Fiqih Darli Malta |
Bertani, bagi anak muda Indonesia, bukan lagi pekerjaan yang menjanjikan masa depan. Buktinya, jumlah petani berusia muda terus merosot.
Dengan julukan sebagai negara agraris, sektor pertanian menjadi hal yang sangat penting untuk dipenuhi, tidak hanya sekedar pemenuhan berbagai komoditasnya saja namun juga orang-orang di baliknya termasuk regenerasi petani muda.
Petani menjadi profesi yang kurang diminati anak muda di Indonesia. Hal ini terlihat dari kurangnya regenerasi petani. Presiden Jokowi mengatakan 71 persen petani Indonesia berusia di atas 45 tahun, sementara yang di bawah 45 tahun hanya 29 persen. Memang, ada kecenderungan jumlah petani usia produktif semakin menurun.
Pada sensus pertanian tahun 2013, jumlah rumah tangga petani di Indonesia masih 31,17 juta. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya tinggal 26,13 juta. Terjadi penurunan sebanyak 5,04 juta jumah tangga petani dalam kurun waktu sepuluh tahun. Jika terus menyusut dari tahun ke tahun, tentu ini akan mengancam regenerasi petani di masa mendatang dan menjadi keprihatinan bersama karena Indonesia akan kekurangan tenaga ahli di bidang yang memang menjadi sumber kekayaan negara ini.
Bertani memang tak dianggap menjadi pekerjaan yang bisa menjamin finansial di tengah kenaikan biaya kebutuhan hidup, terlebih lagi untuk investasi di masa depan, cicilan rumah, biaya kuliah, hingga pensiun. Tidak sedikit anak muda yang kurang tertarik untuk terjun langsung ke profesi petani karena anggapan bahwa pendapatan seorang petani tidak memiliki pendapatan tetap yang tinggi layaknya seorang pekerja kantoran atau pegawai negeri. Berikut ini hal yang menyebabkan krisis regenerasi petani indonesia.
Adanya prestise sosial
Bisa dibilang prestise sosial adalah suatu status sosial yang berkaitan dengan kehormatan atau kedudukan seseorang dalam kehidupannya, yang mana orang tersebut memiliki unsur kategori yang lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya. Jika dikaitkan dengan apa yang ada di pikiran anak muda, petani dianggap kurang memiliki prestise sosial yang tinggi, lingkungan kerja yang kotor, dan pekerjaan petani muda dianggap tidak bergengsi di antara pekerjaan lain seperti karyawan kantoran.
Belum lagi anggapan kalau bertani kurang memberikan imbalan atau hasil yang memadai karena banyaknya penjualan hasil pertanian yang rendah dan kurang masuk akal sehingga menjadikan mereka tidak bersemangat untuk mulai bertani.
Risiko dan Harga Rendah
Seperti halnya berbagai pekerjaan lain, pertanian juga memiliki risiko yang cukup tinggi, baik risiko yang berasal dari alam, risiko harga bahan baku dan hasil, serta risiko lainnya.
Risiko dari alam seperti tanah longsor, hujan deras, atau cuaca yang tidak menentu sering kali membuat banyak petani merugi karena waktu tanam yang terkendala hingga waktu panen yang kurang sesuai prediksi.Sejumlah anak muda juga sering kali menganggap kalau harga bahan baku tidak sebanding dengan harga dari hasil pertanian di mana harga benih dan bibit, pupuk, serta biaya perawatan dianggap jauh lebih mahal dibandingkan dengan hasil panen yang ternyata gagal atau kurang baik.
Dengan risiko hama dan penyakit yang bisa menyerang tanaman sehingga membuat harga komoditas menjadi jatuh, hasil pertanian tidak sesuai harapan, hingga gagal panen dan menimbulkan kerugian.
Pendapatan dan Perhatian yang Kurang dari Pemerintah
Berdasarkan sensus pada tahun 2017, rata-rata pendapatan petani di Indonesia hanya mencapai 12,4 juta rupiah per hektar per tahun, atau dengan kata lain jumlah pendapatan per bulan berkisar 1 juta-an rupiah.
Pendapatan ini dinilai sangat kecil dan tidak memenuhi kebutuhan para anak muda, apalagi hal ini tidak sebanding dengan modal yang harus dikeluarkan untuk penanaman bibit pertanian beserta perawatannya.Sesuai dengan data yang ditunjukkan di atas, pendapatan yang didapatkan dari sektor pertanian dianggap sangat kecil dan kurang memadai untuk kalangan anak muda sehingga mereka lebih memilih untuk bekerja di sektor lain dan meninggalkan profesi sebagai petani muda.
Untuk meningkatkan kemakmuran petani dan menarik anak muda bertani, kebijakan pembangunan sektor pertanian sudah seharusnya didukung dan diperhatikan seluruh kementerian. Jika negara ingin makmur, petani harus makmur tentu akan dibarengi banyaknya anak muda berminat bertani. Pembangunan pertanian harus memakmurkan petani, itu tak mungkin hanya ditanggung Kementerian Pertanian. Salah satu upaya untuk meningkatkan kemakmuran petani yakni dengan menciptakan kebijakan ekonomi yang memihak pertanian. Namun kenyataan di sisi lain, Pemerintah membuat kebijakan yang dinilai mematikan produksi pangan petani dalam negeri salah satu nya seperti kebijakan impor.
Gengsi Perkotaan dan Persepsi Anak Muda
Faktor lain yang juga menarik kaum muda untuk tidak bertani adalah bekerja di sektor non-pertanian, di antaranya karena terpengaruh oleh hiruk pikuk perkotaan sebagai pusat pembangunan.
Seperti yang sudah diketahui, infrastruktur yang berkembang di berbagai sektor non-pertanian semakin pesat dan semakin menarik minat para anak muda sehingga pada akhirnya menimbulkan terjadinya arus urbanisasi yang tinggi dan meninggalkan pedesaan dan memilih tidak bertani. Terlebih faktanya, pekerjaan di pedesaan cenderung terbatas karena lebih banyak berkaitan dengan pertanian di mana hal ini cukup berbeda jika dibandingkan di daerah kota dengan kesempatan kerja yang lebih beragam.
Anggapan persepsi anak muda terhadap pendapatan orang yang bekerja di kota juga menimbulkan gengsi tersendiri karena dianggap jauh lebih sejahtera jika dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan.
Penurunan jumlah petani, terutama di usia produktif, merupakan ancaman terhadap rencana besar negara untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Karena itu, tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan pertanian Indonesia selain mendorong lebih banyak anak muda bertani serta kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan petani. Mulai dari memberikan wawasan dan pola pikir ke arah bertani, dukungan modal, teknologi, hingga jaminan harga yang adil bagi hasil produksi tani. (***)