Suasana halaqah setelah mengaji dan zikir bersama di Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan saat Haul ketiga Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa. (ad) |
Padang Pariaman, Sigi24.com--Lantunan bacaan ayat suci Quran mengisi seluruh ruangan aula besar di lantai dua Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan, Ahad (6/8/2023) malam.
Tak ada suara lain yang terdengar, selain suara dengungan orang mengaji. Dengan irama sendiri-sendiri, terserah pada yang membaca. Ya, santri, alumni hingga ke pimpinan pesantren, serta semua yang hadir ikut mengaji.
Mengaji Quran, sesuai kemampuan masing-masing, dengan satu niat dan satu tujuan, berkahnya untuk guru-guru, terkhusus Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa, yang malam itu puncak Haul ketiga dia yang diperingati di pesantren yang berdiri 1940 itu.
Setelah mengaji, gemuruh suara pun bersambung dengan melafazkan zikir bersama. Masih sesudah Magrib menjelang pelaksanaan Shalat Isya.
Tentunya dibawah pimpinan Buya Marulis Tuanku Mudo, pimpinan pesantren ini, mengaji dan zikir bersama itu berlangsung sebagai puncak Haul.
Buya Marzuki Tuanku Labai Nan meninggal dunia tahun 2020, tiga tahun yang lalu. Almarhum meninggalkan seorang istri dan empat orang putra.
Wafat dalam usia 72 tahun. Kurang lebih 25 tahun memimpin pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh H Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah ini.
Haul ketiga Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa ini mengusung tema, mengenal sosoknya. Sosok atau biografinya ini disampaikan oleh alumni, anaknya dan pimpinan pesantren.
Pembacaan biografi ini penting, mengingat perbedaan cara pandang dan cara menafsirkan hubungan guru dengan murid yang tidak bisa sama diantara sekian banyak murid.
"Setidak-tidaknya, Haul ketiga ini adalah "mangamehan nan taserak mangumpuan nan taicia". Artinya, semua karakter dan kisah Buya Marzuki terangkum di seluruh alumni, yang tentunya berbeda-beda dalam penerimaannya," ujar Abdurrahman Tuanku Kuniang mengawali ceramahnya malam itu.
Abdurrahman, alumni asal Padang Toboh Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman ini memaparkan kisah ketauladanan mendiang secara runut dan terstruktur.
Abdurrahman yang mulai masuk jadi santri di Madrasatul 'Ulum tahun 1999 ini, menilai pentingnya pituah guru dan kisahnya jadi pegangan bersama.
Ada kesamaan tanggal wafat Buya Marzuki Tuanku Labai Nan Basa dengan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, yakni tanggal 19. Buya yang tua 19 Jumadil Akhir, dan Buya Marzuki 19 Muharram.
Nasehat dan pituah Buya Marzuki yang dicatat Abdurrahman ini cukup banyak dan sangat menarik untuk dikembangkan.
Besar kemungkinan, nasehat dan pituah ini sangat erat kaitannya dengan pendahulunya, Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah.
"Sering Buya bilang, ibarat ikan kalau di kampung kalian ikan garing, tapi ketika di pondok ini kalian hanya ikan pantau," ujar Abdurrahman.
Demikian itu sering, dan malah jadi pameo. "Artinya, sehebat apapun kita yang pernah mondok di sini dulunya, sebesar apapun status sosial kita, ketika sudah kembali berada di pondok ini, tak ada artinya dan tidak perlu disombongkan dihadapan almamater ini," katanya.
Kemudian yang sering menjadi peringatan Buya Marzuki, sebut Abdurrahman, jangan risau oleh persoalan dunia, tapi risau dan sibuklah dengan urusan akhirat.
Selanjutnya, kata Abdurrahman, sesuatu harus ada dasar dan rujukan kajinya. "Ketika mengaji dia senang kalau santri suka bertanya, dan suka ada sesuatu yang baru. Artinya, terselip di sini, boleh melawan guru dengan kajinya," ulasnya.
Berikutnya, jujur dalam menyampaikan kaji. "Buya menyampaikan kaji sesuai apa adanya, sesuai referensi sendiri. Kalau tak ada ketemu kajinya, ya sampai begitu, dan jangan cari pembenaran yang dibuat-buat," sebutnya.
Abdurrahman menyebutkan, bahwa kesungguhan Buya Marzuki dalam mengajar amat luar biasa. "Dalam kondisi apapun juga, sakit sekali pun, dia pesankan kepada santri untuk terus mengajar," katanya.
Selalu berpedoman pada guru. "Buya dulu seperti ini. Kalau Buya dulu begini. Artinya, petuah gurunya dulu, pun tak dia abaikan. Melainkan terus dipedomani dengan baik dan benar.
Buya Marzuki, kata Abdurrahman, sangat menganjurkan santri dan muridnya untuk menulis. Menulis kaji dan ilmu yang dipelajari tiap hari.
"Kalian menulislah, biar ilmu bisa tersalurkan kepada generasi yang panjang," kata Abdurrahman menirukan fatwa Buya Marzuki.
Malam itu, Zulkarnain, putra sulung Buya Marzuki juga ikut memberikan materi, terkait judul kegiatan.
Dia menceritakan sedikit kisahnya yang sering berpindah-pindah tempat tinggal bersama buyanya. Lalu, tempat tinggal tak pernah sepi dari tamu.
"Selalu banyak datang, bertanya tentang banyak hal ke Buya Marzuki. Dari berbagai kalangan," katanya.
Sampai terakhir tinggal di sini. Lubuk Pandan, tempat Buya Marzuki dulunya mengaji. "Saya merasakan, Buya Marzuki, ulama yang diterima banyak orang, pandai menempatkan diri di manapun juga berada," sebut Zulkarnain.
Sementara, Tuanku Afredison, alumni yang sedang jadi anggota DPRD Padang Pariaman juga memberikan masukan dan materi.
Ketua DPC PKB Padang Pariaman ini berkisah soal pembaruan yang dilakukannya bersama Buya Marzuki dulunya, terasa sekali betapa itu amat penting.
Pro dan kontra dalam melahirkan kebijakan, katanya, adalah sesuatu yang wajar. Yang penting, pondasi dasar tidak berubah dan tidak dirubah di tengah pembaruan itu.
Materi ditutup oleh Buya Marulis Tuanku Mudo, pimpinan pesantren yang melanjutkan proses belajar mengajar sepeninggal Buya Marzuki.
Buya Marulis yang lama tinggal di Koto Buruak Lubuk Alung ini banyak bercerita soal kedekatannya dengan Buya Marzuki. (ad/red)