Minyak tanak tangan familiar namanya di kampung itu. Terbuat dari kelapa yang sudah diparuk, lalu dibuat dengan tangan.
Rasanya enak, karena alami. Tak pakai pengawet. Minyak goreng dari kelapa ini sudah dibuat secara turun temurun di kampung itu.
Ambung Kapur nama nagarinya, masuk dalam Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, kampung itu memang terkenal penghasil komuditi kelapa terbesar di Padang Pariaman.
Sepanjang kampung itu, tak kenal adanya kelangkaan minyak. Kelapa yang sudah tua, cenderung dijadikan minyak tanak, ketimbang dijual bulat oleh pemiliknya.
Begitu juga di nagari sekitarnya, seperti Koto Baru, Koto Dalam, Batu Kalang, hingga di bagian bawahnya Ampalu, juga tak kalah dengan penghasil kelapa terbanyak.
Di Kota Padang orang menyebutnya kelapa Padang Sago. Kini, semakin banyak tumbuh sentra pengrajin minyak tanak tangan ini.
Kelapanya rancak. Tiba dijadikan santan untuk rendang dan gulai semakin enak. Sekilo daging cukup tiga biji kelapa santannya.
Begitu hebat dan bagusnya kualitas kelapa Padang Sago. Beda dengan kelapa daerah lain, seperti dari Pesisir Selatan misalnya.
Umumnya, kalau rumah makan suka menggunakan minyak tanak tangan ini, banyak mencari ke Padang Sago ini.
Apalagi sekarang, kampung itu semakin banyak didatangi pengusaha rumah makan, yang mencari sentra minyak tanak tangan tersebut.
Di samping minyak tanak tangan, kelapa juga diolah jadi minyak murni. VCO namanya. Ini untuk obat, yang banyak mengandung manfaat untuk kesehatan.
Sentra minyak tanak tangan ini terus berkembang, dan ada di setiap sudut kampung di Kecamatan VII Koto lama, yang meliputi Padang Sago, Patamuan, dan VII Koto Sungai Sariak.
Hampir semua pengrajin ini tak lagi membeli minyak goreng untuk kebutuhan hariannya. Cukup minyak yang dibuat, dan rasanya pun terjamin dengan baik.
Oleh perantau yang pulang kampung, minyak ini juga sering dijadikan buah tangan atau oleh-oleh untuk balik ke rantau.
Ya, minyak buatan orangtua di kampung membuat rindu akan kampung halaman. Cukup buat cabai yang direbus, lalu kasih minyak tanak tangan, makan pun jadi enak.
Sebagai alat komunikasi yang baik antara ranah dan rantau, sehingga tali silaturahmi terjalin dengan baik.
Tak heran, minyak tanak tangan Padang Sago ini telah merambah pasar nasional dan internasional, terutama perantau Piaman yang tinggal di daerah perantauan itu.
Kelangkaan minyak goreng saat ini, sentra minyak tanak tangan Padang Sago kian diburu banyak orang. (**)
Masa Depan Minyak Tanak Tangan Perlu Penataan
Minyak goreng kelapa "Amboko" merek kemasannya, diproduksi oleh VCO dan Minyak Kelapa KWT Bengke Sakato.
Rasanya higenis dan alami, menjadi incaran banyak orang saat ini. Di kampung itu, masih minyak tanak tangan namanya, karena proses pembuatannya banyak menggunakan tangan orang.
Ada sejumlah ibu rumah tangga yang bekerja di KWT ini sebagai pekerja di tengah melambung dan langkanya minyak goreng.
Tak hanyak minyak goreng dan VCO yang dibuat kelompok ini, tapi juga ada sejumlah aneka makanan khas daerah.
Namun, urusan minyak adalah yang utama dan produk unggulannya dalam memajukan usaha bersama tentunya.
Dengan produk ini, serta tumbuhnya produk serupa lainnya di sentra rumah tangga di Ambung Kapur Sungai Sariak ini, menjadikan ekonomi masyarakat bangkit dan menggeliat masa pandemi covid ini.
Harga jual minyak tanak tangan dalam kemasannya pun lumayan. Terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Dan memang, Ambung Kapur Sungai Sariak terkenal sebagai kampung dan nagari yang banyak mengeluarkan kelapa.
Tanaman tua ini sudah ada sejak zaman antah berantah. Warga kampung ini pun banyak yang jadi pedagang kelapa di Kota Padang dan daerah lain di luar Sumatera Barat.
Tumbuh dan hadirnya sentra produksi minyak tanak tangan ini, pun tak membuat berkurangnya jatah kelapa untuk pasokan Pekanbaru.
Tiap hari ada saja mobil yang hilir mudik mengangkut kelapa ke bumi lancang kuning itu.
Begitu juga produk minyak goreng dan VCO juga kian maju dan berkembang dengan segala keterbatasannya.
Tinggal kemasan dan wadahnya, bagaimana pemerintah nagari setempat mampu membuat harga jual produk ini naik, dan berputar cepat.
Sebab, sentra yang tumbuh sekarang rata-rata hanya dengan modal keyakinan dan kemauan.
Yakin karena kelapa banyak tumbuh dan ditanam oleh yang tua-tua dulunya. Kemauan lantaran ada ilmu membuat minyak secara alami.
Para ibu rumah tangga ini telaten dan sabar mengolah kelapa. Sejak dari membuka kulit, hingga menjadi santan, lalu diolah lagi jadi minyak dan VCO.
Pendataan ini penting, untuk masa depan yang cerah bagi kelapa dan harga jual yang kian menjanjikan ekonomi masyarakat.
Pergeserannya baru setahap. Dulunya kelapa diparuk dengan tangan sendiri, sekarang itu tak lagi dijumpai.
Memaruk kelapa sudah dengan mesin. Pun menanaknya sebagian sudah menggunakan gas.
Namun, rasa khas minyak tanak tangan tetap enak yang dimasak dengan kayu bakar. (**)
Hasil Gorengan Minyak Tanak Tangan yang Membangkitkan Selera Makan
Sebagai daerah penghasil kelapa terbesar di Sumatera Barat, mutu dan kualitas kelapa Padang Pariaman ternyata tak sama di seluruh kampung.
Seperti racikan santan yang dihasilkan kelapa di Padang Sago, tak sama dengan santan kelapa di Sungai Geringging, misalnya.
Jon Kenedi Martin, pakar Virgin Coconut Oil (VCO) menilai perbedaan kualitas santan murni kelapa itu disebabkan oleh tanah, dan lahan tanaman kelapa yang berbeda pula.
"Kalau kelapa di VII Koto lama ini, yang tersohor adalah santannya buat gulai dan rendang," kata dia.
VCO-nya ada, tapi tak bisa menghasilkan banyak. Tentu perbedaan demikian alami dan karunia Tuhan yang harus disyukuri.
Misalnya, katanya, di coba mengolah 20 kelapa di setiap nagari. Jumlah sama, kualitas kelapa pun sama. Pasti hasil VCO-berbeda.
Pembina salah satu koperasi penghasil VCO di Aur Malintang ini menilai, pengusaha VCO daerahnya mulai maju dan melupan kualitas.
"Banyak yang berlomba-lomba untuk banyak hasil produk, ketimbang kualitas hasil, sehingga tiru-tiruan pembuat minyak ini," ulas dia.
Akibatnya, pasar VCO ini semakin susah. Bukannya semakin dicari oleh orang luar. Sebab, yang membuat VCO itu bukan lagi tangan orang, tapi sudah mesin.
Begitu juga minyak goreng kelapa yang terkenal dengan istilah minyak tanak tangan, juga sebagian besarnya dikerjakan oleh mesin.
Tentu hasil dan kualitasnya jauh beda dengan yang dihasilkan oleh tangan orang.
Pun, dari segi pemberdayaan masyarakat tak bersua. Tenaga mesin, jelas mengurangi tenaga kerja.
Pola ini harus jadi kajian yang mendalam, menimbang untung rugi, serta kualitas hasil yang dicapai dari produk kelapa daerah ini.
Dan lagi, kekuatan mesin tak bisa main-main. Harus dengan partai besar, jumlah kelapa ribuan untuk sekali olah.
Sedangkan persediaan bahan baku kelapa sangat terbatas. Sebagian pengusaha kelapa yang menjual ke luar daerah, telah duluan menyerakkan uangnya ke pemilik kelapa.
Kelapa panen, pengusaha langsung saja memetik dari batangnya, lalu mengangkut ke Riau sana.
Pengusaha VCO daerah ini, belum ada yang seperti itu. Umum mereka mengolah kelapa di kebun sendiri.
Jadi, penataan ini amat penting, demi masa depan petani dan masyarakat pemilik kelapa.
Sesuai buahnya, pemilik masih menganggap harga jual kelapa masih turun. Belum naik secara signifikan.
Kemudian, peremajaan kelapa pun penting disuarakan oleh pemerintah kepada masyarakat.
Ini tanaman tua. Boleh dibilang tak banyak modal untuk sebuah tanaman ini. Jadi perlu ditata dengan rapi, agar tanaman ini terus berkesinambungan di Padang Pariaman.
Secara umum, masyarakat daerah ini tak merasakan adanya kelangkaan minyak goreng.
Masyarakat menilai, kelangkaan minyak goreng hanya isyu yang sengaja digoreng, sebagai pengalihan dari isyu lain.
Ingin merasakan enaknya minyak kelapa tanak tangan, dan VCO murni, datanglah ke Padang Pariaman.
Sekali makan, enaknya terasa, dan melupakan yang lain. Begitu juga ketika masakan rendang diracik dengan kelapa daerah ini, enaknya tak kemana mau dikatakan.