Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

NU Kultural di Tanah Batak Oleh : KH. Akhmad Khambali

Sigi24.com--Menuju satu abad Nahdlatul Ulama merupakan sebuah pencapaian luar biasa. Organisasi yang didirikan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia dikumandangkan masih tetap bertahan sampai sekarang. 

Bahkan telah melakukan sejumlah prestasi dan sejarah positif. Keberadaan NU diakui sebagai benteng keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan bahasa cukup sederhana, NU telah dapat melalui serangkaian fase nimesis, sebuah fase krusial bagi sebuah organisasi, dengan melalui fase tersebut organisasi ini telah lahir, tumbuh, berkembang, dan bertahan sampai era revolusi industri 4.0 di samping organisasi lainnya.

Saya akui, terlalu luas hal yang harus dielaborasi jika melihat judul di atas. Untuk menarik sebuah kesimpulan terhadap judul besar tersebut memerlukan penelitian lebih serius bukan sekadar racikan kata-kata. Paling tidak, opini ini dapat dijadikan pijakan awal, apa yang seharusnya dilakukan oleh Nahdlatul Ulama agar kelompok akar rumput (NU kultural) mengakui bahwa keberadaannya tetap sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama. Bukan hanya di Tanah Batak, juga di setiap daerah di negara ini.

Tidak dapat dipungkiri, pergerakan sebuah organisasi selalu bersinggungan dengan keberadaan organisasi lainnya. Bahkan dapat saja bersinggungan dengan kekuasaan. Bukan hanya pertarungan dalam hal ideologi, juga akan selalu menghadapi pertarungan di ranah sosial kultural. Tata cara di dalam peribadatan pun dapat menjadi pemantik persinggungan antar organisasi.

Munculnya wacana Nahdlatul Ulama struktural dan Nahdlatul Ulama kultural sebetulnya bukan hal mendasar dalam sebuah organisasi. Namun melalui pewacanaan ini secara eksplisit tersampaikan pesan bahwa siapa pun yang mengerjakan amalan-amalan yang biasa dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (misalnya sholawatan, tahlilan, selametan, kendurian, dan lain sebagainya, mereka masih merupakan orang-orang NU secara kultur, hanya secara struktural tidak masuk ke dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama.

Pada tahun 1997, saat penulis masih duduk di bangku kuliah, persinggungan pemikiran terutama amaliah termanifestasi saat seorang dosen mengatakan muludan, rajaban, bedug, tasbeh, tahlilan, dan amaliah yang biasa dilakukan oleh Nahdlatul Ulama merupakan bentuk bid’ah, pengamalannya tidak didasari oleh dalil atau nash. 

Beberapa teman mahasiswa, karena sebagian besar memiliki latar belakang pesantren, saat pulang kuliah sontak berkata kepada saya: “Biarpun dosen itu mengatakan demikian, kita mah tetap mengamalkannya (amaliah yang disebut bid’ah), kita tetep NU”. 

Kisah tersebut merupakan bagian kecil dari persinggungan yang sengaja dilakukan oleh organisasi lain, hanya karena berbeda pandangan terhadap tradisi dan kultur yang telah lama berkembang di masyarakat, melakukan serangan kepada masyarakat (NU kultural). 

Tidak sedikit, masyarakat yang mudah dipengaruhi hanya karena –seolah-olah para propagandis tersebut- lebih memiliki kapasitas memaparkan persoalan keagamaan karena setiap hal selalu disisipi oleh dalil dari dua sumber hukum primer (Al-Qur’an dan hadits). 

Masyarakat kultural tentu saja tidak akan dapat melawan hujjah mereka dengan argumentasi lain saat dua sumber primer dalam Islam dijadikan alasan mengerjakan amaliah tertentu. Di kelompok Nahdlatul Ulama kultural inilah sikap skeptik mudah lahir.

Sementara itu, di masyarakat urban, persinggungan pemikiran yang lebih serius telah dimulai dua dekade lalu. Meskipun kalangan muda Nahdlatul Ulama memiliki alasan mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial dalam memberikan penafsiran –secara progressif- terhadap nash, kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok lain sebagai sebuah aliran baru dan cenderung menyesatkan. 

Liberalisme dalam tubuh Nahdlatul Ulama diwacanakan dan dibahasakan kembali kepada masyarakat tradisional pengamal kultur ke-NU-an. Pandangan kalangan muda Nahdlatul Ulama telah direfleksi oleh kelompok lain bahwa Nahdlatul Ulama  saat ini telah diracuni oleh virus sepilis. 

Pewacanaan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme dapat dikatakan sedikit ampuh untuk menghantam pola pikir masyarakat kultural yang masih tabu dengan terma-terma berbau Barat.

Selama dua dekade tersebut merupakan fase penguatan di tubuh NU. Bahkan dapat disebut sebuah fase test-case seberapa kuat hantaman itu dapat meluluh-lantakkan benteng kultural di masyarakat. 

Kekhawatiran yang mucul telah terselesaikan, meskipun isu sepilis tetap digemakan, tetapi isu ini toch tidak menghantam secara masif benteng pertahanan kultural. Termasuk di Tanah Batak. 

Masyarakat yang telah mengamalkan amaliah-amaliah Aswaja meskipun dari berbagai organisasi sering berbisik bahwa dirinya masih sama dengan Nahdlatul Ulama. Tradisi keagamaan yang telah dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama  tetap dilakukan oleh mayoritas masyarakat Islam. 

Masyarakat Batak dalam Bingkai Nahdlatul Ulama

Sebagai orang Jawa dan tinggal di Sumatera Utara, saya harus berpikir keras dan visioner, dan ini dirasakan oleh orang Jawa  lainnya dengan populasi orang Jawa di Sumut sebanyak 48.7%. 

Ketika Struktural NU di Sumut belum bisa mengayomi warga Jawa, maka NU kultural memberi pendampingan melalui berbagai macam majlis, diantaranya adalah Majlis Sholawat Ahlul Kirom.  

Provinsi Sumut ini disimpulkan sebagai provinsi paling toleran. Namun program NU struktural di Provinsi Sumut ini belum menyentuh aspek amaliah dan pemberdayaan ekonomi Jam'iyyah Annahdliyyah. 

Karena saat ini di Sumut tumbuh bibit-bibit radikalisme. Sebutan dan simpulan seperti ini justru akan menjadi pemantik bagi sebagian masyarakat Batak melakukan perlawanan opini kepada pemerintah. Nahdlatul Ulama, khususnya di Sumut sebagai organisasi besar dituntut untuk menyelesaikan penggiringan opini ini dengan alasan mayoritas masyarakat Batak sampai saat ini tetap melaksanakan amaliah yang sama dilakukan oleh Nahdlatul Ulama.

Dengan terpilihnya Ketua PWNU Sumatera Utara yang baru, seyogyanya komunitas dan suku lain bisa dirangkul untuk memberdayakan potensi yang berserakan dan bisa disatukan menjadi sebuah kekuatan besar guna menghadapi tantangan dan tuntunan zaman yang semakin mengglobal. 

Namun, jika masih berkutat sektarian, maka kekuatan yang berserakan tersebut akan selalu memperkuat di jaringan kultural dengan kekuatan yang jauh lebih besar dibanding struktural.

*Pengasuh Majlis Sholawat Ahlul Kirom/Ketua Umum Gema Santri Nusa

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies