Dalimi Abdullah. |
Sigi24.com---Dunia terasa gelap. Setidaknya kondisi ini yang dirasakan Dalimi Abdullah setelah ayahnya meninggal dunia. Begitu juga uwainya. Pun kakak dan adiknya, sama merasakan hal demikian.
Biasanya, malam sebelum tidur atau sehabis Shalat Isya biasanya ayah mencerami seisi rumah. Memberikan nasehat, bercerita soal hidup akan mati, dan banyak pelajaran yang terasa ketika ayah masih hidup.
Kini cerita tidak ada lagi. Orang kampung yang banyak datang melayat, menghibur keluarga ini, satu persatu pulang. Jenazah ayah sudah dalam kuburan. Kesepian dan sisa tangisan kembali mewarnai rumah itu.
Uwainya pun menumpahkan semua kegamangan akan nasib Dalimi Abdullah beradik kakak. Dalimi Abdullah yang badan kecil, rasanya tak akan mungkin bisa meneruskan penggarapan sawah yang pernah dibuat oleh ayahnya dulu.
Lama sekali uwai ini diselimuti kesedihan ditinggal suami. Sedih yang disertai dengan tangisan seolah tak mau berhenti. Begitu benarlah hancurnya hati seorang ibu ketika ditinggal suaminya.
Dalimi Abdullah, di usianya yang 13 tahun itu ikut terbuai oleh kesedihan yang amat luar biasa. Hidup dekat ayah, berbagi kisah menjelang tidur, dibawa kian kemari, terasa sekali betapa sayangnya seorang ke anak yang satu-satunya laki-laki.
Pasca itu, kadang Dalimi Abdullah berpikir dan sempat larut, ingin menggali kembali kuburan ayahnya. Namun, nilai-nilai agama yang sudah terpahat sejak kecil, membuat dia cepat surut, dan mengalihkan lamunannya itu.
Dia bangkit, dan mengingat firman Allah SWT dalam Quran. Bahwa, setiap yang bernyawa pasti akan merasakan yang namanya kematian.
Kita semua datang dari Allah dan kembali kepadaNya. Hanya waktu dan tempat yang tidak bisa kita ketahui. Betapa hebatnya seseorang, tinggi pangkatnya, banyak anaknya, kian kemari terbang sebentar saja, tetap akan mati.
Marjida, kakak Dalimi Abdullah bersama suaminya, M. Dinar Sutan Basri tentu jadi pengharapan dalam situasi demikian. Marjida yang mampu menenangkan uwainya agar tidak lagi larut dalam kesedihan.
Selanjutnya, Dalimi Abdullah diangkut merantau oleh kakaknya Marjida bersama kakak iparnya, M. Dinar Sutan Basri. Ya merantau adalah kelaziman bagi urang awak, karena sumber ekonomi di kampung susah.
Merantau di Minangkabau, ibaratnya benih harus diasak dari persemaiannya. Tak ada padi yang besar di persemaian, kecuali dialihkan ke tempat lain.
M. Dinar Sutan Basri dalam kesehariannya adalah tukang jahit. Tukang jahit di zaman itu termasuk profesi hebat dan terhormat. Karena tukang jahit itulah para pejabat bisa tampil gagah dan necis.
Tukang jahit lebih terhormat dari tukang cangkul di sawah, zaman itu. Dia menjahit di Salibawan, sekitar 15 kilometer dari Lubuk Sikaping, ibu Kabupaten Pasaman. Di samping tukang jahit, M. Dinar Sutan Basri ini ingin pula membuka sekolah agama atau Mualimin di Pasaman itu.
Dan sebelum berangkat, M. Dinar Sutan Basri berjanji ke uwai untuk menyekolahkan Dalimi Abdullah di sana, sesuai pesan ayahnya.
M. Dinar Sutan Basri yang tamat sekolah agama, rajin beribadah, kuat pondasi agamanya, menjadikan uwai merelakan Dalimi Abdullah ikut bersama ke Pasaman.
Dari Balai Belo ke Pasaman cukup jauh. Bahkan terasa jauh, di zaman kendaraan belum seramai sekarang. Jauh bagi Dalimi Abdullah, karena itu pula pertama kalinya ia menempuh kabupaten yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara tersebut.
Tak langsung ke Pasaman. Dari Balai Belo harus ke Bukittinggi dulu. Dan dari Bukittinggi naik mobil lain yang tujuannya ke Pasaman.
Di Pasaman, Dalimi Abdullah dimasukan ke sekolah Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP) Negeri Salibawan olehnya udanya, M. Dinar Sutan Basri.
Pesan udanya satu, rajin-rajin belajar. Jangan malas. Dalam perasaan yang belum stabil, tangisan uwai masih terngiang dalam hati, kesedihan uwai dan adiknya yang tinggal berdua di kampung, Dalimi Abdullah pun masuk ke sekolah itu.
Udanya pun berpesan ke Dalimi Abdullah untuk tidak minta pulang kampung. Harus sekolah sampai selesai. Pahit manis sekolah di rantau orang harus dinikmati.