Alfian Tarmizi |
“Negara yang besar adalah negara yang belajar dari sejarah masa lalu”
(Al-Tary)
“Ganti menteri, ganti kurikulum, kita para guru yang susah. Sulit beradaptasi dengan perobahan kurikulum ini. Sementara PBM harus tetap berjalan...”
Adagium di atas sering kita dengar. Bahkan kita sendiri cenderung membenarkan. Ya, setidaknya mencoba berempati pada posisi guru yang serba sulit akibat pergantian kurikulum. Tidak semudah mengatakannya. Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Banyak proses yang harus dilalui. Rempong urusannya...
Memang kita akui, sejarah pergantian kurikulum di dunia pendidikan Indonesia mengalami beberapa kali penyempurnaan. Kata penyempurnaan ini mungkin lebih tepat kita pakai dalam memahami fenomena perubahan kurikulum dari waktu ke waktu.
Perubahan atau pergantian mengandung makna revolusi. Terjadinya perombakan yang signifikan dan pasti memakan korban.
Akan tetapi, kata penyempurnaan lebih memperhalus makna. Nilai yang diusung sekarang lebih sempurna dari sebelumnya. Karena memiliki unsur kesiapan dan Penyesuaian.
Aapabila kurikulum tidak disempurnakan dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan zaman, maka out put dari dunia pendidikan akan mengalami kemunduran alias ketinggalan zaman.
Pembaca yang budiman.
Dulu di era tahun 75 sampai 80-an, kita pernah mendengar kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Kurikulum ini lahir pada tahun 1975. Bertepatan dengan tahun kelahiran penulis. Karena lahir ditahun 1975, kurikulum ini sering juga disebut dengan “kurikulum 1975 yang disempurnakan.”
Dalam perjalanannya. Kurikulum ini mencuat namanya dengan kurikulum 1984. Entah karena proses sosialisasi yang lambat atau negeri kita ini begitu luas, sehingga akses informasi terasa begitu perlahan.
Kurikulum ini mengusung pendekatan proses skill aproach. Siswa dijadikan sebagai subjek belajar. Peran guru hanya sebatas pendamping, pamong atau guide.
Namun, sayangnya banyak praktisi pendidikan di sekolah-sekolah yang kesulitan dalam menginterpretasikan cara belajar dengan mengaktifkan siswa ini. Karena suara bising dan gaduh akibat diskusi serta atraktif pergerakan murid di kelas sering dipermasalahkan.
Alih-alih kurikulum CBSA merupakan cara belajar siswa aktif malah berubah menjadi catat buku sampai abis. Akhirnya proses implementasi kurikulum CBSA (1984) ini tenggelam bersama paradigma mengajar guru yang masih bersifat konvensional.
Di tahun 1994 pemerintah kembali memperbaharui kurikulum CBSA dengan perubahan semester menjadi catur wulan (cawu). Mungkin pembaca masih ingat betapa dulu kita pernah terima rapor 3x dalam setahun. Kurikulum ini lebih dikenal dengan nama suplemen GBPP 1994.
Sepuluh tahun kemudian, lahirlah kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Ada sejumlah kompetensi atau kemampuan yang harus dicapai oleh siswa dalam setiap semester (6 bulan). Kompetensi ini dituangkan di dalam rapor siswa. Kurikulum ini menekankan pada tiga kemampuan dasar siswa. Afektif, kognitif dan psikomotor.
Karena masih dalam taraf penyempurnaan, kurikulum KBK ini berlaku hanya seumuran jagung. Di tahun 2006 kembali diluncurkan kurikulum baru yang bernama kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Sesuai undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (SPN) yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2003. Sistem pendidikan di Indonesia merujuk pada Kompetensi Dasar (KD) yang dikembangkan oleh guru melalui jabaran indikator dalam pencapaian KD untuk mencapai standar kompetensi (SK) yang ditetapkan pemerintah.
Pendekatan dalam kurikulum ini adalah memakai sistem tema yang dikenal dengan tematik terpadu. Ada beberapa mapel yang terjaring dalam satu tema diajarkan dalam satu waktu yang bersamaan.
Pada masa pemerintahan Jokowi, melalui menteri pendidikan nasional Anies Baswedan, dirancanglah kurikulum 2013 atau kurtilas (K-13). Lagi-lagi penyempurnaan dilakukan dalam kurikulum ini. Melalui pendekatan tematik terintegrasi.
Bedanya pada pendekatan tematik terpadu, ada dua, tiga mapel atau lebih yang diajarkan dalam satu waktu dibawah payung tema A atau B dan seterusnya. Sedangkan pada K-13 tematik integral dengan mengajarkan dua atau tiga mapel dalam satu waktu di bawah payung tema-tema yang materinya tetap satu kesatuan. Contoh, mapel Bahasa Indonesia materi struktur bahasa dengan teks materi IPA tentang magnet dan materi karya yang terbuat dari magnet dalam mapel SBDP. Jadi dalam satu hari siswa belajar tentang magnet dalam kerangka mapel Bahasa, IPA dan Seni Budaya Keterampilan.
Menariknya dalam kurikulum 2013 ini penekanan pendidikan karakter sebanyak 70% yang diintegrasikan dalam setiap RPP dengan menginfusikan lima nilai karakter induk (religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong dan integritas).
Pacsa covid-19 pemerintah meluncurkan seri merdeka belajar dengan ANBK, IKM, Guru Penggerak, Sekolah Penggerak sampai kepada Transisi Paud/SD Menyenangkan yang sudah berhasil meluncurkan 26 seri merdeka belajar.
Dengan IKM melalui pemilihan opsi 1, 2 dan 3 kurikulum merdeka mulai diberlakukan di tahun 2022. Namun kurikulum ini masih dalam tahap penyempurnaan. Mari kita tunggu realnya pelaksanaan kurikulum merdeka secara merata di seluruh Indonesia pada tahun 2025 nanti.
Sesuai namanya, kurikulum merdeka ini mengusung ide perubahan dan merdeka belajar. Kata Merdeka ini bisa ditafsirkan dengan beragam sesuai ekspektasi masing-masing. Namun yang jelas, dengan mengutip folisofi pendidikan bapak Diknas kita Ki Hajar Dewantara; “Pendidikan itu mengutamakan kebebasan peserta didik dalam menentukan kebutuhan belajar mereka sesuai kodrat alam dan kodrat zaman”. (Ki Hajar Dewantara)
Di akhir tulisan ini penulis ingin menggaris bawahi, bahwa sederetan panjang pergantian kurikulum di negeri ini semata hanya untuk mendewasakan guru dalam menafsirkan tuntutan zaman yang dibawa oleh perubahan tersebut. Sebagai guru kita adalah orang terdidik yang dididik untuk mencerdaskan generasi emas dimasa yang akan datang. Jangan sampai kita meninggalkan generasi yang lemah di kemudian hari.
Sebagai epilog untuk membantu pemahaman, apapun kurikulumnya pasti demi kemajuan peserta didik. CBSA bagus ingin mengaktifkan siswa dalam belajar, Kurikulum 1994 juga bagus dengan perubahan sistem cawu dan satuan pembelajaran atau RPP. Begitu juga KBK dengan sejumlah pencapaian Kompetensi Dasar (KD) yang diikat dengan Satuan Kompetensi (SK). Pengaktifan domain afektif, kognitif dan psikomotor pun seimbang.
KTSP lebih spesifik lagi dengan pembelajaran tematik terpadu dalam memudahkan guru dan siswa saat proses belajar mengajar. Kurtilas/K-13 dengan tematik terintegrasi menitik beratkan pengulangan materi dalam setiap mapel dalam satu waktu. Dan penumbuhan pendidikan karakter disetiap pembelajaran.
Kurmer lebih sederhana lagi fokus pada materi esensial ilmu terapan yang mendukung life skill siswa. Namun dalam proses pembelajarannya lebih kompleks, lebih berpihak pada murid, mengerti perbedaan kebutuhan siswa, lebih kontekstual, mengadopsi semua pendekatan yang pernah ditemui pada kurikulum sebelumnya.
Jadi, mari berpositif thinking terhadap perubahan kurikulum ini. Bagi yang tidak mau ikut perubahan ini, siap-siap akan jadi korban perubahan itu sendiri.
Merdeka Mengajar!
Merdeka Belajar!
*Kepala SDN 17 Ulakan Tapakis, Padang Pariaman.
SUMBER BACAAN:
Alfian Tarmizi, Sejenak Bersama Pemikiran Ki Hajar Dewantara, Fajarsumbar.com, 2022
Hidayat, Pengembangan Kurikulum Baru, Bandung: Remaja Rodakarya, 2013
KTSP, Dasar Pemahaman dan Pengembangan Pengelola Lembaga Pendidikan, Jakarta, 2018
Muslich, Dzakir, Perencanaan dan Penembangan Kurikulum, Jakarta: Rineka Cipta, 2019
Undang-Undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003.
Wardhana, Konsep Pendidikan Taman Siswa Sebagai Dasar Kebijakan Pendidikan Nasional Merdeka Belajar, Seminar Nasional Pendidikan, Maret 2020. Vol.1