Ulama Syattariah khususnya di Padang Pariaman sering dinilai kurang ahli dalam ilmu-ilmu syariat.Ini karena mereka lebih menonjol di bidang tasawuf terutama Tarekat Syattariah.Penilaian ini mungkin benar.Namun faktanya ada beberapa ulama dari Tradisi Syattariah ini yang kealimannnya dipandang menyamai kealiman ulama dari tradisi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI).Di antara ulama tersebut ialah Syekh Haji Musa Tapakis.
KELAHIRAN, ASAL USUL, DAN PENDIDIKAN
Syekh Haji Musa, Tuanku Sidi, Rangkayo Tan Basa (selanjutnya
disebut Syekh Musa) dilahirkan di Tiram Ulakan pada tahun 1907 dari orang tua
bernama Mansek, Rangkayo Majo Basa (ayah) dan Aminah. pada masa kecilnya orang
tuanya dan keluarga dari pihak ibunya pindah ke Kabun, satu kampung kecil di
tepi sungai Batang Tapakis, Tapakis, Kecamatan Ulakan Tapakis Kabupaten Padang
Pariaman. maka sejak itu beliau menetap di kampung ini.
Syekh Musa termasuk anak yang beruntung pada masanya karena
beliaudiberi peluang untuk mengenyam pendidikan umum yang tidak semua anak
dizamannya bisa menikmatinya.Hal ini karena di zaman penjajahan Belanda hanya
anak orang-orang penting, seperti pejabat pemerintahan, yang dibolehkan untuk
mengenyam pendidikan di sekolah umum milik Belanda. Syekh Musa mendapat peluang
tersebut karena beliau termasuk anak seorang bangsawan yaitu pemimpin adat
(ayahnya salah seorang raja yang sebelas yaitu rangkayo Majo Basa) sekaligus
pemimpin pemerintahan nagari (wali nagari) yang pada masa itu dipanggil “Angku
Palo”( Engku Kepala).
Pendidikan awalnya adalah Hollandsch-Inlandsche School (H.I.S),
sekolah Belanda untuk bumiputera (setingkat Sekolah Dasar) di Tapakis.HIS
termasuk sekolah rendah dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda berbeda dengan
Inlandsche School (sekolah untuk pribumi) yang mengunakan bahasa daerah.Pendidikannya
kemudian dilanjutkan ke Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama zaman Belanda, di Lubuk Alung. Menurut cucu beliau, Ali
Umar, Tk Sidi, sebenarnya ayah Syekh Musa berniat melanjutkan pendidikan
anaknya ke tingkat yang lebih tinggi yaitu Algemeene Middelbare School AMS
(pendidikan menengah umum zaman Belanda, setara SMA), namun niat ini tak
kesampaian karena tidak mendapat persetujuan dari paman Syekh. Sang paman
berkeinginan keponakannya ini melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan
Islam tradisional yang disebut “surau” (sejenis pesantren di Jawa. Waktu itu
istilah pesantren belum digunakan secara nasional seperti sekarang). Akhirnya
pamannya yang menang, maka Syekh Musa remaja diantar pertama kali ke Surau
Tanjung Medan, Ulakan untuk “mengaji” (istilah yang digunakan untuk belajar
ilmu agama) dengan Syekh Bistari (Syekh Bonta). Di sini beliau hanya belajar
selama lebih kurang satu tahun.
Syekh Haji Musa Tapakis |
Kemudian beliau pindah ke Surau Koto Tuo pimpinan Syekh
Aluma.Disini beliau mengaji lebih kurang dua tahun.Di Koto Tuo inilah Syekh
Musa diperkenalkan oleh Syekh Aluma dengan salah seorang murid senior beliau
yang telah mendirikan surau di Ujuang Gunung, Sungai Sarik Kec VII Koto,
Kabupaten Padang Pariaman, yaitu Syekh Haji Ungku Panjang.
Semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu serta keinginan untuk
memperkaya diri dengan pengalaman mendorong syekh haji musa berkelana ke Sasak,
Pasaman (sekarang Kabupaten Pasaman Barat) untuk berguru dengan seorang alim
yang masyhur yaitu Syekh Haji Muhammad Yunus (wafat 1975) yang popular dengan
panggilan “Buya Sasak”. Buya Sasak adalah salah seorang tokoh terkemuka pada
organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), sekaligus sahabat karibtokoh pendiri
organisasi ini, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang). Beliau dikenal
sebagai seorang alim besar di kalangan ulama PERTI yang sangat menguasai
kitab-kitab besar berbahasa arab (kitab kuning) sebagai referensi ilmu-ilmu
keislaman. Dalam bidang tasawuf Buya Sasak ini mengamalkan Tarekat Syattariyah
dan Terekat Naqsyabandiah sekaligus.Di sini Syekh Musa mengaji lebih kurang dua
tahun.
Entah kerinduan atau seruan batin dari Syekh Aluma, akhirnya Syekh
Musa kembali ke Koto Tuo.Kali ini beliau hanya tinggal lebih kurang satu tahun.Ini
karena beliau diperintahkan oleh Syekh Aluma untuk pindah ke Kec.VII Koto
Sungai Sariak tepatnya ke Surau Ujuang Gunuang yang dipimpin oleh seniornya
Syekh Ungku panjang. Disamping melanjutkan pelajaran, di sini beliau juga
bertindak sebagai guru tuo (guru bantu). Setelah lebih kurang dua tahun di
surau ujuang gunuang, beliau dianugerahi gelar “Tuanku Sidi Basa” sebagai
pertanda beliau telah diwisuda dari pendidikan surau.Sekitar tahun 1932 beliau
pulang ke kampung halamannya untuk mengabdikan ilmu dan menyebarkannya kepada
masyarakat.
MENDIRIKAN PESANTREN
Tidak lama setelah kepulangannya Syekh Musa mendirikan lembaga
pendidikan Islam (surau) di kampung halamannya yaitu di Kabun, Tapakis. Kelak
surau (pesantren) ini masyhur dengan nama “Surau Kabun”. Kealiman Syekh Musa
menjadi magnet tersendiri bagi generasi muda.Ini terbukti tidak lama setelah
pendiriannya, Surau Kabun telah menarik minat pemuda-pemuda dari berbagai
penjuru Sumatera untuk datang mengaji ke surau ini. Tidak hanya dari
daerah-daerah di Minangkabau (Sumatera Barat) seperti kabupaten Agam, Pasaman,
Tanah Datar, Solok dan kabupaten Padang Pariaman sendiri, bahkan dari
provinsi-provinsi tetangga seperti provinsi Bengkulu (dari manak dan
muko-muko), Provinsi Sumatera Selatan, Taluak Kuantan (Provinsi Riau), Muara
Bulian Dan Kerinci (Provinsi Jambi). Menurut salah seorang santri Syekh Musa,
H. Yunaidi Tk. Simarajo, pada masanya, Surau Kabun terletak di daerah yang agak
terisolir.Belum ada jalan besar menuju ke surau.Yanga ada hanya pematang sawah
sebagai jalan.Namun itu tidak menjadi penghalang bagi para pemuda untuk datang
menuntut ilmu kepada Syekh. Ini disebabkan keharuman nama Syekh Musa yang
terkenal dengan kealimannya.
Syekh Musa merupakan seorang alim yang jarang tandingannya pada
masanya khususnya di Padang Pariaman.Sangat mungkin salah satu faktornya ialah
beliau pernah berguru dengan Buya Sasak. Mengenai kealiman Syekh Musa, menurut
Ali Umar Tuanku Sidi, Syekh Musa hafal Matan Alfiyyah Ibn Malik (kitab
yang berisi 100 syair tentang ilmu nahwu-sharaf), Matan Jauhar al-Maknun
(ilmu balaghah), Matan Sullam Munawraq (ilmu mantiq). Penguasaan beliau terhadap
kitab kuning dibuktikan oleh kepiawaiannya dalam memberikan penjelasan
(mensyarah) terhadap kitab yang diajarkan kepada murid-muridnya, sebagaimana
diceritakan oleh salah seorang santri beliau, H. Yunaidi Tk. Simarajo. H.
Yunaidi menceritakan pengalamannya ketika mengaji dengan Syekh, “Seolah-olah
penjelasan (pemahaman ) dari materi yang dipelajari beliau letakkan ke dalam
kepala kita oleh Syekh”. Begitulah kepiawaian beliau dalam men-syarah kaji,
sehingga apa yang beliau jelaskan sangat dimengerti oleh murid-muridnya dan
tidak seorangpun yang mampu mendebatnya.
Keharuman nama Syekh Musa sampai ke Buya Dalil, Dt. Maninjun
(seorang alim di kalangan ulama PERTI dan khalifah dari Syekh M. Djamil Jaho
dalam memimpin MTI Jaho). Menurut Ali Umar, Tk Sidi, Buya Dalil pernah mengutus
anaknya untuk menjadi mustami’ di halaqah Syekh Musa.Karena itu tidak
mengherankan jika syekh musa menjadi rujukan bagi ulama sezaman dalam
memecahkan masalah-masalah keagamaan yang dihadapi di masyarakat.
Surau Kabun telah menghasilkan ulama-ulama besar, pendiri pesantren
dan tokoh-tokoh masyarakat. Di antara alumni Surau Kabun yang menjadi ulama
besar di antaranya ialah: Syekh Ungku Sidi Bajai, Koto Bangko, Kec. Sungai
Geringging; Buya Amir, Dt. Tan Putiah, Pendiri Pondok Pesantren Gaya Baru,
Paingan, Kec.Batang Gasan; Syekh H. Anas, Tk. Sinaro, Pengasuh Pondok Pesantren
Darul Ulum, Pakandangan, Kec.Enam Lingkung; Syekh Ali Umar, Tk Labai, Pengasuh
Pondok Pesantren Jami’atul Mukminin Kec.Sg Limau; Syekh H. Zubir Tk. Kuning, Pengasuh
Pondok Pesantren Darul Ikhlas, Pakandangan, Kec. Enam lingkung, Buya Azwar, Tk
Sidi, Pengasuh Pondok Pesantren Jami’atul Mukminin, Sintuk Toboh Gadang; Buya
H. Ashabal Khairi Tk. Mudo, Pegasuh Pondok Pesantren Luhur Surau Mata Air,
Pakandangan, Kec. Enam lingkung.Selain menjadi da’i dan ulama, banyak alumni
Surau Kabun yang berprofesi sebagai guru agama, hakim dan profesi lainnya yang
menebar manfaat bagi umat.
ORATOR ULUNG DI ZAMANNYA
Syekh Musa tidak hanya alim di kitab kuning, tetapi beliau juga terampil
dalam menyampaikan ilmu agama ke masyarakat.Pada masanya beliau dikenal sebagai
ahli pidato (orator ulung).Kepiawainan Syekh dalam berdakwah terbukti ketika
beliau memenangkan lomba pidato (ceramah) yang diadakan di Surau Ujuang Gunuang
ketika beliau masih menjadi santri.Postur tubuh yang tegap dan penampilan yang
berwibawa menambah kharisma dirinya ketika berdakwah.Selain menyampaikan
tausiah dan kajian-kajian umum, dalam kajian-kajiannya beliau gigih
mempertahankan pemahaman dan amalan kaum tua yang konsisten mengikuti Mazhab
Syafi’i yang pada waktu itu mulai digoyang oleh “Kaum Muda”.Berbekalkan
penguasannya dalam kitab-kitab turats tentu saja argumen (dalil, hujjah) yang
beliau kemukakan sangat meyakinkan jama’ah.
MEMAJUKAN PENDIDIKAN SURAU SYATTARIAH
Salah satu sumbangan berharga Syekh Musa adalah memajukan sistem
pendidikan surau di kalangan surau yang beraliran Tarekat Syattariah dengan
mengajarkan semua disiplin ilmu keislaman secara lengkap dan mendalam.Hampir
semua cabang ilmu-ilmu keislaman diajarkan di Surau Kabun dan ilmu-ilmu
tersebut diajarkan sampai ke tingkat yang paling tinggi.Dalam bidang ilmu
nahwu-sharaf misalnya, diajarkan sampai ke tingkat Kitab Khudri, ilmu
usul fiqh diajarkan sampai ke tingkat kitab Jam’ul Jawami’.Pada umumnya surau-surau
aliran Tarekat Syattariah waktu itu hanya mengajarkan pelajaran tafsir
(terutama tafsir al-Jalalayn) dan fiqh.kalaupun ada mengajarkan ilmu-ilmu lain
seperti nahwu-sharaf, hanya mengajarkan kitab-kitab kelas menengah pertama
seperti Mukhtasar (untuk nahwu) dan al-Kaelani (untuk sharaf).
menurut Ali Umar Tk Sidi, hanya satu surau sebelum zaman Syekh Musa yang
mengajarkan ilmu-ilmu keislaman secara lengkap dan mendalam yaitu Surau Ampalu
Tinggi yang salah seorang pengasuhnya yang terkenal ialah Syekh Muhammad Yatim
(murid Syekh Muhammad Yasin, Tanjung Ampalu Sijunjung).
Usaha Syekh Musa dalam memajukan sistem pendidikan surau Syattariah
ini besar artinya karena surau kabun nantinya akan melahirkan ulama-ulama yang
tidak hanya alim di bidang tasawuf dan tarekat tetapi juga ahli dengan berbagai
ilmu syari’at. Ini dapat dilihat pada Syekh H. Anas Tk. Sinaro dan Syekh H.
Zubir Tk. Kuniang, dua tokoh ulama Syattariah terkemuka di padang pariaman di
zamannya yang tidak hanya dikenal sebagai mursyid tarekat Syattariah tapi juga
seorang yang alim dengan berbagai cabang ilmu keislaman sekaligus pendakwah
(da’i) ulung.
KEPRIBADIAN
Sebagai seorang ulama, tentu Syekh Musa bukan hanya menguasai
ilmu-ilmu syariat secara teoritis, tetapi beliau tampil menjadi teladan dalam
mengamalkan ilmu-ilmu tersebut. Apalagi beliau merupakan seorang pengamal
tasawuf/tarekat yang dituntut untuk banyak melakukan ibadah-ibadah sunnah
selain ibadah wajib. Menurut H. Yunaidi Tk. Simarajo, di suraunya Syekh selalu
memimpin shalat berjama’ah, yaitu shalat fardhu lima waktu. Cucu beliau, Ali
Umar Tk Sidi juga menuturkan bahwa ia sering menyaksikan Syekh begadang pada
malam hari. Beliau sering menghabiskan malam-malamnya dengan berzikir di atas anjuang
(tingkat dua) suraunya .
Syekh Musa juga seorang yang sangat menghormati ilmu.Di antara adab
beliau kepada ilmu, menurut H. Yunaidi Tk. Simarajo, beliau melarang meletakkan
benda apapun di atas kitab-kitab, karena kitab-kitab tersebut mengandungi ilmu
syari’at.Syekh juga seorang yang rajin dalam mengajar, disiplin, penyabar,
bijaksana dan istiqamah.Beliau juga seorang yang zuhud, tidak gila jabatan dan
tidak mencari popularitas.Buya H. Anas Ungku Sinaro menceritakan, Syekh Musa
pernah didatangi oleh pihak pemerintahan kabupaten Padang Pariaman, meminta
beliau menduduki jabatan Kepala Kantor Pengadilan Agama kabupaten. Dengan
halus, beliau menolak, “Yang lain sajolah. bialah ambo jo pakiah-pakiah lambok
ko je” (Mohon tawarkan kepada yang lain saja. Saya biarlah di sini bersama
para santri saya).Selain menunjukkan sifat zuhud, ini juga menunjukkan
kecintaan beliau yang luar biasa kepada ilmu.
Beliau juga seorang yang memiliki keikhlasan luar biasa.Ini dapat
dilihat betapa beliau, dalam mendidik santrinya, tidak mengharapkan apa-apa
kecuali hanya ridha Allah SWT semata. Buya H. Anas Ungku Sinaro pernah
menceritakan, ketika pertanian (padi) di serang hama, di mana Syekh yang
memiliki sawah yang luas pada waktu itu sempat membeli beras untuk keluarga.
“Kami para santri merasa prihatin.Karena itu kami sepakat membantu Syekh dengan
mengumpulkan beras kawan-kawan santri”. Setelah diserahkan kepada Syekh, dengan
nada sedikit tinggi beliau berkata “Sangko
ang den ndak punyo Tuhan? (Kamu pikir saya tidak punya
Tuhan?)”.artinya beliau menolak bantuan beras tersebut.
Syekh Haji Musa wafat di pesantrennya, di Kabun, Tapakis, Kec.
Ulakan Tapakis pada hari Selasa, 10 Syawwal 1409/ 16 Mei 1989 dalam usia 83
tahun dan dimakamkan di komplek pesantrennya.
Masyarakat Padang Pariaman berduka atas kepergian seorang tokoh
ulama yang serba lengkap, multi talenta dan jarang tandingannya di zamannya.
Kampung Dalam, 21 Juni 2021