Sejak siang di hari melihat hilal jelang puasa dan jelang lebaran, sabut kelapa itu sudah teronggok di halaman kedai Buyung Katan.
Sabut kelapa dikumpulkan dan diangkut oleh anak-anak dan pemuda dari rumahnya masing-masing, dan sebagian yang sudah terkumpul di belakang kedai tempat penyimpanan meriam yang akan dibunyikan, sebagai pemberitahuan awal puasa dan hari raya Idul Fitri.
Majelelo, gelar orang penanggungjawab meriam tersebut. Kini, Majolelo dijabat Herman Bakri. Ini gelar turun temurun dari mamak ke kemenakan sejak dulunya.
Majelelo duduk santai selepas Magrib, dan tentunya menunggu kabar dari Masjid Raya VII Koto Sungai Sariak di Ampalu, soal tampak atau tidaknya hilal tahun ini.
Masjid Raya VII Koto Sungai Sariak yang terletak di Ampalu merupakan pusat syarak atau agama di wilayah yang kini sudah jadi tiga kecamatan tersebut.
Bulan tampak, Tuanku Kadhi memerintahkan membunyikan beduk. Di kampung itu dinamakan dengan "tambuah".
Beduk itu dulunya, terdengar jauh. Sampai ke Tandikek, wilayah VII Koto yang berbatasan dengan Kabupaten Agam.
Usai beduk berbunyi, Majelelo dengan anak nagari Ambung Kapur bersiap mengelupaskan sabut kelapa yang sudah dikumpulkan.
Bersama-sama mengelupaskan sabut kelapa, yang bagian dalam kulitnya itu untuk diisikan ke meriam peninggalan Belanda, yang tentunya siap untuk didentumkan, setelah terisi mesiu.
Dulu, zaman telp dan HP belum ada, listrik belum masuk di kampung itu, meriam bisa berbunyi pukul 03.00 wib pagi, sebelum waktu imsak.
Meriam dilepas dua kali dengan rentang waktu sekitar setengah jam. Bunyi pertama di hadapkan ke utara, dan bunyi kedua ke selatan.
Seantero VII Koto, bahkan ke Malalak, Kabupaten Agam sana masih terdengar jelas, dan kuat.
Dulu itu, di tengah keterbatasan sarana komunikasi, bunyi dentuman meriam Ampang Tarok ini sangat dinanti dan ditunggu oleh masyarakat.
Bagi orang siak, semisal labai dan tuanku kampung, selalu menunggu bunyi meriam ini di suraunya masing-masing. Sebab, awal puasa harus dimulai dengan pelaksanaan Shalat Tarwih.
Kadang, sebagian labai juga ikut nimbrung dengan Majolelo sambil menunggu kabar dari Ampalu, tentang kepastian hilal tampak atau tidaknya.
Datang utusan Ampalu, para labai ini bergegas ke suraunya. Tak mesti lagi dia tunggu bunyi meriam. Sebab, sudah pasti akan berbunyi.
Tiba di suraunya, dia bunyikan beduk. Para orang tua-tua yang tengah mengantuk segera terbangun, dan pergi ke sungai, berwuduk tentunya.
"Bulan sudah tampak, kita Tarwih lagi," kata labai ini mengabarkan ke masyarakatnya setiba di surau.
"Dima tampaknyo, labai," jawab yang lain untuk ingin kepastian hilal tampak tersebut.
Jadi, peran Majelelo adalah di halaman adat dan di tepian syarak. Sebagai wilayah dan Ulayat pakai rajo, Majelelo adalah wakil dan perpanjangan tangan rajo.
Di bidang syarak, Majelelo adalah suruhan Tuanku Kadhi dalam soal penyebarluasan hilal tampak, dengan dentuman keras meriam.
Ramadhan tahun ini, sudah diputuskan, di wilayah itu hari melihat bulannya jatuh pada Minggu, sama dengan keputusan Syathariyah Padang Pariaman.
Meskipun informasi sangat cepat datang saat ini, meriam Ampang Tarok tetap dilepas dan dibunyikan setelah beduk Ampalu.
2. Meski Berbeda Mulai Puasa, Kita Tetap "Badunsanak"
Perbedaan dalam memulai puasa, hampir berlaku setiap bulan Ramadhan di Kabupaten Padang Pariaman. Perbedaan itu berlaku seperti mutlak adanya.
Ramadhan tahun ini, perbedaan satu Ramadhan kembali terulang, dan bahkan perbedaannya sampai berselisih dua hari.
Ada tiga angkatan atau kelompok masyarakat di rantau Piaman ini yang berbeda tanggal satu Ramadhan-nya.
Kelompok pertama yang mulai puasa hari Sabtu, (2/4/2022) dengan Tarwih perdananya Jumat malam. Kelompok ini hampir di setiap kampung ada, dan masjidnya juga ramai.
Mungkin kelompok ini yang disebut dengan berpedoman kepada keputusan Tarjih Muhammadiyah. Bahkan, Muhammadiyah jauh hari telah menetapkan tanggal itu sebagai awal Ramadan 1443 H.
Ketetapan Muhammadiyah ini berdasarkan hisab atau perhitungan, yang telah menjadi rujukan dalam organisasi Islam yang lahir 1912 ini.
Kelompok yang kedua, adalah masyarakat yang menjatuhkan pilihan ibadahnya pada keputusan pemerintah, yang diputuskan dalam Sidang Isbat, bahwa satu Ramadhan jatuh pada Ahad.
Menurut pemerintah, penetapan satu Ramadhan hari Ahad itu adalah, perpaduan lewat hisap dan rukyatul hilal.
Kelompok yang mempedomani, baru Sabtu malam memulai Shalat Tarwih di masjid dan surau.
Kelompok yang terakhir, adalah masyarakat yang menamakan dirinya kaum Syathariyah. Mereka telah menetapkan hari Ahad untuk melihat bulan.
Dalam bahasa kampung itu, Minggu itu disebut dengan "patang maniliak". Jika bulan tampak, Senin puasa pertama atau tanggal satu Ramadhan-nya.
Seandainya tak tampak bulan, mau tak mau puasa pertamanya jatuh pada Selasa. Dus, kalau dapat jangan sampai tak tampak bulan.
Akan lain ceritanya nanti di tengah masyarakat daerah ini. Namun demikian, semua perbedaan itu adalah cara pandang dan keilmuan masing-masing.
Perbedaan itu, sepertinya lumrah di kalangan masyarakat Piaman, dan tak pernah dijadikan bahan perselisihan antar masyarakat.
Kasman Katib Sulaiman, salah seorang tokoh masyarakat yang beraktivitas di lingkungan panti asuhan milik Muhammadiyah menceritakan kalau dia sudah dari kecil hidup dalam perbedaan ibadah puasa tersebut.
"Dari kecil kami dalam keluarga sudah biasa berbeda. Kami ikut ayah yang Muhammadiyah, kecuali nenek karena beliau setiap bulan puasa ikut jamaah sembahyang 40 di kampung kami," tulis Kasman di akun pribadinya.
Menurut dia, sembahyang 40 adalah sholat berjamaah yang dilakukan oleh suatu surau dengan imamnya yang sudah ditentukan.
Biasanya imam itu adalah tuanku atau labai yang terpercaya di kampung itu. Selama 40 hari tidak boleh terputus shalat lima waktu secara berjamaah.
Jamaah ini dimulai 10 hari sebelum bulan puasa dan berakhir saat hari raya. Di situlah nenek Kasman sholat berjamaah sekalian tidur, makan sahur dan berbuka bersama anggota jamaah lainnya.
Dengan bawa bekal untuk berbuka dan sahur dari rumah tentunya. "Kami puasa mengikuti pedoman dari Muhammadiyah sedang nenek mengikuti putusan dari tuanku," tulisnya lagi.
Puasa dimulai ketika sudah ada berita dari tuanku di Ulakan bahwasanya dari hasil "maniliak" bulan sudah terlihat dan sah untuk memulai ibadah puasa.
"Maniliak" adalah suatu istilah lain dari Rukyatul Hilal di kalangan jamaah yang keberadaan mereka itu adalah mayoritas di kampung.
"Ya, kami mulai puasa dan kadang lebaran juga pada hari yang berbeda. Tak pernah ada masalah. Bahkan bagi kami anak-anak yang dalam soal sholat Tarawih juga berbeda rakaat tidak pernah ada masalah," ulas dia.
Yang namanya anak-anak tentu yang mana senangnya saja. Kalau mulai puasa ikut jamaah yang mayoritas. Kalau Tarawih ikut masjid Muhammadiyah aja.
Karena cuma 11 rakaat dan ada pula ceramah Ramadhan yang oleh guru di sekolah wajib dibuat dalam buku agenda Ramadhan.
Apalagi kami sholat di masjid Muhammadiyah yang jauh dari rumah, maka tiap malam kalau mau sholat pasti lewat depan surau yang sholat Tarawih-nya 23 rakaat.
"Tidak pernah kami dengar selama ini cekcok atau musuhan antara warga yang ikut Muhammadiyah dengan yang ikut jamaah mayoritas di kampung," tulis dia lagi.
Karena perbedaan hanya soal tata cara beribadah, bukan perbedaan soal aqidah.
"Kami tetap badunsanak walaupun berbeda paham keagamaan," ujarnya dalam tulisan itu.
Tentu apa yang dialami Kasman, pun dialami banyak orang lain dalam satu keluarga, ketika memulai puasa dan pelaksanaan ibadah Ramadhan.
Sepertinya, rang Piaman, termasuk juga kampungnya Kasman di Kayu Tanam yang terkenal dengan "ikue darek Kapalo rantau" perbedaan ini semacam sarana untuk pendewasaan umat muslim.
Di sebagian masyarakat, bulan puasa ini juga melazimkan pelaksanaan sembahyang 40 itu.
Peserta sembahyang 40 ini, umumnya para orang tua yang tidak lagi punya masalah dengan hidupnya. Dan umumnya juga orang tua yang sudah tak lagi bersuami.
Tidak ada lagi datang bulanannya yang akan jadi penghalang untuk shalat.
Sebenarnya, soal ibadah shalat berjamaah di masjid atau surau ini, lebih matang Muhammadiyah.
Di masjid milik ormas ini, shalat berjamaahnya tak pernah dihitung. Mau 40 atau lebih kayak di kampung.
Tidak sama sekali. Di masjid ini tiap waktu sepanjang zaman, shalatnya selalu berjamaah.
3. Tarawih Perdana, Jemaah Masjid Berkah Membludak
Shalat Tarawih perdana, Sabtu (2/4/2022) Masjid Berkah kebanjiran jemaah. Semua saf di dalam penuh, hingga melimpah di lantai dua masjid.
Masjid Berkah yang berdiri sejak beberapa tahun ini, memang jadi incaran banyak jemaah sekelilingnya.
Meskipun masjid ini terletak di Toboh Gadang Timur, masyarakat nagari lain, seperti Pauh Kambar, Sintuak, Lubuk Alung banyak yang shalat di masjid itu.
Pengurus masjid telah memutuskan, bahwa setiap puasa pihaknya mengikuti keputusan pemerintah. Makanya, Tarawih pertama dimulai Sabtu malam, lantaran satu Ramadhan jatuh hati Ahad.
Menurut ustad tetap di masjid itu, banyak macam cara dan metode yang dilakukan umat Islam untuk mengawali puasa Ramadhan.
Yang puasa Sabtu sudah ada, dan banyak orang tentunya. Ada pula kabar yang menyebutkan tentang adanya mulai puasa hari Jumat.
Konon, di daerah kita, bahkan termasuk yang dominan, Minggu baru melihat bulan. Artinya, kalau tidak ada aral melintang, Senin satu Ramadhan-nya.
Ustad lulusan Mesir ini menyebutkan, pentingnya mengikut pemerintah adalah atas dasar ulil amri mingkum.
Yakni, orang yang sedang memerintahi kalian. Meskipun perintahnya atau seruannya salah, pemerintah dapat satu pahala dari seruannya itu.
Tapi apabila seruannya benar, dua sekaligus pahala untuk pemerintah tersebut.
Jadi, kita ikut awal puasa atas keputusan pemerintah, jangan ragu dan khawatir. Kita termasuk kelompok mayoritas dan terbesar tentunya.
Namun, kita tetap menghargai dan menghormati orang yang telah duluan atau belakangan tanggal satu Ramadhan-nya dari kita.
Yang paling penting itu, adalah mensyukuri atas nikmat Allah SWT yang telah mempertemukan kita dengan bulan yang penuh berkah ini.
Banyak teman, tetangga, kawan, bahkan dunsanak kita yang meninggal duluan dari kita.
Mereka tak bersua dengan Ramadhan tahun ini. Sedangkan kita, Alhamdulillah masih sehat dan berjumpa dengan puasa.
Dalam pengajian singkat setelah Shalat Isya berjemaah, ustad ini menyampaikan pentingnya masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas puasanya dari tahun ke tahun.
Nabi Muhammad Saw, kata dia, hanya sembilan kali Ramadhan berpuasa, sejak pertama kali datang perintah puasa hingga dia wafat.
Kita, malah ada lebih dari itu. Bahkan sudah 50 kali Ramadhan bersua ya. Tentu amat patut untuk dievaluasi, sejaumana tingkatan puasa dan ibadah Ramadhan yang kita kerjakan.
Nabi Muhammad Saw menyebutkan dalam hadisnya, betapa banyak hambaku yang puasa, tapi tidak mendapatkan apa-apa selain haus dan lapar.
Artinya, kondisi ini tentu ada pada orang yang beramal tanpa ilmu pengetahuan. Tidak ada tempat sandarannya dalam berpuasa, sehingga tak menghasilkan amal ibadah bernilai pahala besar.
Ramadhan adalah bulan kita umat nabi. Seluruh anak ibadah berlipat ganda pahalanya. Bulan ini adalah bulan keberkahan yang amat luar biasa untuk umat muslim.
Jadi, penting sekali ilmu pengetahuan, sehingga amal ibadah kita tidak sia-sia di hadapan Yang Maha Kuasa.
Yang membuat Masjid Berkah ini jadi incaran jemaah tua, muda, tokoh masyarakat dan anak muda, adalah cara ibadahnya yang dinilai moderat.
Tarawih memang 11 rakaat plus witir di sini, namun pelaksanaannya setiap dua rakat dengan satu salam.
Bacaan imamnya yang hafiz Quran menjadikan daya tarik tersendiri oleh jemaah.
Satu-satunya masjid di Padang Pariaman yang Shalat Tarawih 11 rakat dengan dua-dua.
Banyak dan umum 11 rakat ini di banyak masjid, yaitu dengan empat, empat dan tiga.
Sementara, Shalat Jumat dilakukan dengan cara masjid kampung. Khatibnya pakai tongkat, dengan khutbah bahasa Arab.
Tapi, jelang Shalat Jumat ada ceramah dan pengajian umum setiap pekannya, dengan penceramah dari kalangan tuanku atau dari orang pesantren.
Setiap puasa, masjid ini juga menyediakan pebukaan bagi masyarakat dan musafir yang tengah dalam perjalanan.
Masjid ini terletak di pinggir jalan lintas Padang-Parianan.
4. Tadarus Alquran Ramadhan Apa Kabar
Budaya tadarusan di malam bulan Ramadhan dari tahun ke tahun kian hilang, dan nyaris tak ada lagi orang membaca kitab suci itu secara bergeliran sampai tamat, seiring berakhirnya puasa.
Dulu, ketika saya masih usia sekolah, tradisi tadarus Alquran ini marak dan ramai. Bahkan, dalam satu surau itu bisa tiga dan bahkan sampai empat kelompok masyarakat yang ikut tadarusan.
Pengalaman saya menjalankan Ramadhan tiap tahun dulunya, terasa sekali nikmatnya kebersamaan dari budaya tadarusan ini.
Adalah Surau Koto Runciang. Tempat saya mengaji waktu kecil. Ramadhan masuk, surau ini ramai tiap malamnya. Shalat Tarawih-nya agak tengah malam.
Suraunya di tepi Sungai Batang Ampalu. Sungai kecil, yang airnya untuk mandi, berwuduk, dan keperluan lainnya.
Masuk Nagari Lurah Ampalu, seorang tuanku panutannya sekarang sudah tiada, dan berganti dengan tuanku lain.
Patah tumbuh, hilang pun berganti. Begitu dinamika hidup dan kehidupan di tengah masyarakat. Apakah masih ada budaya tadarusan yang sampai beberapa kelompok duduk melingkar?
Entahlah. Surau itu pun kini sudah berpindah lokasi. Dari pinggir sungai, dialihkan ke bagian atas, di tengah permukiman masyarakat.
Dulu itu, kalau empat kelompok misalnya, maka empat kali pula khatam Alquran selama puasa tersebut.
Lalu, di surau sebelah, juga tak kalah serunya tadarusan. Para tuanku dan anak pondok yang libur di bulan puasa, ikut tadarusan Tafsir.
Juga sampai tamat Tafsir itu 30 juz. Tadarusan mulai sekitar pukul 19.00 wib hingga pukul 23.00. Lalu, selesai itu langsung Tarawih bersama.
Hampir semua warga surau itu ikut tadarusan. Kecuali yang anak-anak yang belum mengaji Alquran. Mereka masih mengaji Iqra', sehingga di tengah orang tadarusan, mereka asyik pula bermain di luar surau.
Tentu tadarusan ini punya banyak faedah dan pahala, sesuai pengajian yang disampaikan guru.
Seorang membaca, yang lainnya menyimak, lalu menegur bila ada kesalahan dalam membaca. Dikak berikutnya, dilanjutkan dan disambung oleh peserta lain, dan terus sambung bersambung.
Di kelompok satunya lagi juga seperti demikian. Itu yang disebut dengan tadarusan. Saling mengingatkan dan saling menegur jika ditemukan kesalahan dalam bacaan Alquran itu.
Shalat Tarawih-nya 23 rakaat plus Witir. Ada sekitar satu jam pelaksanaannya. Meskipun sedikit cepat dari shalat biasa, tapi bacaannya jelas dan tuntas.
Masyarakat yang ke surau malam itu, umumnya langsung tidur di surau. Kecuali bagi perempuan yang masih bersuami, ya pulang ke rumahnya.
Begitu juga laki-laki yang beristri, sehabis shalat juga pulang ke rumahnya. Anak-anak dan orang tua yang ikut sembahyang 40 hari tetap di surau.
Mereka masak di dapur surau itu. Kadang dibawakan nasi sebagiannya oleh anak dan dunsanaknya.
Itu indah dan tampaknya nilai-nilai kebersamaan dari mengisi Ramadhan tiap tahunnya di kampung tersebut.
Generasi bertukar, zaman beralih. Sehabis Tarawih tak lagi suara orang mengaji terdengar. Orang sibuk dengan mainan sendiri, yang kadang-kadang lebih senang menggunakan itu ketimbang membaca kitab suci.
5. Perbedaan Ibadah Ramadhan di Setiap Masjid dan Surau Harus Jadi Pemersatu Umat
Lain masjid dan surau, lain pula pesona serta nilai-nilai kesejukan beribadah di dalamnya.
Ramadhan, saya sudah terbiasa berpindah shalat dari masjid yang satu ke masjid dan surau yang lain.
Misalnya, Zuhur saya berjemaah di Surau Kelok, Pungguang Kasiak Lubuk Alung, mungkin Asar pindah ke Masjid Raya Pungguang Kasiak.
Sementara, Magrib lantaran berbarengan dengan buka puasa, saya memilih shalat di rumah saja.
Sedangkan Isya dan Tarawih, sudah dua malam saya shalat di Masjid Berkah, Toboh Gadang Timur, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang.
Sesekali, tepatnya Subuh tadi, saya berjemaah di Surau Tembok. Surau korong yang terletak di depan rumah saya.
Sebelumnya, tepatnya Subuh Ahad saya sengaja shalat berjemaah di Masjid Raya Pungguang Kasiak.
Nikmatnya shalat berjemaah, apalagi di bulan yang penuh berkah ini, tentu menjadi ladang amal ibadah yang amat luar biasa pahalanya.
Soal shalat lima waktu berjemaah ini, saya belajar banyak dengan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah. Pendiri dan Guru Besar Pondok Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan yang tak pernah absen dari shalat berjemaah.
Dari sekian banyak surau dan masjid yang saya jajaki dalam ibadah wajib dan sunnah, tentu berbeda pula nuansa dan suasananya.
Umunya, surau dan masjid itu terkendala di masalah tikar yang sudah usang, sehingga terasa sedikit sakit dahi saat sujud ke tikar lantai.
Seperti saya temui di lantai dua Masjid Berkah. Malam tadi, karena terlambat sedikit, saya harus naik ke lantai dua, lantaran lantai dasar sudah penuh.
"Kalau lantai dua terasa sedikit sakit dahi ini saat sujud," kata Anto, salah seorang jemaah yang kebetulan sama tiba dengan saya di masjid itu.
Kami sama-sama naik ke lantai dua. Di samping tikar usang atau bekas dari bawah dulunya, sehingga mengganggu kenyamanan shalat, ruangan lantai dua lumayan terasa pula panasnya.
"Biasa itu. Sebab tikar bekas dari bawah di pakai untuk yang di atas. Nasib jadi masbuk atau jemaah terlambat," jawab saya ke Anto.
Dan memang awal Ramadhan, masjid ini dan juga masjid lainnya tentunya, penuh sesak oleh jemaah yang hadir.
Soal tikar, juga saya temui di Surau Tembok. Tikarnya mulai usang, dan seharusnya sudah berganti dengan tikar yang baru.
Di Surau Tembok hanya seorang saya yang laki-laki jemaahnya. Selebihnya, ada tiga sampai lima orang perempuan Subuh itu.
Surau Tembok memilih mulai puasa Ramadhan tahun ini, sesuai anjuran Syathariyah, yang Ahad kemarin melihat bulan.
Dan Minggu malam itu pula Tarawih pertamanya. Beda sehari dengan Surau Kelok, yang memulai Tarawih pertamanya Sabtu malam, karena mengambil keputusan pemerintah.
Jarak Surau Tembok dengan Surau Kelok tak begitu jauh. Paling 250 meter. Namun, wilayah kedua surau ini sudah berbeda.
Tembok masuk Nagari Sintuak, sedangkan Kelok jadi Nagari Pungguang Kasiak Lubuk Alung.
Beribadah di Surau Kelok terasa enak dan nyaman. Suraunya bersih, tikarnya masih tergolong baru.
Tiap waktu suara azan selalu berbunyi di surau yang terletak di belakang Kantor Walinagari Pungguang Kasiak ini.
Jemaah laki-laki shalat siang itu lumayan banyak. Lebih dari satu saf.
6. Setiap Perbuatan Utama yang Tidak Dimulai dengan Basmalah Bernilai Cacat
Surat Alfatihah adalah tujuh ayat yang diulang-ulang. Surat yang turun di Makkah ini juga disebut sebagai ibu Alquran.
Disebut berulang-ulang, karena setiap rakat dalam shalat Alfatihah wajib hukumnya dibaca.
Tujuh ayat dengan bismillah. Bismillah adalah ayat pertama dalam surat ini. Beda dengan surat yang lain, meskipun ada bismillah, tapi tidak termasuk ke dalam ayat surat terkait.
Bismillah yang merupakan ayat pertama dari surat ini adalah jumhur ulama yang menyebutkan.
Seluruh imam pemegang otoritas Mazhab, sepakat menyatakan kalau bismillah adalah ayat dari surat Alfatihah.
Alfatihah juga disebut sebagai pembuka Alquran. Makanya surat ini ditarok di awal permulaan surat dari Alquran.
Alfatihah bukan ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT ke Nabi Muhammad Saw.
Pengalaman saya yang ikut shalat berjemaah di saat shalat jahar, ada di sebagian masjid imamnya tak membaca bismillah saat membaca Alfatihah ini.
Mungkin dengan bacaan sir atau tersembunyi. Boleh. Tapi, shalatnya jahar. Kok Alfatihah dijaharkan, bismillah disembunyikan.
Tentu sang imam punya alasan tersendiri, soal mensirkan bismillah dalam Alfatihah saat shalat jahar.
Apakah perbuatannya itu benar atau salah? Masih dalam perdebatan, yang tak perlu dibesar-besarkan.
Kita anggap saja dinamika dalam beragama. Yang jelas, semua Alquran menjadikan bismilah sebagai ayat pertama dalam surat Alfatihah ini.
Bismillahirrahmanirrahim. Begitu bunyi ayat pertama dalam surat Alfatihah ini. Artinya, "Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang".
Ayat ini terkandung asma Allah. Isyarat bagi kita, bahwa setiap memulai sesuatu yang baik, awalilah dengan bacaan bismillah.
Bismillah mengandung doa, dan pengharapan bagi yang membacanya. Sekaligus bergantung dengan ke-Esa-an Allah SWT, atas perbuatan yang kita lakukan.
Ya, tentu perbuata baik. Dengan mengantungkan pekerjaan kita atas doa yang kita awali dengan bismillah, besar harapan pekerjaan itu berkah dan diberkahi oleh pemilik nama, Allah SWT.
Allah itu bersipat rahman dan rahim. Pengasih tidak pilih kasih, dan penyayang kepada seluruh hamba yang dikenhendakiNya.
Tentu di sini kita melihat dan mencermati kasih dan sayang Tuhan. Seluruh manusia akan merasakan kasih Tuhan. Namun, tak semua manua yang merasakan sayangnya Tuhan.
Ini terbukti, manusia yang ingkar akan Tuhan alias tak pernah menjalankan perintah agama dan banyak melakukan perbuatan yang dilarang dalam agama, tetap dapat rezeki, bisa hidup dan makan serta kepuasan hidup yang dia rasakan.
Mereka tak merasakan sayangnya Tuhan. Merasa tak pernah dapat teguran dalam hidup.
Umat berman dan beramal shaleh, ada dan banyak merasakan teguran Tuhan dalam hidupnya.
Begitu besar dan penting bismillah dalam setiap memulai pekerjaan. Apalagi mau akan shalat, pekerjaan yang sekaligus perintah Allah SWT, tentu tak perlu dan tak boleh kita "pergarahkan".
Ya, ketika shalat jahar, Magrib hingga Subuh, imam harus menjaharkan pula bismillahnya. Jangan sembunyikan. Ini dia yang amat luar biasa untuk bersama tentunya.
Achmad Chodjim dalam bukunya yang berjudul Alfatihah mengutib hadis nabi menyebutkan, setiap perbuatan utama yang tidak dimulai dengan basmalah bernilai cacat.
Kenapa disebut cacat? Karena kita melupakan Tuhan, Allah. Kita lupa, bahwa kekuatan dalam bekerja atau beraktivitas, adalah lewat kodrad dan iradah yang Allah berikan ke kita.
Kekuatan kita terbatas. Contoh, bila kita sakit kita tak bisa berbuat apa-apa. Jadi, Tuhan punya kuasa atas semua perbuatan dan aktivitas yang kita lakukan.
7. "Sala Lauak", Menu Pebukaan yang tak Boleh Tidak Ada
Di sini, rantau Piaman dinamakan dengan "sala lauak". Khas makanan Piaman yang tak ada di temukan di daerah lain.
Kalau pun sala lauak ini dijual orang di Solok atau Bukittinggi, Payakumbuh, bisa dipastikan yang jualan pasti orang Pariaman.
Terbuat dari tepung beras. Di Pauh Kambar sana banyak orang menjualnya. Tepung sala namanya, karena memang untuk membuat makanan yang enak itu.
Karena bulat, juga dipopulerkan dengan sebutan "sala bulek". Tepung yang sudah diaduk dengan ikan dikasih bumbu serta daun kunyit, lalu di goreng, dan jadilah dia sala lauak.
Murah. Sebijinya cuma Rp500. Saking enaknya, agak 15 biji masih belum terasa masuk ke dalam perut.
Supaya jangan salah kita menghitungnya, biasanya orang kedai langsung mematok jumlah sala lauak dalam sepiring yang ditaroknya di atas meja.
Biasanya, penjual ketupat gulai sering dan pasti membuat sala lauak sebagai campuran daganganya. Kurang terasa makan ketupat gulai bila tak dikasih sala bulek.
Begitu komentar orang dari darek bila melintas mau ke Padang dan singgah untuk sarapan pagi di Piaman.
Anak gadis saya bulan puasa ini selalu senang dengan menu makanan yang ada campuran sala lauaknya.
Berbuka puasa dengan minum kelapa muda, lalu makan nasi yang ada campuran sala lauak, makannya terasa enak dan banyak nambahnya.
Di Piaman ini hampir tiap kampung ada yang jual sala lauak. Apalagi bulan puasa, kepandaian dan kemampuan orang membuat sala bertambah dari biasanya.
Tiap sudut kampung, apalagi di pasar pebukaan, akan banyak kita temukan pedagang yang menjajakan sala lauak.
Namun, yang memproduksi tepung sala cuma ada di Pauh Kambar. Banyak orang kampung lain mencari tepung ini ke Pauh Kambar.
Bulan puasa ini, sore menjelang buka puasa, para pembuat sala ini bergegas menggoreng tepung yang sudah diaduk sejak sahur mungkin, untuk dijual tentunya.
Yang digoreng sore, masih bisa dimanfatkan kembali untuk dimakan di waktu sahur.
Saat berbuka jelas masih terasa hangat dan menambah selera makan yang mungkin terganggu akibat puasa Ramadhan misalnya.