Catatan dari IMLF (International Minangkabau Literacy Festival), Baso-Agam, Sumatra Barat-Indonesia, 22-27 Februari 2023.
Festival Literasi Minangkabau Internasional (IMLF) baru saja berakhir. Saya sebagai Sekjen Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA mengikuti acara itu secara lengkap. Mulai dari sambutan selamat datang buat para peserta di auditorium kantor Gubernur Sumbar hingga acara penutupan di Baso-Agam yang meriah dan merakyat.
Sayangnya, saya tak sempat mengikuti kegiatan hari pertama, 22 Februari, karena diadakan pagi hari. Sedangkan saya baru tiba di Padang dengan rombongan dari Jakarta pada siang hari. Pagi itu ada Gerakan Menulis Bersama Gol A Gong, Duta Baca Indonesia 2021-2025, di SMA Don Bosco dan SMP Frater Padang.
IMLF diikuti sekitar 200 peserta dari dalam dan luar negeri. Menurut catatan panitia, IMLF diikuti delegasi dari 11 negara, termasuk: Malaysia, Brunei, Banglades, Spanyol, Australia, Rusia, Agentina, dan India.
Ada sekitar 30 peserta berasal dari Malaysia dan 30 lainnya dari Brunei. Dua negara jiran itu mewakili delegasi asing terbanyak. Mungkin karena kedekatan etnis dan budaya yang sangat tampak antara Indonesia (Minang) dengan Melayu di Malaysia dan Brunei.
Ajang IMLF ini bisa dikatakan “meriah” karena melibatkan pameran buku, foto, lukisan, pembacaan puisi, nyanyi, musik, tari-tarian dan pertunjukan seni dari para peserta. Peserta yang tampil termasuk dari luar negeri dan dalam negeri atau tuan rumah.
IMLF dikatakan “merakyat” karena pertunjukan yang menggunakan panggung besar itu akhirnya juga “mengundang” kehadiran warga sekitar. Sebagian besar acara berlangsung di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Dalam Negeri Regional Bukittinggi di Baso, Kabupaten Agam.
Izin penggunaan fasilitas PPSDM merupakan wujud partisipasi pemerintah setempat dalam ajang IMLF, meskipun tidak memberi dana cash. Panitia tetap harus bergerilya untuk memungkinkan IMLF berlangsung, dan untuk hal itu perjuangan panitia patut diapresiasi.
Kehadiran warga lokal setempat juga memberi warna. Mendengar suara musik, warga yang berdomisili di sekitar kawasan PPSDM datang. Bagi mereka, ini mungkin menjadi selingan hiburan murah yang menyenangkan. Maklum, tidak tiap hari ada pertunjukan seni dan musik gratisan.
Koordinator Satupena Sumatra Barat, Sastri Bakry, yang menjadi motor penyelenggaraan IMLF, menyebut pertunjukan seni IMLF ini sebagai “panggung rakyat.” Acara IMLF jelas bukan acara yang elitis.
Panitia juga menghadirkan sejumlah UMKM lokal, yang membuka stan dan berjualan di arena PPSDM. Mulai dari jualan makanan, minuman, busana daerah, souvenir, dan sebagainya. Dilangsungkan juga lomba melukis untuk anak dari warga lingkungan sekitar.
Sejumlah penyanyi lokal mengalunkan lagu-lagu Minang karya Elly Kasim, penyangi asal Minang yang lagunya sangat populer di Sumbar. Sayang, Elly Kasim sudah wafat pada Agustus 2021 sehingga tidak bisa berpartisipasi di event internasional ini.
***
IMLF memilih tema “Membangun Sinergi Dalam Mengembangkan Kompetensi Sosio-Kultural Berbasis Literasi di Era Globalisasi.” Tema ini relevan dengan berbagai tantangan sosio-kultural yang dihadapi Indonesia, dan tentunya juga dihadapi pendukung literasi dan budaya Minangkabau saat ini.
Menurut panitia IMLF, filosofi budaya literasi Minangkabau adalah “alam takambang jadi guru,” yang menjadi fondasi esensial kecakapan literasi, untuk mampu memahami teks-teks kecakapan semantik/rasional, kecakapan simbolik atau semiotik/rasa, dan kecakapan spiritual.
Namun, berbagai kecakapan ini telah semakin surut. Padahal, literasi budaya Minangkabau yang dilandasi filosofi tersebut relatif bersifat universal dan relevan secara historis-kontekstual. Baik itu dalam dimensi sastra dan seni, maupun diplomasi, politik, birokrasi, demokrasi, adaptasi dan relasi multikultural.
Maka, perlu sinergitas kolaboratif dari semua pemangku kepentingan, untuk melakukan gerakan revitalisasi melalui penguatan literasi budaya luhur tersebut.
Sejarah literasi Minangkabau, lisan maupun tulisan, fiksi maupun nonfiksi, menunjukkan jejak kecemerlangan yang mencerdaskan. Yakni, jejak-jejak dalam penggalangan kebangkitan nasional dan pembentukan bangsa dan negara yang multikultural (Bhinneka Tunggal Ika).
Tetapi panitia IMLF melihat, pada lima dasawarsa terakhir kecendekiaan itu menunjukkan gejala surut dan semakin surut. Maka, gerakan literasi bahasa, sastra, dan budaya Minangkabau harus dibangkitkan kembali melalui program pemajuan (perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan).
Tujuannya, demi menumbuhkan kecerdasan dan kesejahteraan generasi masa mendatang, dalam kehidupan global yang semakin kompetitif dan menantang.
Menurut panitia IMLF, produksi sastra, seni, dan representasi kecendekiaan budaya lainnya adalah kompleks produk literasi yang unik dan eksotik. Namun, produk literasi budaya itu di Minangkabau juga terkesan terus merosot.
Hal ini ditandai dengan makin berkurangnya pelaku bersama karya-karyanya. Penyebabnya, menurut panitia, adalah lemahnya dukungan, perhatian, kecintaan, kesadaran identitas, dan finansial bagi pelakunya untuk berproduksi.
Maka, diperlukan gerakan kreatif, inovatif, dan produktif, sekaligus peningkatan apresiasi demi pemajuan finansial literasi sastra, seni, dan representasi budaya lainnya itu.
***
Untuk menjawab berbagai isu krusial itulah, dalam ajang IMLF ini digelar beberapa seminar dan diskusi panel. Pembicaranya adalah para pakar serta praktisi pendidikan dan budaya dari dalam dan luar negeri.
Pada 24 Februari pagi, dilangsungkan seminar “Membangun Sinergi Dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Sosio-Kultural di Era Globalisasi.”
Pada tanggal yang sama, siang sampai sore, digelar tiga diskusi panel paralel di tiga ruangan yang bersebelahan. Topik 1: “Bahasa, Sastra dan Musik di Era Digitalisasi.” Topik 2: “Literasi Budaya Minangkabau Dalam Perspektif Sejarah, Kini dan Masa Datang.” Topik 3: “Membangun SDM Unggul Melalui Budaya Literasi.”
Esok harinya, 25 Februari pagi, diadakan Jumpa Penulis Internasional, serta peluncuran dan diskusi buku “Minangkabau Dalam Batin Penyair” (antologi puisi Satupena Sumbar). Saya menjadi pembahas di diskusi buku ini, menggantikan penulis senior Eka Budianta yang berhalangan hadir.
Siangnya, diadakan diskusi “Gerakan Literasi Anak Usia Dini dan Tantangannya” bersama Bunda Literasi dan pakar budaya. Diskusi literasi ini mendapat perhatian serius dari para peserta.
Literasi adalah kunci keunggulan sumber daya manusia (SDM). Sebab, kecakapan literasi adalah bagian integral dari pendidikan. Pendidikan adalah proses pembetukan karakter, yang mengasah kapasitas diri peserta didik dengan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan sikap (attitude), agar memiliki daya kompetitif yang tinggi.
Maka, tiga pilar pendidikan (sekolah/pemerintah, keluarga, dan masyarakat) perlu bersinergi dalam melahirkan SDM yang unggul. Berbagai potensi sumber daya literasi perlu diproduksi dengan konten yang selektif, melalui alih media dengan teknologi mutakhir, yang diarahkan kepada penguatan nilai-nilai positif dan menangkal nilai-nilai negatif.
Yang patut dicatat, pada acara penutupan IMLF, pihak penyelenggara mengeluarkan deklarasi, yang berisi rekomendasi. Pada dasarnya, panitia IMLF menyadari bahwa gerakan literasi tidak boleh hanya bersifat seruan dan imbauan.
Tetapi gerakan itu harus disertai dengan aksi konkret yang terencana, terarah, dan terukur. Ada beberapa gerakan bersama antara komunitas literasi dengan pemerintah, sebagai pemegang kuasa kebijakan, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.
Butir-butir penting yang direkomendasikan, antara lain: Pendidikan literasi berbahasa Minangkabau, sebagai mata pelajaran muatan lokal, perlu diberikan sejak usia dini sampai perguruan tinggi.
Maka jajaran pemerintah setempat, melalui berbagai unit dan kembaga, serta pengelola perguruan tinggi, perlu mengeluarkan instrumen kebijakan, perangkat pembelajaran, alat dan sumber belajar, serta struktur pembelajaran dan asesmen, yang dapat mengukur tingkat capaian literasi peserta didik.
Mereka juga perlu menciptakan ekosistem pelestarian dan penyelamatan naskah kuno, seni sastra tradisional, tradisi lisan, dan bentuk representasi budaya lokal lainnya, bersama industri kreatif yang relevan, yang dapat menopang eksistensi finansial literasinya.
Mereka perlu menggiatkan produksi buku berbahasa Minangkabau dan distribusinya, dengan mempertimbangkan konten dan sasaran pembaca secara arif dan bijaksana.
Gerakan literasi Minangkabau perlu secara aktif dan kreatif mengadopsi teknologi digital dalam input, proses, dan output, agar produk atau karya yang dihasilkan relevan dengan mudah diakses oleh kalangan milenial yang sangat dekat dengan media digital.
Untuk mendukung semua rekomendasi tersebut, pada domain penganggaran, Pemerintah Daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota perlu mengalokasikan setidaknya 1% (satu persen) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk pemajuan literasi budaya Nusantara (Minangkabau khususnya).
***
Sebagai bahan refleksi, saya ingin mengangkat tiga pembicara yang hadir di IMLF. Karena keterbatasan ruang, tak mungkin saya mengangkat semua pembicara di IMLF. Maka saya membatasi pada pembicara dengan narasi krusial bagi Minangkabau. Mereka adalah Victor Pogadaev, David Grant Reeve, dan Denny JA.
Victor Alexandrovich Pogadaev adalah akademisi Rusia, ahli sejarah dan budaya Asia Tenggara. Fasih berbahasa Indonesia, Pogadaev (sekarang 76 tahun) secara ekstensif telah menerjemahkan banyak puisi dan karya sastra Indonesia ke bahasa Rusia. Dia juga ikut menyusun Kamus Rusia-Indonesia dan Kamus Indonesia-Rusia.
Terjemahan sastra Indonesia mulai diterbitkan di Rusia sejak awal tahun 1950-an, setelah Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Mula-mula yang menonjol adalah terjemahan puisi.
Proses penerjemahan itu masih berlangsung hingga saat ini. Sejumlah penulis asal Minangkabau termasuk yang telah diterjemahkan karyanya. Pogadaev menyebut terjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa Rusia sebagai “dialog peradaban.”
Sedangkan David Reeve adalah Indonesianis, yang mengajar di University of New South Wales, Sydney, Australia. Warga Australia ini juga pernah mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI).
Di ajang IMLF, Reeve membahas fenomena yang agak baru. Yakni, karya sastra (serta film) Indonesia yang mengambil setting cerita di luar negeri. Sejak tahun 2000 sekitar 150 novel dan film Indonesia --setidaknya-- telah muncul dengan karakter Indonesia di luar negeri.
Menurut Reeve, ini berbeda dengan 55 tahun kemerdekaan Indonesia sebelumnya. Selama 10 tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan minat baru terhadap diaspora Indonesia, dari Madagaskar hingga Kaledonia Baru.
Jika Pogadaev bisa dibilang lebih banyak membahas karya penulis Indonesia masa lalu, dan Reeve membahas karya-karya masa sekarang, maka penulis entrepreneur dan Ketua Umum SATUPENA Denny JA secara tak langsung telah membahas masa depan.
Denny menampilkan 15 lukisan karyanya, yang dibuat dengan aplikasi kecerdasan buatan (AI, artificial intelligence) di arena IMLF. Aplikasi menggambar dan melukis otomatis menggunakan AI untuk menghasilkan gambar atau karya seni berdasarkan input pengguna.
Seperti dibuktikan oleh Denny, aplikasi ini dapat digunakan untuk membuat lukisan dari berbagai macam gaya seni, mulai dari potret realistis hingga komposisi abstrak.
Menurut saya, meski mungkin kurang disadari oleh para peserta IMLF, lukisan-lukisan AI yang dihadirkan oleh Denny JA adalah sebentuk tantangan masa depan bagi para penulis, seniman dan pegiat literasi Minangkabau khususnya, dan Indonesia umumnya.
Lukisan Denny itu diharapkan bisa membuka wawasan para peserta dan delegasi IMLF tentang potensi sekaligus tantangan AI terhadap dunia kepenulisan. Esensi dari karya Denny yang dibuat dengan aplikasi AI adalah bahwa teknologi kecerdasan buatan ini sudah merasuk jauh ke dalam proses kreasi.
Wujud kreasi itu nanti bukan cuma lukisan, tetapi juga puisi, esai, artikel, lagu, dan sebagainya. Lalu bagaimana penulis harus menempatkan diri di tengah perkembangan AI yang dahsyat ini? Ketika puisi atau lagu bisa diciptakan begitu mudah dengan AI, di mana peran penulis dan kreator?
Denny JA telah membuka tantangan masa depan bagi para pegiat literasi Minangkabau. Paparan Pogadaev tentang karya sastra Minangkabau dan Indonesia masa lalu, bagus untuk dicatat. Ulasan Reeve tentang berbagai karya novel dan film masa kini juga bagus untuk dibahas.
Namun, yang paling krusial adalah mempertanyakan masa depan. Bagaimana masa depan dunia kepenulisan dan literasi Minangkabau serta Indonesia, dengan hadirnya teknologi AI di jantung kreasi? Tantangan Denny JA ini harus dijawab. (***)
*Penulis, jurnalis dan Sekjen SATUPENA
Depok, 3 Maret 2023