Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Kisah Dalimi Abdullah 2

Dalimi Abdullah. 

Sigi24.com---Cita-cita dan keinginan seperti yang juga diinginkan orangtuanya itu, oleh Dalimi Abdullah dibuhul erat-erat. Erat sekali, terpahat dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Sendiri saja, dan tak ingin dia ceritakan ke orang lain, ke kawan seperpainan, dan bahkan ke saudaranya sendiri tak diceritakannya. 

Termasuk juga ke ayah dan uwainya, Dalimi Abdullah pun tak berkisah soal cita-cita yang dianggapnya sangat tinggi dan mulia. Ada rasa malu kalau hal itu sempat diceritakannya. 

Maklum, Minangkabau terkenal juga dengan "cimeehnya". Takut Dalimi Abdullah, kalau nanti jadi olokan orang lain, atau kepada siapa yang dia ceritakan keinginannya itu. 

Dan selalu pula bayangan cita-cita itu melintas dalam angan-angan Dalimi Abdullah. Kadang timbul pertanyaan, apakah mungkin cita-cita itu bisa terwujud? 

"Apakah aku bisa jadi khatib Jumat atau khatib hari raya nantinya," kisah dia dalam suatu lamunan di tengah usia sekolah itu. 

Terasa sekali, betapa cita-cita mulia yang terpahat sejak kecil, menjadi sebuah kenyataan. Cita-cita tidak sekedar cita-cita yang terendap dalam angan-angan. 

Tetapi, mewujud dari keseharian Dalimi Abdullah yang rajin sekolah dan mengaji. Tak terpengaruh oleh perkawanan yang negatif di tengah masyarakat, membuat nilai-nilai mewarnai diri Dalimi Abdullah. 

Dari terpaan di usia sekolah, langsung dari orangtuanya dan guru di sekolah dan surau, membuat Dalimi Abdullah matang di usia lanjutnya. Berhasil melewati rintangan dan tantangan, melaju di tengah hantaman gelombang kehidupan. 

Di sini, terasa sekali betapa ajaran ayah Dalimi Abdullah menjadi pondasi dasar untuk melangkah ke muka. 

Ayahnya, Abdullah adalah orang terpandang dalam nagari. Seorang pangulu pucuak dalam kaum, pintar bertani dan berdagang, tokoh adat dan syarak dalam kampung. 

Soal pidato adat, berpetatah-petitih jangan disebut. Sudah makanan keseharian seorang Abdullah. Tak ada kusuik yang tidak selesai, tak da pula keruh yang tidak akan jernih. 

Niniak mamak, sebutan lainnya diwarisi oleh Abdullah, ayah Dalimi Abdullah ini. Warih bajawek, pusako batarimo. Itulah seorang pangulu. 

Bagi Dalimi Abdullah, ayahnya adalah orang hebat yang diketahuinya. Dan kehebatan ayahnya itu, justru sekampungnya orang tahu dan merasakannya. 

Piawai dalam soal berunding, tak semua pangulu begitu. Tapi Abdullah, luar biasa dirasakan Dalimi Abdullah.

Pernah suatu ketika dalam sebuah helat. Sembari hidangan makanan sudah terletak, dan sebelum santap tentu harus diawali dengan berbalas pantun. 

Ya, berjawab kata. Kata berjawab gayung harus disambut. Begitu antara tuan rumah yang dikenal silang sipangka dengan tamu undangan atau alek yang datang. 

"Berjam-jam saling bersahutan kata, bersilat lidah dengan tamu itu, akhirnya nasi yang tadinya hangat sudah dingin karena belum dimakan," cerita Dalimi Abdullah. 

Peristiwa itu sangat mengejutkan sekali seisi rumah gadang kala itu. Sampai darah menyebut dari mulut lawan bicaranya, saking hebat dan pandainya Abdullah ini dalam soal perundingan. 

Dan memang, di zaman itu seorang pangulu dituntut tidak sekedar pandai pidato adat. Dada juga terisi oleh ilmu pengetahuan. Pangulu kaya akan pengalaman dan ilmu bathin, sehingga kalau tidak berhati-hati menghadapinya, bisa fatal akibatnya. 

Hampir di seluruh seantero Tanjung Raya Maninjau, nama Abdullah tersohor. Tak ada orang yang tidak kenal dia. Terkenal hebat dan pandai karena proses dilalui sesuai alurnya. 

Alur itu adalah didikan rumah gadang dan surau. Dari rumah gadang kebesaran itu adanya, dan tambah dalam manakala pendidikan surau diikuti juga. 

Nah, alur seperti itu yang tertanam dari seorang anak-anak Dalimi Abdullah. Siang sekolah malam mengaji di surau. 

Di surau tidak hanya ilmu Quran yang dipelajari. Tetapi lebih dari itu, bersilat, berpidato adat, dan belajar bela diri pun diajarkan di surau. 



Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies