Ali Mukhni ketika meninjau pembangunan makam Syekh Burhanuddin Ulakan. Sendiri, tak ada pejabat dan anak buah yang mendampinginya. (ist) |
Padang Pariaman, Sigi24.com--Seorang ibu rumah tangga di Singguliang Lubuk Alung menelpon saya. Dia mengabarkan soal uang duka kematian orangtuanya akibat gempa 2009, yang dipotong di kantor Camat setempat.
Kalau tak salah, uang duka kematian akibat gempa itu berjumlah Rp 2,5 juta. Tapi oleh ibu ini diterima Rp 1,5 juta.
Panjang lebar ibu ini bercerita lewat telpon. Saya lupa namanya, tapi kesimpulan ceritanya adalah pemotongan uang duka oleh oknum Camat yang dialaminya.
Saya telusuri cerita ini. Dan terakhir saya beranikan menelpon Wakil Bupati Padang Pariaman Ali Mukhni. Ini pertama kali saya menelpon Ali Mukhni.
Telpon diangkatnya. Saya perkenalkan diri mengawali omongan selanjutnya. Setelah itu saya minta tanggapan atas peristiwa pemotongan uang duka tersebut.
Cukup lama dan panjang cerita dalam telpon, dan dia minta camat Lubuk Alung harus mengembalikan uang itu.
Ali Mukhni pun terkejut mendengar cerita saya. Sebagai wakil bupati, Ali Mukhni memastikan tidak ada pemotongan uang duka oleh aparat di lapangan.
Cerita saya dengan Ali Mukhni lewat sambungan seluler ini saya catat. Sama dengan cerita dengan seorang ibu rumah tangga asal Singguliang Lubuk Alung sebelumnya.
Lalu dijadikan sebuah berita. Besoknya berita terbit dan jadi headline di halaman dalam, rubrik utama Harian Singgalang.
Sorenya, setelah berita terbit dan beredar luas di tengah masyarakat, ibu ini kembali menelpon saya. Dia menceritakan, kalau uang yang dipotong itu sudah dikembalikan, dan dia pun sebagai ahli waris utuh menerima Rp 2,5 juta.
Saya tak tahu persis kelanjutan cerita Ali Mukhni, sang Wabup setelah konfirmasi dengan sambungan telpon sebelumnya. Tapi, naluri saya berpikir, Ali Mukhni langsung menindaklanjuti persoalan itu.
Saya yakin dia menghubungi camat terkait, sehingga pas berita keluar ibu rumah tangga ini langsung dipanggil, dan uang jatah dia yang sempat dipotong sebelumnya, dikembalikan lagi.
Cerita ibu itu, dia sempat kena berang oleh Camat. "Ya, syukurlah uang ibu dikembalikan lagi," jawab saya mengakhiri percakapan dengan ibu itu.
Nomor saya disave Ali Mukhni
Pasca menelpon pertama itu, berikutnya saya agak sering menghubungi Ali Mukhni lewat seluler ini.
Ya, masih konfirmasi soal banyak hal. Di penghujung jabatan dia sebagai Wabup, Padang Pariaman dihadapan dengan banyak masalah. Yang paling besar masalah gempa besar 2009.
"Alaikumsalam, Pak Sek. Begitu dia memanggil saya awal perkenalan itu. Dalam telpon pertama saya memperkenalkan diri sebagai Sekretaris PWI Padang Pariaman".
Artinya, dari jawaban demikian, saya yakin nomor seluler saya disimpannya dalam memori HP dia.
Sebagai orang biasa, saya tentu menyimpan pertanyaan. Seorang Ali Mukhni yang saat itu Wakil Bupati Padang Pariaman, dan dua periode terpilih jadi bupati mau menyimpan nomor kontak saya.
Tak sekedar menyimpan, Ali Mukhni pun kerap dan pernah menelpon saya. Suatu kali Kampung Dalam kebanjiran. Banjir lantaran hujan lebat sejak siang sampai sore, malamnya Sungai Batang Nareh meluap.
Luapannya membanjiri sejumlah pemukiman di Kampung Dalam. Dari Padang menuju Pariaman, Wabup Ali Mukhni menelpon saya, mengajak ke kampungnya, memastikan soal banjir tersebut.
Banjir malam, dan beritanya harus tayang besok pagi, pun cara ngirim berita lewat SMS. Dan sebagian lewat sambungan telpon dengan redaksi.
Ali Mukhni, sang bupati hebat dan punya karya besar itu telah tiada. Sabtu 28 Oktober 2023, dia meninggal. Semua orang terkejut.
Maklum, Ali Mukhni orang lapangan. Banyak yang menyebut kalau dia "bapak pembangunan Padang Pariaman". Bergaul dengan semua elemen masyarakat. Tak pandang lawan dan kawan.
Dia sudah matang soal persaingan. Kalah dan menang dalam pemilihan adalah hal yang harus terjadi. Kaya dan miskin, sakit dan senang adalah pakaian hidup.
Dalam shalat berjemaah, Ali Mukhni mau dan mampu jadi imam, suaranya rancak, bacaan makhrajnya lumayan bagus. Apalagi jadi makmum, tentu sering dia lakukan.
Ketika jadi imam, Ali Mukhni sepertinya menguasai kondisi orang di belakangnya. Ya, imam harus tahu situasi dan kondisi makmum.
Sehingga dia membaca ayat standar saja. Tidak panjang dan tidak pula terlalu pendek. Begitulah seorang pemimpin, seorang kepala daerah, mengerti dengan rakyat, tahu apa yang jadi kebutuhan dan keinginan rakyat.
Hari-hari Ali Mukhni sudah tiada, banyak kisah dan cerita tersembunyi menyumbul di jagat dunia media sosial. Bersileweran kisah dan cerita, yang intinya menilai Ali Mukhni adalah orang baik.
Tentu kisah ini bagian dari doa. Doa untuk Ali Mukhni, semoga Allah SWT menempatkan dia di sisiNya, di tempat yang layak, surganya Allah SWT.
Sekaligus pelajaran bagi kita semua. Ya, semua orang yang pernah dan tak pernah berinteraksi dengan Ali Mukhni. Bahwa penting ketika kita lahir, banyak orang tertawa melihat tangisan kita. Saat kita pergi meninggalkan dunia ini, kondisinya terbalik. Orang banyak yang menangis.
Menangi kepergian kita, lantaran kebaikan dan kebenaran yang kita lakukan selama hidup. Banyak memberi, sering berbagi.
Kondisi demikian tentu tak bisa datang begitu saja. Ada perbuatan dan amal baik yang dilakukan. Sesuai ciptaan manusia itu oleh Tuhan, adalah untuk menghabakan diri.
Ketika kita shalat berjamaah atau pun sendiri, semua kita sama. Tak berbeda shalat pejabat dengan rakyat. Pejabat, kalau terlambat tiba, silakan di saf belang.
Ali Mukhni sudah tiba di makam itu. Makam semua orang sama dihadapan Allah SWT. Dia tak butuh gembar-gembor kepemimpinan. Turun ke tengah masyarakat tak pakai pengawal, tak butuh dampingan anak buah, yang semestinya bisa dia lakukan hal itu.
Semoga husnul khatimah. Alfatihah. (ad/red)