Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Catatan Singkat atas Buku Minangkabau dalam Batin Penyair Oleh : Syaifullah

IMLF.

Sigi24.com---Pada dasarnya, menulis puisi adalah mengekspresikan pengalaman batin dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikannya itu bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, atau hubungan manusia dengan alam. 

Menulis puisi merupakan sebuah kegiatan ruhani, yang mengekspresikan hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik (Maulana, 2012).

Untuk dapat mengekspresikan pengalaman tersebut, lebih lanjut Maulana mengungkapkan bahwa penulis harus mampu mengkreasi bahasa ungkap melalui kosa kata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula. Selain itu, menulis puisi tidak bisa dengan menuliskan sesuatu yang tidak kita alami secara fisik maupun metafisik. 

Jika hal itu dipaksakan, maka hasilnya adalah sebuah puisi hampa makna dan bahkan hampa rasa karena tidak mengandung penghayatan atas obyek yang ditulis. Secara sederhana, menulis puisi merupakan pekerjaan mengonkretkan sesuatu yang abstrak dengan menggunakan sarana bahasa.

Sebagai sarana pengungkapan pengalaman batin, puisi dapat dijadikan penulis untuk menyampaikan respons atas peristiwa yang tertangkap alat indranya yang menimbulkan persepsi tertentu di pikirannya. Penulis memiliki sensitivitas untuk merasakan emosi di lingkungan keberadaannya sehingga memberi warna rupa puisi yang dikarangnya. 

Selamat dan apresiasi yang sebesar-besarnya atas terbitnya buku Minangkabau dalam Batin Penyair yang merupakan buku antologi karya para penulis dari komunitas Satupena Sumbar yang dipimpin oleh Ibu Sastry Bakri. 

Apresiasi juga atas terselenggaranya event International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) tahun 2023 yang digelar tanggal 22 s.d. 27 Februari 2023 di beberapa lokasi di Sumatera Barat yang menurut informasinya dihadiri tidak hanya oleh penulis dari dalam negeri namun juga dari mancanegara. Kegiatan yang patut didukung bersama.

Sumatera Barat telah lama dikenal sebagai ranah sastra, tidak saja karena dari negeri ini berasal sejumlah nama besar di jagat sastra seperti Marah Rusli, Chairil Anwar, Asrul Sani, AA Navis, Buya Hamka, dan lain-lain, namun juga karena kata-kata metafora telah menjadi bahasa komunikasi sehari-hari di masyarakat dengan dikenalnya kato nan ampek, petatah-petitih, kias-umpama, dan retorika yang menunjukkan kecanggihan daya sastra masyarakat Sumatera Barat, khususnya orang Minangkabau. 

Buku puisi ini memuat puisi-puisi dari Abdullah Khusairi, Armaidi Tanjung, Gamawan Fauzi, Hasanuddin Datuk Tan Patih, Ramli Jafar, Saunir Saun, Sri Wirdani, Yurmanovita, dan Yurnaldi. Nama-nama yang telah punya segudang presati di kancah kepenulisan yang dapat kita baca di biografi para penulis di bagian belakang buku.

Puisi-puisi di buku ini mencerminkan respons para penulis yang berasal dari berbagai latar terhadap fenomena social yang terjadi, khususnya ranah Minangkabau. Orang Minang sangat dinamis dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman. Hal tersebut menimbulkan terjadinya perubahan di dalam tatanan kehidupan. Namun, tentu saja ada konvensi adat yang terpatri kuat seperti ikatan buhul mati yang menjadi jadi diri orang Minang yang berpegang teguh pada falsafah Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. 

Seperti yang ditulis Bapak Gamawan Fauzi dalam puisi berjudul “Bagaimana Aku Tak Rindu?”: ‘Di rerimbunan pepohonan hutan Sumatera, pucuk-pucuk gonjong menjulang di langit. Tegak menusuk rembulan. Perkasanya engkau bertahta di ranah itu. …. Minangkabau, tanah berpagar adat yang bersandi syarak, menuntun anak keturunan bermulut manis, berkucindan murah.’

Akan tetapi ada ironi di balik megahnya adat tradisi tersebut. Benarkan ranah Minang dalam keadaan baik-baik saja? Armaidi Tanjung mempunyai pandangan yang penuh nada kecemasan dalam puisi berjudul “Minangkabau”. 

Penyair ini menulis: ‘Aku tersentak/ Sako dan pusako tergadai/ Diobral demi kepentingan sesaat dan segelintir/ Kemarin dipuja, hari ini dihujat/ Mamakku lagi pusing/ Kaji tadorong ka rang batuah// …. Rumah gadangku sudalahh bolong/ Udara busuk merasuk ke dalam/ Anak kemanakan jua yang terkesima/ Minangkabau kian merana/ Tata krama budaya pun terkikis/ Entah di mana kata yang empat’. Kecemasan penyair Armaidi disebabkan dia melihat fenomena yang terjadi di masyarakat ‘Angka perceraian terus meningkat/ Korban narkoba terus bertambah/ LGBT tak mau kalah/ Bunuh membunuh makin biasa/ Perbuatan asusila saban hari menghiasi media’. Puisi ini secara lugas menggambarkan kerisauan penyair.

Kegelisahan penyair Armaidi terasa seirama dengan puisi berjudul “Kapalku Oleng” karya Saunir Saun. Sebagaiman Armaidi yang cenderung lugas dengan metafora yang mudah ditangkap maknanya oleh pembaca, Saunir menulis: ‘Kapal ini memang sudah lama/ Sudah banyak dari dahulu penumpangnya/ Sudah sering pula berganti nakhodanya/ Dan berlain-lain pula cara dan gaya bawanya// Kapal ini dirancang untuk satu tujuan/ Untuk mengantarkan penumpang ke tempat kesejahteraan/ Juga dengan membawa hasil tambang dan pertanian/ Semua untuk kesejahteraan dan kesentosaan// Entah karena kapalnya sudah tua/ Atau karena kurang cekatan nakhodanya/ Dalam pelayarannya kini sering kurang nyaman terasa/ Oleng terasa perjalanannya…’ Penyair Saunir menganalogikan bangsa Indonesia dengan kapal yang oleng dalam pelayaran. Penggantian pemimpin sama halnya dengan nakhoda yang menentukan bagaimana pelayaran kapal.

Sebagai karya seni, puisi mengandung estetika yang dibangun melalui konstruksi bahasa. Bahasa puisi cenderung unik karena mempertimbangkan aspek keindahan bunyi, seperti melalui kehadiran rima dan irama, permainan susunan bunyi asonansi dan aliterasi, repetisi kata dan suku kata, dan kemunculan kata-kata dengan bunyi bernuansa harmonis (efoni) ataupun sumbang (kakofoni). Selain itu keunikan bahasa puisi dalam bentuk metafora memungkinkan pembaca memiliki multiinterpretasi atas larik-larik puisi yang dibacanya. 

Daya imaji puisi akan memberi pengalaman fiktif kepada pembaca karena terangsangnya alat indra pembaca sehingga ia seolah-olah pengalami pengalaman batin tertentu dan mengimajinasikan realitayang tanpa batas. Keistimewaan puisi tersebut telah dikenal manusia sejak peradaban-peradaban kuno dengan eksisnya puisi-puisi epik, ode, dan balada di dalam berbagai khasanah budaya.

Sejak duduk di sekolah dasar, kita dikenalkan dengan puisi oleh guru-guru kita serta dipancing untuk menulis puisi meskipun kebanyak puisi yang lahir masih sangat verbal dan didaktis. Puisi sesungguhnya dapat dijadikan sarana penghiburan sekaligus media pembelajaran untuk menyampaikan nilai-nilai kearifan dan petuah hidup. 

Ada 104 judul puisi yang dapat kita nikmati dalam buku antologi ini. Semuanya mengajak kita untuk merenungi kembali bagaimana Minangkabau hari ini. Apakah kegelisahan para penyair hanyalah kecemasan berlebihan atau memang merupakan alarm pengingat agar kita lebih peduli untuk memperhatikan nasib ranah tercinta ini ke depannya. Selamat atas terbitnya buku ini dan sukses untuk International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) tahun 2023!

*Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies