Ilustrasi. |
Sigi24.com--Dari Maninjau, Kabupaten Agam cerita itu bermula. Ya, cerita dan kisah seorang Dalimi Abdullah Datuak Indo Kayo. Mantan Kepala Kanwil Kemenag Sumatera Barat ini lahir di Maninjau itu.
Lahir ketika proklamasi kemerdekaan Indonesia baru hitungan hari. Tepatnya, Dalimi Abdullah lahir 3 September 1945 di Balai Belo, Nagari Koto Kaciak, Kecamatan Tanjung Raya.
Dari pasangan Abdullah dan Tiana. Ayah Dalimi adalah seorang pangulu pucuak dalam sukunya, Caniago. Bergelar Datuak Majo Kayo. Sementara, ibunya yang dia sapa Uwai bersuku Tanjung.
Maninjau, sepertinya kampung yang tak pernah lelah melahirkan orang-orang hebat. Dalimi Abdullah, satu dari sekian banyak tokoh hebat yang lahir di Maninjau itu.
Meniti karir dari guru agama, Dalimi Abdullah terus menanjak naik, sampai puncaknya menjadi anggota DPR RI selepas pensiun dari Kepala Kemenag Sumbar.
Bagi banyak orang di kampung itu, Dalimi Abdullah anak manja. Sebab, dia diapit oleh dua saudara perempuan. Kakaknya yang tua adalah perempuan, Marjida Abdullah, dan adiknya perempuan juga, Yasdar Abdullah.
Tapi, kenyataannya tidak demikian. Dalimi Abdullah dari kecil jadi tulang punggung dari keluarga. Satu-satunya laki-laki yang bisa membantu orangtuanya ke sawah dan ladang tentunya.
Ajaran ayah dan uwainya, tak membuat Dalimi Abdullah jadi anak manja, seperti sebutan banyak orang itu. Selalu membantu ayah di sawah, membuat kepribadian Dalimi Abdullah terbentuk.
Kepribadian itu dibentuk sejak kecil. Semakin bertambah usia Dalimi Abdullah, kian paham dan mengerti pula dia akan ajaran orangtuanya.
Paham akan pentingnya arti kehidupan yang terus berjalan, dimana orang hidup butuh kerja dan usaha. Tidak boleh manja, meskipun kultur yang membuat Dalimi Abdullah sebenarnya bisa untuk bermanja.
Kultur sebagai tengah, dua saudaranya perempuan, kakak dan adiknya. Dan kebanyakan di kampung-kampung, sangat pantas untuk bermanja.
Hidup manja di Maninjau dalam zaman Indonesia masih memulai kehidupan barunya sehabis kemerdekaan itu, adalah dengan berleha-leha.
Kala itu terkenal dengan istilah "pemadat jalan". Orangtua sibuk bekerja, ke sawah dan ke ladang, sementara sang anak manja sibuk pula hilir mudik, tak tahu tujuan.
Pemadat jalan, ya kerja tak ada selain hilir mudik, nongkrong di kedai lebih banyak sambil menumpuk hutangnya.
Hutang kian banyak, karena kerja tak ada selain hilir mudik. Tak ada pemasukan uang, selain pemberian orangtua yang bekerja saban waktu.
Hutang yang banyak itulah yang dibayar oleh orangtua, manakala padi sudah masak dan dipanen.
Itu gambaran anak manja yang diketahui Dalimi Abdullah di kampungnya, menjelang usia remajanya.
Dalimi Abdullah tak ingin seperti itu. Dia tak ingin hilir mudik tak tahu arah dan tujuan. Dia ingin, kehidupannya kalau bisa tidak memberatkan orangtuanya.
Dia tak ingin ayah uwainya membayar hutang-hutangnya di kedai. Dalimi Abdullah ingin pandai mencangkul, layaknya orang yang sungguh bekerja di sawah.
Lebih dari itu, sejak usia sekolah, Dalimi Abdullah sudah rajin mengaji ke surau, dan sejak itu pula terpahat cita-citanya ingin melanjutkan sekolah.
Ayahnya, Abdullah pernah bercerita dan kepengin sekali melihat anaknya, Dalimi Abdullah ini kelak pandai berkhutbah di mimbar.
Pintar ceramah agama, seperti anak-anak yang pulang mengaji dari Padang Panjang dan Canduang. Zaman itu, banyak orang Maninjau yang belajar dan mengaji di Padang Panjang, lalu ketika pulang kampung tampil di tengah masyarakat.
Ya, tampil jadi khatib ketika hari Jumat, tampil di wirid pengajian umum di berbagai tempat, sehingga punya nama dan pengaruh di tengah masyarakat.
Abdullah, sepertinya terinspirasi dengan kondisi seperti demikian. Dalimi Abdullah, satu-satunya anak laki-lakinya, ingin pula seperti itu.
Keinginan itu disampaikan langsung ke Dalimi Abdullah yang masih anak-anak itu. Tapi Dalimi Abdullah paham dan mengerti akan arti dari keinginan sang ayah.
Mengerti, sehingga Dalimi Abdullah dari kecil rajin sekolah dan mengaji. Rajin menolong ayah di sawah dan ladang, sehingga jiwa kemandirian dan ingin terus maju terpatri dalam dirinya.
Keinginan dan cita-cita orangtua awalnya itu, pun menjadi keinginan Dalimi Abdullah sesaat usianya bertambah.
"Aku ingin seperti itu," kenangnya. Langsung terbayang oleh Dalimi Abdullah, betapa bahagianya orangtua dia, ketika dia tampil membaca khutbah Jumat di kampung.
Apalagi jadi khatib Idul Fitri dan Idul Adha. Pakai jas hitam plus sarung dengan gagahnya, peci nasional yang necis, bahu dililit dengan kain serban.
Lalu, dalam khutbah itu suara dengan lantang, duduk intonasi tinggi rendahnya, sesuai materi khutbah yang disampaikan di hadapan ratusan bahkan ribuan jemaah yang hadir.
Nah, bayangan seperti demikian terus melintas dalam benaknya. Dia endapkan dalam dadanya, tentu suatu waktu bisa mewujud dengan baik dan benar.