|
Buya Abu Bakar |
Oleh : Abdurrahman Ahady
H. Abu Bakar Tuanku Mudo (1945-2015), satu dari sekian banyak ulama kharimatik dan legendaris yang dipunyai Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat. Lahir dari keluarga agamais, sejak usia kecil, Buya Pulau Aie, sapaan banyak orang kepada ulama yang mengabdi di kampungnya, Sungai Geringging ini sudah terbiasa dengan kehidupan surau.
Lahir di Batu Gadang, Sungai Geringging, beliau beberapa hari mendahului kelahiran Republik Indonesia (RI), tepatnya 1 Juli 1945. Di usia yang masih kecil, Buya Pulau Aie ini telah meninggalkan tanah kelahirannya, Batu Gadang, dan memilih merantau mencari ilmu ke Ampalu Tinggi, kini masuk Nagari Lareh Nan Panjang Selatan, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, tak begitu jauh dari Batu Gadang, Sungai Geringging.
Di Ampalu Tinggi, terkenal dengan perguruan surau tertua. Pesantren Luhur Kalampaian namanya, yang saat itu dipimpin seorang ulama besar Syekh H. Ibrahim. Lama mengaji di Ampalu Tinggi, karena memang impian dia sejak kecil ketika di kampung yang tinggal dan besar di surau, yang ingin melanjutkan belajar kitab kuning, yang menjadi khas pembelajaran di pesantren ala surau.
Di samping di Ampalu Tinggi bersama Syekh H. Ibrahim, Buya Pulau Aie ini juga banyak berguru kepada ulama lainnya. Tradisi dan kelaziman, orang yang mengaji kitab di surau umumnya diangkat jadi tuanku. Buya Pulau Aie pun demikian. Tahun 1972, dia diangkat dan dikukuhkan oleh gurunya, Syekh H. Ibrahim sebagai seorang tuanku. Tuanku Mudo gelarnya, langsung dinobatkan di Ampalu Tinggi oleh pimpinan Pesantren Luhur Kalampaian tersebut.
Setelah jadi tuanku, statusnya pun berubah. Yang dulunya, banyak orang memanggilnya dengan sapaan pakiah, tentu sekarang orang banyak memanggilnya dengan sapaan tuanku. Tak lama setelah diberikan gelar tuanku, Buya Pulau Aie ini pun memilih pulang kampung, ke tanah kelahirannya yang dia tinggalkan dulu, Batu Gadang, Sungai Geringging.
Namanya langsung melambung. Buya Pulau Aie jadi primadona banyak orang. Saking mashur dan kharismanya, sampai-sampai dalam sepekan itu dia bisa memberikan pengajian sebanyak 12 kali, dari surau yang satu ke surau yang lainnya di sekitar Sungai Geringging, tentunya. Bisa diperkirakan, dia siang dan malam memberikan pengajian lewat mimbar dakwah di tengah masyarakatnya.
Memasuki tahun 1980-an, Buya Pulau Aie mulai berpikir. "Rasanya tidak mungkin terus-terusan berkeliling memenuhi panggilan jamaah dari surau ke surau," pikir dia. Maka, sebagai solusinya beliau sendiri harus memiliki surau sebagai tempat mengembangkan pengajian, sehingga dalam memberikan pengajian agama kepada jamaah tak perlu lagi pergi jauh. Cukup di surau, jamaah yang ingin mengikuti ceramahnya silakan datang sendiri.
Buya mulai mengincar-incar kepada jamaahnya, siapa yang ingin mewakafkan tanah untuk lokasi pembangunan surau. Salah seorang jamaahnya, Azman Kindra bersedia mewakafkan tanah untuk lokasi pembangunan surau. Tahun 1982, Buya mendirikan Surau Kayu. Kayu untuk surau pun diminta kepada jamaah yang bersedia memberikan, sedangkan biaya penebangan dan pengolahannya beliau yang mengupahkan kepada tukang arit (tukang kayu). Untuk membawa kayu yang sudah diolah ke lokasi pembagunan, beliau dibantu oleh dua orang anak laki-lakinya, yaitu Amirul Ma’ruf dan H. Zulfahmi Tuanku Bandaro, S. Pd. I.
.
Berkat ketekunan dan kesabaran Buya, surau tersebut berhasil dibangun. Wirid yang semula dilakukan dari surau ke surau sekarang dikurangi dan dialihkan ke surau yang baru selesai dibangun. Setiap Rabu dan Jumat malam diadakan wirid, jamaah yang datang dari berbagai wilayah biasanya langsung menginap di surau karena mereka rata-rata datang dari jauh dan kembali pada esok harinya.
Pada tahun yang sama, Buya mendirikan Pondok Pesantren Hidayatul Islam di suraunya. Awal berdiri, santri yang belajar agama dimulai dengan dua orang anak laki-lakinya, dan setelah itu disusul oleh santri-santri lainnya dengan perkembangan jumlah yang cukup menggembirakan. Pada tahun 1985-1995 pertumbuhan santri rata-rata 100 orang yang berasal dari Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Agam. Pada tahun 1990, Buya memperluas bangunan surau karena kondisi surau kayu sudah tak memungkinkan untuk dipakai. Berbekal sebidang tanah berukuran 400 m2 yang diwakafkan oleh Alm. H. Kasiun, dibangunlah surau berlantai dua dengan ukuran 14x20 m.
.
Setelah beberapa tahun pondok pesantren berdiri, Buya yang sudah memasuki usia senja tidak mampu lagi mengajar sebagaimana biasanya. Bahkan untuk mengisi wirid kepada para jamaah saja, ia sudah agak kewalahan kerena kondisi kesehatannya yang sudah tidak memungkinkan. Karena itu, dalam mengajar ia dibantu oleh anaknya (H. Zulfahmi Tk. Bandaro S.Pd.I) , menantunya (Ermansyah Tk. Imam Sari Alam), dan salah satu muridnya yang telah menjadi tuanku, yakni Ramadi Tk. Marajo.
Sejak dari kecil beliau adalah “urang surau” dan telah terikat dengan surau, maka saat wafat pun beliau disemayamkan di surau yang ia bangun. Beliau wafat pada Selasa, 01 Desember 2015 dan dimakamkan di Komplek Pondok Pesantren Hidayatul Islam yang saat ini turut menjadi Pondok al-Quran Kecamatan Sungai Geringging.
Semoga tulisan ini menjadi pengingat kepada guru kita, ayah, kakek, dan tentunya Buya kita semua. Semoga beliau ditempatkan di sisi terbaik oleh Allah Subhanah Wa Taala dan tercurah ilmu beliau kepada kita. Lahu Al-Fatihah.........