Para santri yang sedang wisuda foto bersama. (ist) |
Saya sempat berintegrasi dengan dia. Tapi tak lama. Dia meninggal dunia tahun 1994, sebelum saya jadi "marapulai kaji".
Namun, kesan saya dengan mendiang Buya Iskandar TM ini cukup luar biasa. Pertama tiba di pesantren ini, saya diajak Amiruddin Tuanku Kuniang yang sedang jadi marapulai kaji kala itu, ke rumah dia di Balai Satu, Lubuk Pandan.
Ya, ketemu bersilaturahmi, karena saya santri baru di Lubuk Pandan. Kami bersepeda ke sana. Di Balai Satu, Buya Iskandar yang akrab disapa dengan panggilan "ungku" oleh santri ini, sedang bekerja membuat pagar rumahnya.
Kala itu, dia baru saja terpilih jadi anggota DPRD Padang Pariaman. Ya, hasil pemilu 1992, mengantarkan Buya Iskandar jadi wakil rakyat dari Golkar.
"Nku, ini orang kampung saya baru pindah dari Padang Magek. Dia sudah mendoa beberapa hari lalu," kata Amiruddin mengenalkan saya ke Buya Iskandar.
Sambil bersalaman, dan bicara sedikit sambil bekerja, Buya Iskandar ini pun menyebutkan kalau Bupati Padang Pariaman yang baru saja terpilih, akan datang ke Lubuk Pandan.
Kedatangan Bupati Nasrul Syahrun ini tentunya sudah janjian dengan Buya Iskandar, sekaitan dia sebagai anggota dewan yang ikut dalam barisan yang memenangkan bupati ini.
Kesan saya, saat pertemuan pertama ini, terlihat Buya Iskandar ini adalah sosok ulama yang gigih.
Dia tak betah berdiam diri. Pagi-pagi dia sudah tiba di pondok. Berbaju kebesaran haji, dia turun dari mobilnya, para santri yang jadi marapulai kaji tentu sedang di atas anjung.
Selesai mengaji pagi bersama Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah yang juga didampingi Buya Iskandar ini, biasanya untuk urusan debat dan "surah kaji" banyak ditangani Buya Iskandar.
Tapi, hari-hari dia sedang jadi anggota dewan itu, acap setelah mengaji satu tafsir, dia langsung minta izin ke Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah untuk meninggalkan majelis kaji, karena ada tugas di dewan mungkin.
Mungkin sebelum dia jadi anggota dewan, cerita dia memimpin pesantren ini lain pula taktik dan tekniknya. Ini tentunya banyak diketahui oleh santri yang lebih senior dari saya.
Dari pemandangan yang saya amati, karena di tahun pertama dan kedua di Lubuk Pandan, saya terlalu banyak menyimak para guru tuo, guru besar dan pimpinan.
Ya, hasil menyimak itulah saya lihat sosok Buya Iskandar ini, adalah seorang pekerja keras, punya kemampuan yang amat luar biasa.
Bisa memimpin pesantren yang aktif tiap hari di pondok, sekalian jadi anggota dewan. Tentu posisi demikian, tak jarang bisa dilakukan sembarang orang.
Sedang tak mengaji, semisal libur atau sedang tidak jam mengaji, Buya Iskandar ini bekerja, membuat ini dan itu dengan keterampilan tukang yang dia miliki.
Kalau tidak itu, dia juga sibuk dengan sebuah mesin tik di kantor pesantren, bersebelahan dengan ruangan utama Madrasatul 'Ulum ini.
Terpilih jadi Ketua PCNU
Tahun 1994, Nahdlatul Ulama (NU) Padang Pariaman menggelar Konferensi. Buya Iskandar tampak sibuk.
Sebagai anggota dewan dan pimpinan pesantren ini, sepertinya dia ingin ikut dan kompetisi Konferensi NU ini.
Tapi, kesibukannya kali tak dia sendiri. Dia angkut seorang guru tuo untuk urusan keluar masuk pondok, mengurus helat lima tahun sekali itu.
Afredison, seorang guru tuo di pondok ini saya lihat ikut menemani dia hampir saban hari saat helat akan dilasungkan itu.
Ya, mungkin untuk asisten atau untuk mendampingi dia dalam bermusyawarah dengan pengurus dan panitia konferensi NU di luar sana.
Kelak, pada pemilu 2019, Afredison ini jadi anggota dewan. Dia jadi anggota dewan dari Dapil IV Padang Pariaman dari PKB.
Setidaknya, pelajaran politik secara tak langsung yang diberikan Buya Iskandar, yang saat konferensi NU 1994 itu terpilih jadi ketua Tanfidziah, dan Afredison dikadernya, masuk dalam jajaran pengurus harian NU.
Konferensi yang berlangsung di Aula Saiyo Sakato ini digelar dua hari. Sayang, Ketua NU ini tak lama dipegang Buya Iskandar. Tak cukup satu periode. Tuhan berkehendak lain, dan di penghujung tahun itu dia pergi untuk selamanya.
Dalam sebuah perjalanan kedewanan, dia dikabarkan meninggal dunia. Sebuah perjalanan panjang, berliku dan penuh tanjakan tentu sudah menjadi suka duka dia selama memimpin pesantren. (ad)