Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Mengenang Gempa Besar 2009

Salah satu rumah masyarakat Padang Pariaman yang rata dengan tanah saat gempa 2009. (ist)
Padang Pariaman, Sigi24.com--Rabu 30 September 2009, petang gempa dahsyat itu mengguncang. Tanah Minang bergoyang hebat. Kota Padang lumpuh seketika, pekikan dan tangisan terdengar sayup sampai di kaki Gunuang Tigo.

Tiga kampung saat bersamaan dengan gempa senja itu juga terjadi longsor. Ratusan anak manusia ditimbun tanah. Dan di sana pula tugu peringatan gempa dibuat.

Cumanak nama kampung kecilnya, berada di Nagari Tandikek, Kabupaten Padang Pariaman. Setelah Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman adalah daerah yang paling parah akibat gempa 13 tahun tersebut.

Ribuan rumah rata dengan tanah. Dan beberapa tahun setelah kejadian, masyarakat pun bangkit. Rumah permanen pakai anti gempa pun tegak dengan kokohnya.

Dunia hadir dan datang ke daerah ini. Ya, dalam bentuk prihatin dan misi kemanusiaan. Apalagi anak rantau. Daerah ini terkenal dengan banyak perantau.

Karatau madang di hulu, berbuah berbunga belum. Kerantau bujang dahulu, di kampung berguna belum.

Itu falsafah Minang, yang menjadi pemicu sejak dulunya, tak ada orang Minang yang sukses di kampung.

Berbagai tafsiran mencuat ke publik terkait gempa yang sama tanggalnya dengan G30S. Sebab, sejarah kelam tahun 1965 itu sering dikaitkan dengan musibah gempa dahsyat yang terjadi Rabu 30 September 2009.

Ditambah, kampung yang paling parah dan memakan banyak korban akibat gempa itu adalah VII Koto lama, yang menurut cerita banyak orang di wilayah ini dulunya tergambar menjadi sarangnya G30S.

Tidak hanya rumah dan perkantoran yang rusak dan punah, sejumlah masjid dan surau pun ikut rata dengan tanah. Pun tafsiran keagamaan menjadi bahan diskusi di kemudian hari.

Terkenal dengan istilah adat menurun syarak mendaki, menjadi kajian yang kadang ditafsirkan secara salah oleh publik.

Adat menurun dari darek ke rantau Piaman, sementara syarak atau agama mendaki dari Piaman ke darek. Itulah islamisasi dari pergerakan Syekh Burhanuddin dulunya.

Apakah masjid dan surau kian lengang? Kenapa Padang Pariaman begitu hancur oleh gempa? Padahal pusatnya agama di tanah Minang? Serta pertanyaan lain yang menyeruak, hingga tak berkesudahan.

Tentu kajian ahli gempa juga menjadi penyeimbang, sehingga gempa besar Sumbar itu perlu jadi pelajaran yang amat berharga.

Daerah ini memang etalasenya bencana. Gempa sering menggoyang. Ingat, 1926 terkenal dengan gempa Padang Panjang. Berhari-hari tanah ini bergoyang.

Mentawai, kepulauan di Sumbar tak henti dihantui gempa. Stunami yang terjadi setelah gempa 30 September, menjadi kabar yang memicu soal isyu akan tenggelamnya daerah itu.

Sebagai umat beragama, kita harus menjadikan demikian itu sebagai ujian hidup. Hidup adalah ujian, termasuk gempa besar adalah cara Tuhan menguji hambanya.

Semakin kuat iman dan keyakinan kita kepada Tuhan, maka semakin kuat pula ujian dan cobaan yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa terhadap umat manusia. (ad)



Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies