Minangkabau Dalam Batin Penyair (Antologi Puisi Satupena Sumbar). Editor: Sastri Bakry, Armaidi Tanjung. Padang Pariaman: Pustaka Artaz, 2022. Tebal: xx + 216 halaman.
Buku ini terbit dalam rangka pelaksanaan International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) yang diselenggarakan oleh Satupena Sumbar, bekerja sama dengan Talenta Indonesia, pada 22-27 Februari 2023. Acara ini berpusat di Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Dalam Negeri Regional Bukittinggi di Baso, Kabupaten Agam.
Buku ini berisi 104 puisi yang ditulis oleh sembilan penulis, yang tergabung dalam Satupena Sumatra Barat. Mereka adalah: Abdullah Khusairi, Armaidi Tanjung, Gamawan Fauzi, Hasanuddin Datuk Tan Putih, Ramli Jafar, Saunir Saun, Sri Wirdani, Yurmanovita, dan Yurnaldi.
Latar belakang profesi mereka berbeda-beda. Ada yang dosen/akademisi, mantan birokrat/menteri/Gubernur Sumbar, guru, pensiunan, karyawan swasta, dan jurnalis.
Kalau kita melihat tema dari puisi-puisi itu, ternyata isinya beragam. Ada yang bertema personal religius, ada yang membahas tentang negeri Indonesia dan Minangkabau, malah ada puisi yang membahas IMLF dan Satupena.
Untuk ulasan buku ini, saya akan fokus ke puisi yang bertema keindonesiaan dan keminangan. Hal ini antara lain karena Dr. Gamawan Fauzi, dalam pengantar buku ini, menyinggung soal Minangkabau yang secara etnik juga mengalami perubahan. Yang dipersoalkan oleh Gamawan: Ke mana arah perubahan itu?
Apakah akan mencabut akar-akar budaya atau meninggalkan nilai-nilai yang (dulu) diyakini kebenarannya? Sehingga orang Minang kehilangan identitas masa lalunya dan menjadi “Minangkabau Baru” yang berbeda sama sekali?
Di sini Gamawan menegaskan, kebudayaan Minang adalah kebudayaan yang terbuka. Tak resisten dengan kemajuan dan pembaruan, namun toleransi juga tanpa batas.
Sejumlah penyair menyatakan kegalauannya lewat puisi di buku ini. Hal itu sangat tampak pada puisi karya Armaidi Tanjung yang berjudul “Minangkabau” (hlm. 6). “Rumah gadangku sudah bolong. Udara busuk merasuk ke dalam…” tulis Armaidi.
Sedangkan Hasanuddin Datuk Nan Patih dalam puisinya “Balada Negeri Pujangga” menulis: “Namun, fakta negeri pujangga ketinggalan kereta tak bisa diingkari. Mengapa tidak, itu dua tiga dasawarsa atau segenerasi…”
Sebagai buku kumpulan puisi, buku ini tentu tidak berpretensi untuk mengulas secara utuh atau menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial tentang ke mana adat dan budaya Minang itu akan menuju.
Nakun setidaknya, buku ini bisa menggugah pemikiran tentang dinamika apa dan bagaimana yang sedang terjadi di negeri Minangkabau. Tugas para cendekiawan di Sumatra Barat untuk mendalami lebih lanjut dan menjawabnya.***
*Sekjen SATUPENA Pusat, mantan wartawan Harian Kompas dan Trans TV, doktor Filsafat lulusan FIB Universitas Indonesia._
Kontak/Email: 081286299061/ _sawitriarismunandar@gmail.com_