Foto bersama narasumber dan panitia. (ist) |
Medan, Sigi24.com--KH. Akhmad Khambali, selaku Pengurus Harian BPET MUI Pusat meminta agar semua tokoh agama menjaga netralitas dan kondusivitas pada situasi tahun politik menjelang Pemilu 2024 mendatang. Karena akibat pilihan politik yang berbeda, diindikasikan situasi akan semakin memanas.
"Saya meminta seluruh tokoh agama, waspada politisasi agama. Di tahun ini politisasi tempat ibadah sebagai ajang kampanye, sudah mulai terjadi," ungkap Kyai Khambali yang juga Pengasuh Majlis Sholawat Ahlul Kirom, ketika menjadi narasumber Halaqoh Ekonomi Syariah, Kamis (4/5/2023), di Medan, Sumatera Utara.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multikultural. Keanekaragamannya juga dibuktikan dengan bermacam-macamnya ras, suku, agama, dan budaya.
Dalam konteks politik, hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya partai yang menjadi peserta pemilu. Identitas multikultural bangsa Indonesia harus dimaknai sebagai potensi keanekaragaman yang menjadi bagian dari kekayaan nusantara.
Di sisi lain, kemajemukan bangsa Indonesia juga mempunyai potensi bagi lahirnya konflik-konflik horizontal dan sikap intoleransi. Potensi tersebut bisa jadi disebabkan karena sifat egosentris masing-masing golongan dan truth claim sepihak. Terlebih ketika musim pemilu tiba.
Saat ini, banyak anggapan bahwa 2024 merupakan tahun politik. Pernyataan tersebut didasarkan bahwa 2024 adalah tahun pemilihan anggota lagislator dan presiden beserta wakilnya.
Seperti yang sudah-sudah, masa-masa pra-pemilu suhu politik terasa semakin panas. Hal tersebut disebabkan tidak jarang masing-masing pihak saling ingin dilihat ‘lebih memadai’ dan bersikap apologi terhadap partai ataupun golongannya. Sehingga secara tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa.
Sudah lama nampak di jalan-jalan: baliho, poster, dan pamflet peserta pemilu. Juga melalui forum-forum tertentu, calon lagislator maupun partai telah ramai-ramai berkampanye. Saling menunjukkan eksistensinya. Serta guna menyampaikan visi, misi, dan programnya.
Di satu sisi, dalih ta’aruf atau memperkenalkan diri kepada masyarakat menjadi tujuan dilakukannya hal-hal di atas. Namun, di sisi lain, praktek-praktek tersebut berpotensi untuk membuat masyarakat terkotak-kotak. Akibatnya dari banyaknya image dan iming-iming yang ditawarkan tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan esensial yang luas.
Persoalan lain yang mungkin perlu dikhawatirkan adalah masyarakat menjadi bingung. Masyarakat harus dihadapkan dengan banyaknya pilihan karena tidak mengenal calon lagislator maupun partai secara mendalam. Akhirnya yang terjadi adalah mengikuti prosesnya secara “buta”.
Tidak mengenal siapa yang hendak dipilihnya. Asal memilih untuk tidak dianggap golput. Memunculkan peluang terhadap pihak-pihak yang berhasil mendoktrin dan menggiringnya untuk melakukan pembenaran tunggal pada “keyakinan” politiknya.
Adanya nuansa terhadap pengkotak-kotakan dalam masyarakat akibat kampanye masing-masing partai menjelang pemilu 2024 perlu direspon. Upayanya dengan memberikan pemahaman secara komprehensif tentang “pemilu sehat” kepada masyarakat. Salah satu strategi yang mungkin bisa dilaksanakan adalah melalui pendidikan politik dengan berbasis pada multikulturalisme.
Multikulturalisme dimaknai sebagai satu pandangan untuk menerima keanekaragaman dan memunculkan sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri kita.
"Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana. Melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan. Sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat dalam konteks keberagaman," ujar Kyai Khambali yang Juga Pengamat Kebijakan Publik.
Secara praksis, pendidikan politik berbasis multikulturalisme dapat dilakukan melalui forum-forum yang terdapat dalam masyarakat. Materi yang disampaikan harus komprehensif: materi-materi dasar politik, politik nusantara, pemilu sehat. Juga diperkenalkannya dengan semua partai secara detail, dan materi lain yang relevan. Menghadirkan masing-masing perwakilan partai untuk melakukan dialog secara sehat, bermartabat, dan didasari dengan rasa persaudaraan.
Masing-masing partai tidak hanya berkampanye untuk eksistensinya, namun juga berkampanye tentang perdamaian, persaudaraan. Para calon legislator duduk bersama untuk berdialog tentang masa depan negara atau wilayahnya. Antar calon presiden dialog strategi dan materi pengembangan untuk membangun bangsa. Bukan debat dengan aura saling serang dan emosional.
Langkah tersebut di atas merupakan salah satu gagasan alternatif untuk memberikan pengetahuan secara esensial. Tentang persoalan-persoalan terkait politik secara umum, dan pemilu 2024. Jadi bukan hanya sekedar pengetahuan tentang tata cara pencoblosan belaka.
"Karena memang idealnya, meskipun memiliki perspektif yang berbeda semua partai peserta pemilu bisa duduk bersama. Berdialog dengan masyarakat untuk membangun Indonesia raya, bukan untuk memperebutkan kekuasaan semata," ucap Kyai Khambali yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Wirausaha Ahlul Kirom.
Sementara, hipotesis saya, saat ini, pra-pemilu tidak benar-benar dan sungguh-sungguh diorientasikan untuk membangun bangsa Indonesia untuk lebih berkembang, akan tetapi hanya untuk kepentingan kekuasaan belaka, dan mengorbankan kepentingan bangsa dan negara yang lebih beradab dan berakhlak, sehingga selalu keberagaman beragama menjadi alat untuk memecah belaka di dalam toleransi beragama, tutur Kyai Khambali. (rls)