Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Memaknai HPN 2022, Masih Adakah Wartawan yang Menikmati Kerja di Bawah "Tekanan"?

1. HPN dan Kepedulian Sosial Wartawan

Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap tanggal 9 Februari, adalah bagian dari nilai-nilai membumikan sejarah pers dalam ikut berjuang di negeri ini.

Tanggal itu juga sekalian peringatan hari lahir organisasi wartawan tertua, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Makanya, panitia HPN selalu dari organisasi ini. Momen HPN tentu juga bisa disebut sebagai apresiasi dari pihak lain ke dunia media massa, sekaligus kritikan.

Bagi penggiat media dan pemilik, dan juga wartawan di lapangan HPN adalah ajang silaturahmi akbar.

Dari seluruh Indonesia, para wartawan berkumpul di satu daerah tempat ajang itu dilakukan.

Dan bagi daerah yang jadi tuan rumah, HPN tentu momen yang amat berharga. Presiden selalu hadir pada puncak HPN.

HPN tahun ini di Kendari, Sulawesi Tenggara saya tak berkesempatan hadir. Sama dengan HPN tahun lalu di Jakarta, saya juga tak bisa hadir.

Faktor pandemi covid jadi alasan utama. Covid yang merubah semua lini kehidupan, termasuk pemerintah daerah sendiri yang memfasilitasi keikutsertaan wartawan daerah, juga mengalami kesulitan anggaran.

Sebelumnya, saya termasuk sering ikut dan hadir peringatan HPN tersebut. Mulai HPN 2009 di Jakarta. Ada rasa bangga dan senang, bisa bersua dengan tokoh pers hebat dan senior.

HPN di ibukota negara ini, saya masih ingat ketemu dengan tokoh pers, H. Rosihan Anwar. Wartawan hebat yang sepanjang hayatnya selalu menulis.

Dan tokoh politik serta para menteri tentu tak asing kalau dalam momen HPN itu.

Setelah dari Jakarta 2009, saya kembali ikut di HPN 2014 di Bengkulu. HPN yang paling berkesan, jalan darat pulang pergi, malah terkesan berkeliling.

Berangkat malam dari Padang Pariaman lewat Linggau, lalu pulang menyisir Mukomuko dan keluar di Kota Padang.

Dua mobil rombongan PWI Pariaman yang di dalamnya juga ikut Humas Pemkab Padang Pariaman dan Kota Pariaman.

Di samping ikut HPN, tentu kami juga memanfaatkan kedatangan itu dengan silaturahmi dengan PKDP Bengkulu. Sebuah paguyuban perantau Piaman yang selalu eksis di tengah masyarakat.

Banyak cerita dan informasi yang dibangun di antara kedua daerah ranah dan rantau.

Apalagi di Bengkulu terkenal dengan banyak warga Piaman yang mengadu nasib di sana.

Dengan hadir dan ikut HPN, kita semakin melihat peluang dan sekaligus tantangan dunia pers itu sendiri.

Pers yang intinya adalah kerja kontrol sosial, juga bagian terpenting kepekaan wartawan untuk masalah sosial lingkungannya.

Menjadi jembatan antara pemberi dan penerima, merupakan kepuasan batin tersendiri yang saya rasakan dalam menggeluti dunia media.

Lewat goresan tulisan berbentuk feature, para dermawan merasa dapat tempat untuk berbuat, meringankan beban orang susah di tengah masyarakat.

Geresan tulisan yang sekaligus edukasi kehidupan sulit yang  menerpa seseorang pun acap dan sering saya buat di media, dan itu mangkus.

Ada yang langsung menghubungi saya, para dermawan itu tersambung dengan mereka yang mengalami kesusahan. Dan banyak juga yang langsung mendatangi, tanpa melalui saya.

Apalagi di era digitalisasi, bahan feature yang semacam itu amat banyak bersua di sekitar kita sendiri.

Kemudian, HPN 2016 di Lombok, Nusa Tenggara Barat saya juga ikut. 2017 di Ambon, Maluku, 2018 di Surabaya, Jawa Timur juga saya hadir pada momen tersebut.

Lalu, 2019 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bagi insan pers, HPN tentu sejarah panjang, dan pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Bermula dari Rajin Membaca, Kecanduan Menulis Meningkat

Terinspirasi dari man jadda wa jadda, siapa yang bersungguh pasti mendapat, ternyata benar adanya.

Suka dan rajin membaca ketika sekolah di pesantren, keinginan untuk jadi penulis dan wartawan pun menyumbul dalam benak dan pikiran saya.

Kemudian, suka membuat catatan harian dalam agenda juga kegemaran saya saat mondok di Pesantren Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan.

Setiap momen dan perjalanan suka duka dalam keseharian, tertulis. Tapi tak banyak orang lain yang tahu, lantaran tulisan tangan saya jelek, dan susah dibaca orang lain.

Keinginan untuk menulis di media pun terus menggelora. Awal reformasi, tahun 1999, Pak Amiruddin bergabung dengan SKM Padang Pos.

Dia menjadi Kepala Perwakilan koran mingguan itu di Padang Pariaman. Punya tanggungjawab untuk mencari berita dan menyebarkan koran.

Edisi ketiga koran itu terbit, Pak Amiruddin yang adik ayah saya ini datang ke rumah orangtua saya, melihat saya yang dia dapat kabar sedang sakit.

Waktu dia datang, saya mulai agak mendingan peningkatan kondisi badan yang cukup lama sakit yang ditidurkan.

Pak Amiruddin langsung menawarkan ke saya untuk mengantar koran ke pelanggan sekali sepekan, tepatnya tiap Jumat.

Saya sanggupi, dan mulailah saya jadi loper koran itu di Padang Pariaman. Ada ratusan pelanggan awal sebagai modal untuk pengembangan koran itu.

Tiap pekan pelanggan bertambah, sehingga pengantaran pun jadi dua hari, Jumat dan Sabtu.

Di tengah kesibukan itulah, saya memulai keinginan saya untuk menulis. Sebuah opini yang saya tulis dengan mesin tik, lalu saya kasihkan ke Pak Amiruddin, dan dia bawa ke redaksi.

Lama dan sering menulis opini, perlahan nama saya mulai diketahui orang redaksi. Rapat kerja redaksi di Sungai Limau, Pemimpin Perusahaan Padang Pos, Fadril Aziz Isnaini Infai menyapa saya.

Rupanya mendiang Infai ini membaca tulisan saya yang terbit di ruang opini Padang Pos.

"Damanhuri, coba berita buat lagi. Caranya gampang. Contoh tempat wisata pantai ini, lalu diskusi dengan pengelolanya," ujar Infai menunjukkan pertama kali cara membuat berita.

Saya coba. Ada sebuah temuan menarik di tempat saya tinggal, Padang Toboh Ulakan. Mahasiswa KKN melakukan jejak pendapat tentang penting atau tidaknya sebuah masjid di kampung itu.

Hasilnya, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya masjid di Padang Toboh, sehubungan jauhnya jarak ke Kampung Koto, tempat masjid nagari berdiri.

Namun, keinginan itu tak dapat persetujuan dari Ketua KAN Ulakan, sekaligus penguasa ulayat, sehingga perdebatan panjang mewarnai dinamika di tengah masyarakat.

Saya telusuri, menemui tokoh masyarakat sekaligus mahasiswa yang sedang ber KKN di kampung itu, lalu saya konfirmasi ke Ketua KAN yang tak menyetujui pembangunan masjid tersebut.

Saya ketik di surau, tempat saya mengabdi dengan meminjam mesin tik Desa Padang Toboh.

Hasil ketikan panjang, lalu saya berikan ke Pak Amiruddin. Dia tiap minggu pula ke redaksi Padang Pos di Ulakarang, Padang.

Jumat-nya berita itu terbit, dan headline di halam dalam yang cukup menyita pembaca, sekaligus mampu mendokrak laju penjualan koran itu di Pauh Kambar.

Berita itu menjadi bahan diskusi menarik setelah terbit. Hampir seluruh masyarakat sering menemui saya untuk sekedar diskusi dan berlanjut dengan pembahasan yang banyak persoalan.

Secara bertahap, persoalan demi persoalan mencuat. Masyarakat selalu bertemu saya, dan selanjutnya jadi sebuah berita.

Padang Pos mulai terseok-seok terbitnya. Bertemu dengan Armaidi Tanjung yang sudah kenal di Padang Pos. Dia mengajak saya bergabung dengan Harian Semangat Demokrasi yang terbit tiga kali sepekan.

Masukan lamaran. Pun di koran ini, Infai yang jadi Pemred-nya. Tak begitu lama, lama, Infai yang dimotori Asli Khaidir menerbitkan Mingguan Media Nusantara.

Berkantor di GOR Agus Salim, untuk Pariaman saya dan Netti Hermawati yang jadi perwakilan.

Tentu di koran baru ini, saya ikut dari proses perdana. Hanya saja media ini tak begitu lama. Dari Media Nusantara, Infai merubah menjadi Media Sumbar.

Saya masih tetap gabung, dan langsung jadi Kepala Perwakilan di Pariaman.

Media Sumbar lebih mengajarkan nilai-nilai kebersamaan. Ada sama di makan, tak punya sama dicari.

Lengkap status sosial yang disandang personil yang sering berjumpa di Terandam III Padang itu. 

Mulai dari induk semang yang bergelar Rajo Imbang. Infai sudah malang melintang di dunia pers. Pernah jadi Wakil Ketua bidang Organisasi di PWI Sumbar.

Lecut tangan membuat bejibun kader wartawan yang lahir dari gemblengannya. Dia juga salah seorang pencetus lahirnya PWI di Kota Bukittinggi.

Saya sering membuat berita di redaksi. Datang dari daerah, tentu sekalian belajar banyak dari seorang wartawan hebat dan idealis. 

Sementara, Yusfik Helmi Datuk Yang Sati, Ali Nurdin, disapa buya oleh senior dan yunior di redaksi.

Ada Pak Bagindo, seorang tukang foto yang masuk redaksi. Hasil bidikannya tak kalah dengan wartawan muda. Pak Bagindo sudah tua, tapi masih eksis naik Vespa dari Pariaman ke Padang.

Sayang, Media Sumbar nasibnya hampir sama dengan media yang didirikan Infai sebelumnya.

Orang Minang bilang, hidup segan mati tak pula mau. Artinya, sesuai situasi keuangan koran, semakin lama semakin tak sanggup membiayai operasionalnya.

Dengan kondisi itu, saya pun ditawari sebuah Tabloid Mingguan. Publik namanya. Pemiliknya juga wartawan senior, yang sempat jadi anggota dewan Sumbar.

AA Datuk Rajo Djohan namanya. Ketika datang ke redaksi sambil membawa surat lamaran, Pak Datuk ini langsung menerima saya, lantaran dia tahu kalau saya hasil didikan Infai.

Sempat dua tahun jadi perwakilan Publik di Pariaman, 2005-2007, akhirnya seorang kawan yang saya kenal di Padang Pos, Gusnaldi Saman mengajak saya masuk Singgalang.

3. Masih Adakah Wartawan yang Menikmati Kerja di Bawah "Tekanan"?

Menikmati kerja dibawah "tekanan", berburu dengan waktu, makan pun mesti dikensel, saking pentingnya berita dan laporan dikirim cepat.

Awalnya terasa enak, namun belakangan terasa juga jenuh. Mungkin faktor usia, dan semakin menurun tingkat produktivitas.

Tekanan bukan dari pihak lain atau narasumber, tetapi dari redaksi sendiri. Itu saya rasakan ketika pertama kali bergabung di Harian Singgalang.

Desember 2008 saya mulai di Singgalang, setelah sebelumnya berpindah-pindah media, bahkan sempat juga di Harian Bersama Medan.

Sebenarnya, di Singgalang itu untuk wilayah Piaman terbilang banyak wartawannya. Namun, sebagai anggota yang baru masuk, tentu acap kena suruh dari Koordinator Daerah.

Dan saya orang paling senang dapat tugas, dan rasanya belum pernah pula penugasan itu yang tidak saya kerjakan.

Belum tuntas tugas Korda dibuat beritanya, datang pula tugas dari redaksi. Kadang langsung ke saya, kadang lewat Korda.

Hanya saja saat kemampuan ada, saya merasakan bahwa wartawan itu memang harus bergairah kerja dibawah tekanan seperti demikian.

Bayangkan dua sampai tiga tugas sejati dari induk semang yang berbeda, dan harus dikirim dalam hari itu itu juga.

Pada saat menikmati kerja itu, kadang terpikir dalam benak, kok sedikit hari ini. Ingin terus rasanya ada tugas dan penugasan dari redaksi.

Tentu dari sekian kesuksesan, sesekali tentu ada pula gagalnya. Saya pernah dapat SP satu, langsung dari Pemred.

Itu gara-gara sebuah harian menerbitkan berita headline khasus pencuri yang main tembak di Piaman. Sementara di Singgalang berita itu tak keluar.

Pemred tabik rabo. Redaktur ribut minta ampun. Korda pun memarahi saya lewat telpon. Sebab, kejadian itu berdekatan dengan tempat tinggal saya.

Hari itu, kejadian malam memang di luar kendali saya. Memang tak tahu saya kejadian itu.

Sang wartawan harian lain itu tak pula berkabar kalau ada berita besar. Terkicuhlah saya, dan besoknya tiba sepucuk surat, SP satu.

Enaknya acap dapat penugasan itu, memang terasa naluri kepenulisan saya semakin terasah dengan licin dan lancar.

Sering tulisan feature saya mewarnai halaman satu di bagian kaki Singgalang itu mencogok.

Momen tradisi besar di Piaman, saya paling sering kena dampret penugasan. Mungkin Korda telah senior, tentu redaktur yang seangkatan dengan dia tak kuat memberikan tugas.

Yang membuat saya leluasa di Singgalang, adalah saya tak berpikiran untuk memasarkan koran. Saya hanya menulis.

Ya menulis berita, feature, laporan, dan tentunya mengerjakan halaman kerjasama dengan pemerintah.

Saya merasakan, karena terlampau banyak dapat tugas itu pula, kalau diminta kunker anggota dewan, saya juga ikut sering mendampingi.

Saya lebih banyak bergaul dengan anggota dewan ketimbang Korda, sehingga untuk kunker itu juga atas lobi-lobi saya juga.

Mendamping studi gempa Komisi A DPRD Kota Pariaman ke Yogyakarta 2009, mendampingi studi Walinagari Kabupaten Padang Pariaman ke Sulawesi Selatan 2013.

Ikut bersama Humas Kota Pariaman ke Bogor, Jawa Barat 2011, kunker DPRD Padang Pariaman ke Bali 2017 dan 2018.

Bersama Humas Pariaman ke Melaka, Malaysia 2019. Tentu itu semua hikmah dari mampunya menyelesaikan tugas sekalipun dibawah tekanan.

Menjamurnya media online, media cetak, termasuk Singgalang juga mengalami penurunan. Baik jumlah halaman, maupun jumlah oplah cetaknya, terjadi pengurangan yang cukup signifikan.

Begitu juga tekanan, penugasan redaksi pun berkurang. Kadang berbulan-bulan lamanya, tak pernah masuk telpon dan pesan WA dari redaksi.

Dulu, bangun pagi saya dikejutkan dengan isi SMS yang intinya perintah Pemred mencari berita ini dan itunya.

4. Tahu Sedikit dalam Banyak Hal, Wartawan Itu Mengerti Dulu Baru Bertanya

Peka terhadap sosial kemasyarakatan, adalah hasil pergulatan panjang dengan dunia jurnalistik yang saya rasakan manfaatnya.

Senang berkumpul, hobi berorganisasi juga bagian terpenting dari hasil kerja pewarta yang saya terima.

Sebab, berorganisasi dan jadi wartawan, dua bagian yang saling berkait berkulindan.

5W+1H yang populer sebagai dasar untuk seseorang jadi wartawan, di organisasi itu juga.

Kalau tak pakai itu, organisasi tak jalan. Vakum atau mati suri. Di dunia wartawan jangan coba-coba mengurangi 5W+1H, akan berhadapan dengan ancaman hukum.

Makanya, seorang wartawan sejati pasti gemar berorganisasi. Dan di organisasi itulah ketajaman analisis tulisannya kian mantap dan terasa.

Dua dunia itu pula yang membuat saya menikmati kebebasan. Bebas bersikap, bertindak, dan tentu sesuai koridor yang berlaku di jurnalistik dan organisasi.

Dunia digitalisasi yang sedang dinikmati saat ini, membuat pekerja pers semakin dibutuhkan.

Menghadirkan narasi dan edukasi yang mampu memberikan yang terbaik di tengah masyarakat.

Persaingan yang kian ketat, dan semakin menjamurnya berita hoax, sangat dibutuhkan pewarta yang punya idealis yang tinggi.

Tahu dulu baru bertanya. Mengerti kemudian baru menelusuri. Itulah wartawan atau jurnalis.

Tak heran, wartawan itu sedikit dalam banyak hal, sedang profesor tahu banyak dalam sedikit hal.

Ini doktrin yang saya terima ketika baru-baru jadi wartawan, awal reformasi ketika mengikuti Karya Latihan Wartawan (KLW) yang diadakan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Barat.

Fakhrul Rasyid, mantan wartawan Tempo yang memberikan materinya. Judul materinya soal investigasi.

Saya merasakan dan melihat dia termasuk wartawan hebat yang dipunyai Ranah Minang. KLW itu sekalian rekrutmen jadi anggota organisasi profesi wartawan tertua di republik ini.

Dalam formalnya, materinya tentu di sampaikan secara gamblang. Namun, ketika acara usai, masih dalam ruangan kelas, Fakhrul Rasyid dikerumui banyak wartawan muda, termasuk saya.

Dia bercerita atas fakta dan pengalamannya sendiri ketika jadi wartawan Tempo dan Gatra. Dalam struktur PWI Sumbar, dia tak begitu mewarnai.

Tapi soal ilmu investigasi, menembus narasumber yang terkenal angker dan keras, dia punya trik tersendiri.

Itu benar yang ditularkannya ke wartawan muda, yang di zaman itu mulai banyak terpaku mengolah rilis Humas Pemda.

Menariknya, dari ilmu investigasi akan dengan mudahnya menulis feature. Berita dengan bahasa bertutur, membuat banyak pembaca tak merasakan kena skak misalnya.

Dan lagi, ketekunan dan kerajinan wartawan melakukan investigasi akan punya bahan feature. 

Wartawan investigasi mampu membaca situasi dan kondisi lapangan. Mengerti tingkah narasumber, sehingga wartawan ini mampu membawakan irama gendang.

Suaranya yang keras, dan pandangan matanya yang tajam, membuat wartawan yang tinggi selera investigasi menjadi tertantang, ketika diskusi menyauk ilmu dari seorang Fakhrul Rasyid.

Alumni MAN Padang Japang, Kabupaten Limapuluh Kota ini memang terkenal dan tulisannya sering mewarnai halaman surat kabar.

Tak terasa perjalanan waktu kian panjang. Malam semakin larut, Fakhrul Rasyid masih tegak telinganya, suaranya kian keras mengurai ilmu dan pengalamannya kepada anak muda, yang baru masuk ke dunia wartawan.

Sementara, soal tekhnis feature kalau dalam KLW sering disampaikan Eko Yance Edrie. Namun, dalam praktek di media, saya lebih banyak mengadopsi tulisan Pemred Singgalang Khairul Jasmi.

Eko, pengurus PWI Sumbar telah malang melintang di media. Lama di Singgalang, ikut mendirikan Mimbar Minang, dan pernah di Haluan.

Dia terkenal rajin menulis feature, sering juara lomba menulis, dan banyak melahirkan buku. Dia suka senyum, dan mengurai kajian feature secara santai, seperti menikmati sebuah kisah dalam berita.

Sama halnya dengan KJ, sapaan akrap Khairul Jasmi. Jago menulis feature, dan banyak melahirkan buku, serta pernah meraih penghargaan Anugrah Adinegoro.

KJ sering memberikan tugas feature ke saya saat di awal-awal masuk Singgalang. Malah kalau ada proyek menulis buku, saya juga diminta melengkapi bahannya.

Rasanya, saya beruntung pernah menyauk ilmu jurnalistik yang lengkap dari tiga tokoh ini. Tentunya, pelajaran pertama dari Infai, sangat jadi perhitungan oleh wartawan senior Sumbar.

Ketika saya pindah dari Media Sumbar ke Tabloid Publik, Pemred-nya tak menilai saya panjang lebar.

"Oo, anggota Infai. Ya, sudah langsung saja," kata Datuk Rajo Djohan saat menerima saya pertama kali tahun 2005. 

Dan berita yang saya setor pun tak begitu banyak di edit. Langsung masuk halaman Publik.

5. Wartawan Sejati Peka terhadap Sosial Kemasyarakatan

Hanya wartawan sejati yang mampu meminimalisir dampak perkembangan berita semau gue, yang tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik.

Sayang, dunia jurnalis berhadapan dengan pilihan yang amat sulit. Di satu sisi wartawan di tuntut untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta demokrasi.

Di sisi yang lain, tuntutan hidup yang kian susah, yang tak mampu dipenuhi dengan hanya mengandalkan profesi itu, akan menjadi pergolakan batin yang luar biasa.

Terutama terhadap ranah media di Sumbar. Sulitnya menegakkan etika dan moral di kalangan wartawan, karena faktor kehidupan itu yang jadi penghalangnya.

Hampir semua institusi dan kelompok masyarakat mengalami gertakan oknum wartawan yang menyalahi prosedur profesinya.

Sebagai pengurus PWI di daerah, saya sering menerima pengaduan ulah kawan wartawan yang dianggap menggerogoti pekerjaan kelompok tersebut.

Selalu setiap diskusi pers dengan banyak tokoh, yang jadi bahan ungkapan adalah wartawan yang membuat resah banyak orang.

Barangkali situasi dunia wartawan tak jauh beda dengan daerah lainnya di Indonesia.

Tentu PWI sebagai organisasi tertua dituntut untuk terus memperbaiki situasi ini, meningkatkan terus kemampuan dan dan sumberdaya wartawan.

6. Ancaman dan Teror adalah Vitamin Penambah Semangat Kerja Jurnalis

Ancaman dan teror, umpatan, rasa kurang puas yang ditumpahkan narasumber ke wartawan yang menulis berita, adalah vitamin untuk menambah semangat kerja.

Sebagai pekerja kontrol sosial di tengah masyarakat, saya sering dan acap menerima ancaman dari narasumber yang merasa kecewa dari berita yang terbit dan beredar luas.

Bahkan, ancaman hukum dan akan dibunuh, Alhamdulillah tak membuat nyali dan integritas saya ciut.

Adalah seorang komisioner KPU di daerah saya yang diduga menghamili seorang wanita di kampungnya.

Beritanya jadi headline di Singgalang, dengan judul yang cukup unik dan menarik.

Coblosan anggota KPU berbuntut panjang. Itu judulnya. Pas berita keluar, yang bersangkutan langsung menelpon saya, dengan nada ancaman.

Sebelumnya, saya menghubungi dia sebagai berita cek. Memperlakukan narasumber sebagai praduga tak bersalah.

Konfirmasi lengkap, dan keluh kesah korban yang merasa diitukan juga panjang lebar ceritanya.

Tak cukup telpon, SMS dia ke saya pun bertubi-tubi. "Kemana pun kau lari akan saya kejar. Saya bunuh kamu," tulis dia di SMS.

Faktanya, dia tak pernah membunuh dan memperkarakan berita itu, ketika bersua dan berhadapan dengan dia. Sekarang yang bersangkutan jadi seorang walinagari di kampungnya.

Saya tetap tak memutus hubungan. Tetap komunikasi dan bertegur sapa dengan dia. Acap pula ketemu pasca berita itu terbit.

Kejadian tahun 2010 itu, membuat beritanya viral. Portal belum banyak, komunikasi antar komisioner KPU di Sumbar pun saling bersileweran lewat telpon.

Masih di tahun itu, saya juga menerima ancaman dari ibu-ibu yang merasa tidak terima atas pemberitaan yang berhubungan dengan bantuan untuk korban gempa 2009.

Menamakan kelompoknya "Kandang Rasul", saya dapat penugasan dari Pemred untuk menelusuri ini, karena banyak masukan, lantaran kelompok ini memungut uang masyarakat dengan iming-iming bantuan gempa.

Saya cari dan hubungi perempuan pengurus kelompok itu. Tak bersua, tapi hubungan lewat telpon masuk, dan kami saling berkomunikasi dengan sangat mantapnya.

Sebelum ke ibu rumah tangga itu, saya sudah dapat cerita dari masyarakat dan walinagari, tentang keresahan kelompok ini.

Tinggal konfirmasi ke ibu itu, dan lengkap lalu saya kirim naskah beritanya ke redaksi. Karena ini orderan Pemred, berita ditarok di halaman satu.

Pas berita itu terbit, ibu yang saya telpon kemarinnya terkesan menyuruh perempuan lain, kesannya atasannya menghubungi saya.

Lunak dan lembut, dan lama akhirnya membentak saya atas berita itu. Beradu argumen cukup lama dan panjang lewat sambungan telpon, dengan tetap dia bersikeras kalau kelompoknya tak meresahkan masyarakat.

Saya suruh dia membuat hak jawab, dia tak mengerti, katanya. Ya, sudah. Kalau berita tak boleh saya mencabutnya, karena konfirmasinya cukup.

Tak ada yang dirugikan. Semua yang berkepentingan saya beri kesempatan untuk bicara, mempertahankan argumennya.

Akhirnya, kelompok itu hilang begitu saja. Hiruk-pikuk gempa masih terdengar kuat, tapi kelompok itu terkesan hilang dan mungkin membubarkan diri.

7. Wartawan Mencerdaskan Bagaikan Wakil Rakyat Tanpa Dewan

Kontrol sosial yang tinggi, selalu menjaga netralitas dan integritas jurnalis, dan berpihak pada kebenaran, wartawan itu juga disebut sebagai wakil rakyat tanpa dewan.

Disebut demikian, kata Fakhrul Rasyid, wartawan senior di Sumatera Barat, karena wartawan bekerja dan melakukan pekerjaan yang sama dengan politisi yang sedang duduk di dewan.

Bedanya, anggota dewan bekerja digaji oleh negara. Sedang wartawan bekerja menyuarakan kepentingan masyarakat, hanya Tuhan yang tahu soal gaji atau upah yang diterimanya.

Soal kerja demikian, persentasenya jauh lebih banyak wartawan ketimbang seorang anggota dewan.

Wartawan nyaris 24 jam, tak mengenal ruang dan waktu. Ketika sedang asyik bekerja, kadang tak kenal makan dan lupa segalanya. 

Yang ada hanya tugas mencari, mengolah, mengedit naskah berita ini, bagaima bisa cepat sampai di meja redaksi, untuk diterbitkan.

Tapi itu dulu. Dulu sekali, ketika digitalisasi belum merambah kehidupan. Koran dan surat kabar masih pada posisi atas dalam kebutuhan membaca masyarakat.

Secara cepat dan merambah semu lini kehidupan, koran sudah terbatas edarannya di tengah masyarakat. Untuk berita dan informasi, orang sudah menggunakan tekhnologi digital.

Malah, sebagian besar koran memilih alih produksi dari cetak ke online, kalau tak ingin namanya hilang di telan kecanggihan zaman.

Dengan ini, wartawan sudah berprofesi ganda. Ya, dia yang mencari berita, langsung mengolah, mengedit, dan langsung memasukkan ke halaman portalnya.

Hitungan detik setelah masuk, berita tadi sudah bisa dishare di banyak jejaring media sosial.

Gampang sekali, kan? Lalu kualitas isi. Lihat saja, dan bandingkan dengan media ternama yang menerapkan pola berjenjang naik bertangga turun.

Seperti koran dulu, dari wartawan lapangan di sambut redaktur halaman, lalu disetujui redaktur pelaksana, dan masuk halaman, naik cetak, paginya berita kemarin muncul.

Dengan banyak saringan, kualitas isi terjamin dan mampu mewujudkan visi dan tujuan media itu, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Media online sekarang, karena pemilik tunggal, tak jarang kualitas isinya membingungkan banyak orang. Tata bahasa yang susah untuk dimergi, belum lagi soal ujaran kebencian.

Makanya, semakin meningkat tajam sarana informasi ini, sebaran berita hoax dan ujaran kebencian, dan berita provokatif lainnya memenuhi jagat media hari ini.

Hikmahnya, masyarakat dituntut kian cerdas. Masyarakat pembaca diuntungkan untuk terus belajar, dan mencari informasi yang benar.

Tak heran, wartawan dalam bekerja harus lebih cerdas lagi. Banyak membaca, tidak boleh sekedar anjuran tanpa wartawan itu sendiri yang menekuninya.

Semakin banyak menulis, wartawan sejati dan profesional itu semakin bertambah pula bahan bacaannya.

Tak cukup hanya banyak membaca tulisan kita sendiri. Harus lebih banyak membaca tulisan wartawan hebat, yang tiap sebentar melahirkan karya tulis buku, misalnya.

Apalagi tulisan orang hebat yang tidak wartawan, biasanya seorang wartawan akan tertantang untuk membacanya.

Wartawan yang tidak hobi membaca bagaikan tentara perang yang tidak pakai amunisi.

Membaca, yang kalau dulu disertai rajin membeli buku, adalah modal penting bagi wartawan dalam bekerja.

Sekarang membaca tentu lebih banyak lewat klik, lalu menyumbul bacaan yang luas.

Hanya cara memaknai membaca lewat hp dengan bahan buku langsung, tentu jauh berbeda. Termasuk dalam menjaga keutuhan mata, akan lebih senang membaca buku ketimbang di hp.

8. Tiba Dahulu, Pulang Terakhir

Tiba dahulu, pulang terakhir. Itulah wartawan. Dan prinsip itu bukan sekedar ucapan pemanis, melainkan menjiwai.

Berbanding terbalik dengan konsepnya seorang kepala daerah, yang terkenal tiba dalam acara di tengah tamu undangan dan masyarakat sudah lama menunggu.

Lalu, kalau pergi pun memilih duluan dari tamu undangan lainnya. Dan ini berlaku umum dan menjiwai di setiap kepala daerah di Sumbar.

Kenapa bisa hal itu terjadi di kalangan wartawan? Wartawan sejati, tak ingin ketinggalan informasi. 

Makanya, setiap momen mereka diundang, paling tidak setengah jam sebelum acara, wartawan sudah santai di lokasi.

Wartawan yang punya banyak ide dan kreatif, sembari tuan rumah menunggu pejabat penting, dia gunakan waktunya mewawancarai tokoh penting dalam acara itu.

Atau mewawancarai panitia, terkait kegiatan dan lain sebagainya. Dan bisa banyak dapat informasi.

Begitu juga acara usai, wartawan tak hendak langsung pergi pula. Ada banyak bahan diskusi yang ditanyakan, terkait banyak hal pula.

Dari pameo dan kebiasaan datang paling duluan, pergi paling terakhir lahir nilai disiplin. Apalagi wartawan zaman dulu selalu berburu deadline.

Ibarat seorang pendakwah, boleh disebut itu wartawan berdakwah secara tingkah laku. Tak sekedar membuat catatan berita, tetapi dia yang memulai nilai-nilai kebaikan itu.

Wartawan sedang mengajarkan kepada banyak tentang pentingnya sebuah kedisiplinan, bekerja tepat waktu, dan teratur dalam bekerja.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Hollywood Movies