itu pula tidak ada peserta yang meninggalkan tempat karena berharap jadi pemenang, dengan hadiah utama dua unit sepeda motor listrik. Ada ketegangan pada peserta karena berharap angka yang ada di kertasnya tembus, dan mendapatkan hadiah.
Begitu yang tampak pada permainan KIM yang digelar di Selasar Depan Sasono Utama, Taman Mini Indonesia, Jakarta, Sabtu malam 25 November kemarin.
“Kami memperkirakan 3.000 orang yang mengikuti KIM ini. Tetapi karena hujan, banyak yang batal datang,” kata penyanyi yang juga pengelola KIM Ayu Blank yang berdiri di atas panggung.
Permainan KIM ini menjadi mata acara utama di hari kedua Wara Wiri Feskraf yang berlangsung sejak Jumat 23 November dan berakhir hari Minggu 26 November. Panitia sengaja menggelar permainan ini di selasar dengan harapan bisa menampung 5.000 peserta KIM yang datang.
Permainan KIM ini berasal dari Sumatra Barat. Di berbagai situs internet disebutkan KIM adalah singkatan dari Kesenian Irama Minangkabau. Mulai dikenal sejak tahun 1945, dan berkembang pesat di tahun 1960-1970 an. Penyanyi Minangkabau Elly Kasim tahun 1963 ikut mempopulerkan KIM dengan merekam lagu “Karanggo”, lagu yang memang sering dinyanyikan oleh pendendang pada permainan KIM.
Lagu KIM disebut-sebut berirama Joget Gamaek. Awalnya, setiap angka yang keluar dari kaleng disebutkan dengan pantun yang dinyanyikan oleh pendendang di panggung diiringi oleh organ tunggal. Misalnya untuk menyebut angka 83, pendendang akan menyanyikan pantun di bawah ini:
_Tanjung Tiram oh batu baro_
_Tapi lauik latak kotanyo_
_Lapan puluah tigo jan lengah_
_Danga dendang jan tapurangah_
Untuk menyebut angka 58, pendendang akan melantunkan pantun di bawah ini:
_Balago singo jo macan_
_Kaduonyo lari kahutan_
_Ado limo puluah salapan_
_Alah ado nan bapunyo_
_Capek- capeklah pai kamuko_
Masyarakat Minangkabau menjadikan KIM ini sebagai hiburan pada perhelatan besar mereka, terutama malam sebelum pesta digelar. Ketika Jakarta Fair masih dilangsungkan di Monas, sepanjang 30 hari warga Jakarta bisa mengikuti permainan ini dengan membeli kupon yang dijual oleh panitia. Sekarang tidak banyak tempat yang menggelar permainan KIM di Jakarta. Perhelatan orang Minang Pun tidak menyelipkan permainan KIM jika mereka menikahkan anaknya.
“Kami ingin KIM dimainkan di nusantara,” kata Direktur Wara Wiri Feskraf Sastri Bakri yang menggelar festival ini selama 3 hari di TMII.
Gagasan mempopulerkan KIM menjadi permainan nusantara datang dari Denny JA, ketua umum Persatuan Penulis Indonesia Satupena, yang menjadi sponsor utama Wara Wiri Feskraf ini selama 3 hari ini. “KIM ini layak menjadi permainan nusantara karena ada unsur kebersamaan, keseruan, dan ketegangan, sekaligus kegembiraan di saat mengikutinya,” kata Denny JA yang ikut bermain KIM selama 4 jam penuh.
Denny mengusulkan KIM tidak lagi berarti Kesenian Irama Minangkabau, tetapi menjadi KIN, Kesenian Irama Nusantara. Sedangkan pelantun atau penyanyi KIM dipanggung menyebutnya dengan “KIM Nusantara”.
Karena itu, KIM yang dimainkan tadi malam sudah mengalami modifikasi sedikit. Yaitu, lagu dan pantun yang didendangkan menggunakan bahasa Indonesia saja, dan lagu-lagunya tidak lagi 100% berasal dari Minang. Sang penyanyi sudah menggunakan lagu-lagu dari berbagai daerah di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Keseruannya tidak berubah karena pendendang pandai meramu lagu-lagu daerah itu menjadi irama seperti yang berlaku di KIM.
Wara Wiri Feskraf adalah festival yang menampilkan aneka rasa dan warna budaya Indonesia. Selain musik, juga ada pembahasan literasi dengan berbagai topik, menampilkan tokoh di bidang masing-masing, termasuk Gemala Hatta yang menceritakan dunia literasi ayahnya, Bung Hatta. Kemarin juga digelar diskusi bersama Ahmad Gaus, “Dialog Esoterika: Agama di Era Google, Warisan Kultural Milik Bersama.”
Di selasar luar gedung pertunjukkan, panitia juga menggelar aneka kuliner yang datang dari berbagai wilayah Indonesia. Juga ada kedai yang khusus menjual busana daerah, buku, lukisan dan demo memasak, melukis, dan merandang (memasak rendang).
Pertunjukan hari terakhir adalah Panggung Senior dan Junior, yang akan menampilkan penyanyi lawas yang top di zamannya bersama penyanyi masa kini.
Wara Wiri Feskraf akan berlangsung setiap tahun. Wara Wiri Feskraf adalah singkatan dari Warna Rasa Budaya Wisata Negri Festival Ekonomi Kreatif. Penyelenggara acara berusaha menampilkan rasa, budaya, pariwisata, kuliner, fashion, dan sebagainya dari tanah air dalam satu event.***