Dalimi Abdullah. |
Sigi24.com--Tamat di SR tahun 1957, Dalimi Abdullah melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Guru Bantu (SGB). Sekolah ini di Maninjau, tepatnya di Bayur. Dalimi Abdullah menamatkan SR dengan prestasi yang cukup gemilang.
Ayah dan uwainya senang, dan sangat senang sekali ketika ijazah SR itu dikantongi Dalimi Abdullah lewat prestasi. Pesan ayahnya, setelah tamat SR dan Ibtidaiyah Balai Belo, Dalimi Abdullah dianjurkan sekolah ke Canduang atau ke Padang Panjang.
Tentu keinginan ayah Dalimi Abdullah itu tidak sembarangan. Canduang terkenal dengan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI), diasuh Syekh Sulaiman Arrasuli, yang sangat mashur di zaman itu.
Begitu banyak lulusan Canduang ini yang jadi orang hebat dan ulama mumpuni di tengah masyarakat. Di Maninjau sendiri cukup ada contoh orang hebat yang pulang belajar agama dari Canduang ini.
Oleh Abdullah, Dalimi Abdullah disuruh melihat anak yang baru pulang dari Canduang itu. Dia berkhutbah saat hari raya, dan itu jadi takjub orang kampung.
"Kamu harus mengaji ke sana, supaya bisa pula jadi ulama dan pendakwah. Kamu harus mampu seperti anak-anak itu. Ayah dan uwai akan senang melihat hal itu," ujar Abdullah menjelaskan ke anak bujangnya, Dalimi Abdullah.
Dalimi Abdullah tak menjawab dan membantah apa yang sudah disampaikan ayahnya itu. Melakukan dia pikirkan matang-matang, dan tak lupa berdoa setiap malamnya, agar bisa jadi khatib nantinya.
Doa seperti itu acap dan sering dilakukan Dalimi Abdullah, saat dia akan menamatkan sekolahnya. Dalimi Abdullah memang sejak kecil dididik dengan rajin beragama, kuat beribadah.
Dididik pula untuk bisa membantu orangtuanya turun ke sawah. Meskipun tak banyak kerja di sawah itu, yang jelas ajakan orangtua dituruti.
Masa-masa itu, hampir tiap selesai shalat, Dalimi Abdullah selalu berdoa agar cita-cita orangtuanya terhadap dia, dan juga menjadi cita-citanya, dikabulkan oleh Allah SWT.
Tak ada doa yang lain, selain dari cita-cita jadi khatib, bicara soal agama di tengah banyaknya pasangan mata melihatnya tampil dengan gagahnya.
Tampil pakai jas, berpeci nasional, lengkap dengan sarung dan kain serban. Wah, langsung terbayang oleh Dalimi Abdullah, betapa senang dan bahagia ayah, uwai dan kakak adiknya melihat hal demikian.
Namun, dalam lamunan dan pikiran indah itu, Dalimi Abdullah sempat bertanya. Bertanya ke ayahnya. Seandainya jadi belajar ke Canduang dan Padang Panjang, dengan apa pula biayanya.
Melihat kondisi ekonomi orangtua yang hanya petani kampung, sibuk dengan sosial kemasyarakatan dan keagamaan, sekaitan ayahnya seorang pangulu pucuak dan ulama, rasanya tidak bisa membiayai sekolahnya di Canduang dan Padang Panjang.
Namun, ayahnya tak pernah mengatakan tidak. "Soal biaya jangan cemaskan. Terjual pun sawah ini untuk membiayai sekolah itu, kita lakukan," ujar ayahnya memberi semangat Dalimi Abdullah untuk mencari ilmu pengetahuan agama.
Tidak ada artinya sawah yang luas, kekayaan yang berlimpah, kalau yang menikmatinya parewa, jauh dari ridho Allah SWT. Makanya, kekayaan akan jadi berkah bila digunakan untuk kepentingan agama, kepentingan akhirat.
Akan lebih baik harta tergadai demi untuk kepentingan agama, ketimbang tergadai untuk perbuatan terlarang. Misalnya untuk berjudi, minum haram, dan perbuatan terlarang lainnya.
Ayah pergi, tangisan pun tumpah
Abdullah Datuak Majo wafat tahun 1959. Baru mulai melangkah Dalimi Abdullah, melanjutkan sekolah tamat SR ke SGB Bayur, kabar duka itu datang.
Ayahnya yang sempat sakit, dilaporkan meninggal dunia. Dalimi Abdullah masih berusia 13 tahun, saat ayahnya pergi meninggalkan semua orang dalam kampung.
Isak tangis membanjiri kediaman orangtuanya itu. Hampir semua orang kampung yang melayat, pada menangis. Dalimi dan kakak serta adiknya, jangan disebut. Terasa sekali bagaikan perahu patah kemudi.
Di sini, tentu tak terlepas dari pengaruh almarhum ketika hidup dulunya. Hidup yang memberi manfaat buat banyak orang dalam kampung. Orang hebat, tokoh besar, pangulu pucuak, ulama kampung, adalah deretan sosial keagamaan yang disandang oleh Abdullah dulunya.
Tiap orang melayat menyingkapkan wajahnya yang tertutup kain, lalu sehabis itu pada menangis. Ya, menangis sedih. Sedih ditinggal pergi oleh suluah bendang di tengah masyarakat.
Kapai tampaik batanyo, kapulang tampaik babarito. Itu agaknya cerminan ayah Dalimi Abdullah ini ketika masih hidup dulunya. Sehingga di kala wafat, ditangisi oleh banyak orang.
Begitu pula uwainya. Tangis yang sempat diendapkan, akhirnya pecah ketika penyelenggara jenazah mulai mencabik kain kapan. Bunyi derikan kain kafan itu, membuat tangisan yang tersimpan rapi, akhirnya tumpah.
Tumpah, sampil memeluk anak bujangnya, Dalimi Abdullah satu-satunya yang sedang menuntut ilmu. Ya, masih usia sekolah yang sangat membutuhkan kasih sayang seorang ayah.