Noviarni, M.Pd
Guru SDN 05 VII Koto, Padang Pariaman
Sungguh tepat sekali, program Pemerintah dengan gerakan Penumbuhan Pendidikan Karakater (PPK) yang termaktub dalam Kurikulum 2013 pada setiap sekolah. Program ini dapat meminimalisir dekadensi moral yang terjadi di tengah masyarakat. Hal demikian bukan sekedar impian, namun sesuai dengan tujuan pendidikan nasional “…untuk membentuk generasi yang berakhlak mulia.”
Fenomena kenakalan remaja, kebrutalan, praktek premanisme, kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, perampokan dan pembunuhan yang terjadi diberbagai tempat, merupakan potret kegagalan dunia pendidikan masa lalu. Sehingga ada dikalangan berasumsi bahwa proses pendidikan yang hanya mengedepankan pendidikan intelektual, tanpa dibarengi dengan pendidikan karakter sebagai ranah dari spiritual.
Lagi, kita sering membaca dan mendengar istilah Intelegence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Ketiga istilah ini sangat urgen dalam mewujudkan kepribadian mumpuni, unggul dan berkarakter baik (akhlak mulia).
Pintar saja tidak cukup membuat sesorang dihargai ditengah-tengah masyarakat. Namun, harus ada memiliki kepribadian yang baik dan berakhlak mulia. Sehingga akan sejuk dipandang mata, ketimbang orang yang pintar, namun congkak. Disinilah peran EQ dan SQ dalam mengontrol IQ.
IQ merupakan suatu kemampuan nalar manusia yang berfungsi untuk menganalisa, menentukan pengambilan keputusan, memahami sebab-akibat, berpikir secara abstrak yang menjadi parameter keberhasilan intelektual seseorang, Aziz (2014). Sedangkan EQ adalah pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain, Ryannic (2021)
Sedangkan SQ ialah ‘balance control’ yang akan menimbang baik atau buruk suatu tindakan dan patut-tidaknya norma itu berlaku dalam diri seseorang. Norma ini sesuai dengan nilai-nilai spiritual agama yang dianutnya. Darmuji (2019).
Jadi, IQ yang merupakan faktor penentu kecerdasan dan EQ sumber perasaan/feeling good ini akan dikontrol, dan diseimbangkan oleh pengaturan norma baik atau buruknya suatu keputusan. Sedangkan SQ akan mempengaruhi IQ dan EQ, kemudian mengarahkannya dengan baik. Hal ini akan membawa kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain.
Sebagai contoh ada seorang teman yang pintar, dan tingkat emosionalnya selalu diatur dengan baik. Namun demikian, SQ-nya rendah, bisa jadi kecerdasannya tidak akan membawa manfaat bagi dirinya ataupun orang lain. Akhirnya intelktual yang tinggi, ahli IT, emosi bagus, namun tidak dikontrol oleh SQ yang baik, dia akan terjatuh pada perbuatan pembobolan akun, Bank dengan menjadi Hacker. Disinilah peran norma agama berfungsi sebagai ranah dari SQ.
IQ, EQ dan SQ adalah tiga esensi yang harus digabung menjadi satu kesatuan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam hidup manusia, kecerdasan intelektual tidak akan dipandang orang lain tanpa olah rasa dari kecerdasan emosional. Jadi kedua kecerdasan ini tidak akan membuat manusia lebih baik, bila tidak dikontrol oleh kecerdasan spiritual. Sehingga kecerdasan tersebut, menjadi faktor penentu baik-buruknya perilaku sesuai kaidah norma agama.
Dari sudut pandang falsafah Kihajar Dewantara dengan semboyan “Inngarso sung tu lodo, Ing madiyo mangun karso, Tut wuri Handayani”, sangat berkontribusi terhadap dunia pendidikan.
Berarti dengan secara tidak langsung, Bapak Pendidikan Nasional ini mengajarkan kepada kita bahwa mengajar itu adalah Ing madyo mangun karso ‘guru ditengah para murid harus menjadi prakarsa, pemberi ide’ (intelektual). Ingarso sung tulodo ‘guru harus bisa memberi contoh dalam mengajar’(emosional). Tut wuri handayani ‘Guru bisa menjadi contoh teladan bagi muridnya’ (Spiritual).
Penerapan IQ, EQ dan SQ dalam pendidikan harus dimulai semenjak dini. Seorang pendidik harus menyadari betapa pentingnya untuk menyeimbangkan tiga kecerdasan ini. Guru tidak hanya memaksimalkan ranah kecerdasan intelektual (otak kiri) saja tanpa didukung oleh kecerdasan emosional (otak kanan).
Dan faktor penentu keberhasilan peserta didik adalah kombinasi kedua kecerdasan tersebut yang diseimbangkan oleh kecerdasan spiritual.Tanpa kita sadari, muatan pelajaran yang diajarkan di sekolah merupakan kombinasi ketiga kecerdasan ini adalah IQ,EQ dan SQ.
Ilmu eksakta (Matematika, IPA, Fisika,Kimia) merupakan tempat untuk mengasah kecerdasan itelektual. Ilmu sosial dan Umum ( IPS, Sejarah, Ekonomi, Prakarya, Budaya dan Seni) adalah wadah untuk mengasah kecerdasan emosional.
Sedangkan ilmu Agama, Bahasa dan Pendidikan Moral secara otomatis telah mengajarkan nilai-nilai normatif untuk mengasah kecerdasan spiritual.
Jadi, berdasarkan uraian di atas, bisa ditarik benang merah ketiga kecerdasan yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam hidup dan kehidupannya. Begitupun dengan keberhasilan peserta didik dalam prestasi akademik maupun non akademiknya.
Dengan memperhatikan esensi dan substansi ketiga intelegensia ini, guru bisa mengembangkannya di sekolah. Apalagi dalam pembelajaran, maka seyogyanya guru bisa mengaktifkan ketiga kecerdasan melalui kegiatan dengan melibatkan anak dalam mengasah intelektual, emosional dan spiritual.
Sehingga bisa terwujud dari tujuan pendidikan nasional untuk mencetak generasi yang intelektual serta berakhlak mulia.
Melalui tulisan ini kami mengajak semua pihak untuk benar-benar menyadari pentingnya keseimbangan IQ, EQ dan SQ. Alangkah indah dan baiknya mengasah ketiga intelegensia ini agar generasi mendatang yang pintar otaknya, peka perasaannya terhadap lingkungan, dan mulia akhlaknya dalam bergaul sesama insan dengan bingkai kuat Imannya. Aamiin. Semoga ... !
Sumber Bacaan :
- Anis Rifatul Ummah, Miliki Keseimbangan Intelektual dan Emosi, 2014
- Ari Ginanjar Agustian, Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Sebagai Sistem Pendekatan Agama Islam, 2005
- Ary Ginanjar Agustian, Revolusi Mental Berbasis ESQ, 2016
- Darmuji, Tiga Kecerdasan Manusia, 2019
- Ryannic, Perbedaan IQ, EQ dan SQ, 2021.
***